Perjalanan Ke Negeri Kata-Kata

Negeri Kata-Kata

Nana Sastrawan[1]

Satu di antara yang menarik baru-baru ini adalah kehadiran berbagai komunitas sastra atau budaya di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Berbagai kegiatan sastra seni atau budaya tentulah merupakan aktivitas utama komunitas-komunitas tersebut. Dari diskusi sastra, seni atau menerbitkan buku kumpulan puisi bersama, hingga mengadakan pentas pembacaan puisi. Tentu saja ini bisa dikategorikan positif untuk perkembangan sastra Indonesia. Khususnya puisi yang semakin mendapatkan tempat di semua kalangan, yang dalam keadaan dewasa ini masih banyak kecenderungan komunitas-komunitas sastra dengan berbagai sikap dan visi serta penilaian sastra yang cenderung subjektif atau asyik sendiri.

Ya, karya sastra khususnya puisi memang begitu istimewa, selain ruang lingkup yang cukup sempit hanya satu lembar kertas, tetapi pemaknaannya bisa meluas ke berbagai arah. Puisi yang baik kerap lahir dari penyair sejati. Ia tidak akan terburu-buru menuangkan gagasan dan pemikirannya dalam puisi. Setiap objek yang dilihat, dirasa, dijalani, diketahui masuk ke ruang pikir yang dalam, lalu, diramu hingga mencapai titik maksimal. Jadilah puisi yang sebenar-benarnya puisi: menggugah dan inspiratif. Kesejatian yang mengalir dalam tubuh penyair pun tidak bisa dikatakan mudah didapat. Sebut saja Chairil Anwar dan Rendra, sekadar merujuk dua nama. Bagaimana perjalanan kepenyairannya membentuk sikap yang sejati, sehingga karya-karyanya berkualitas dan fenomenal.

Puisi-puisi semacam ini dapat saya temukan juga pada karya-karya para penyair dari komunitas Pandre Sastera yang berpusat di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Jika kita amati, para penyair yang tergabung dalam buku ini telah malang-melintang di dunia sastra, sehingga karya-karya pun tentu bukanlah karya-karya yang asal jadi. Penuh renungan. Misalkan pada puisi A.Rahim Eltara yang hampir berbicara tentang rasa syukur terhadap Tuhan yang Maha Esa; peristiwa-peristiwa rindu pada kedamaian alam dan keindahan perkampungan. Pada puisi pertamanya Hujan Tengah Malam membawa kita pada suasana malam yang khidmat, penuh doa. Di larik Hujan tengah malam/ Adalah rintik doa yang sepu/ Pada sembab sujud tahajud menghadirkan sikap syukur pada Tuhan. Lain halnya pada puisi Bulan Tuhan ada semacam perpaduan peristiwa tradisi dengan ritual keagamaan tertentu. Namun, secara tema puisi tersebut masih satu tema dengan puisi yang pertama, maupun puisi Tanah Intan Bulaeng yang Sastrawi juga memiliki semangat yang sama pada ruang lingkup peristiwa tradisi.

Berbeda dengan puisi Potret Kampungku dari Serambi Rumah Panggung walau di dalam puisi itu terasa nuansa sepi, kerinduan akan masa lalu namun puisi tersebut memiliki daya untuk menuju sesuatu yang luhur; kearifan lokal yang telah diwariskan oleh leluhur di negeri ini; Di atas dangau para petua duduk melingkar, merakit mufakat/ dengan bahasa nurani. Tidak ada yang mengacung telunjuk/ dan menepuk dada sebagai panglima. Mereka hanya ingin/ membangun peradaban dengan menjunjung adat. Itulah memang sejatinya puisi; memberikan kekuatan kepada sesama untuk terus berbuat kebaikan dan menjaga peradaban yang telah terbangun dengan baik.

Puisi-puisi D’etzha terasa begitu transparan. Tampak ia memelihara dan mengolah kata dengan rapi. Meskipun kita menyadari bahwa kata-kata dalam puisi diberi peran sebagai alat mencipta imaji-gambar. D’etzha bersetia pada bahasa keseharian, walaupun demikian puisi-puisinya pun tidak terkesan hambar; Diamku melarut bersama rintiknya/ Sesal mengulang kembali/ Seberapa rintik harus kuhitung/ Seberapa deras harus ku mamah/ Hujan menebal di jendela.

Apakah puisi yang baik dan berbobot itu selalu serius, memiliki bahasa yang metaforik dan simbolik. Puisi, bahasanya sederhana namun bisa menyuguhkan kesegaran bisa dikategorikan puisi yang baik. Puisi-puisi D’etzha melakukan demikian, senada pula dengan puisi Windjajani dengan judul Meraih Satu Menyapa Dunia yang menjadikan bahasa-bahasa sederhana dalam puisinya. Ia, dalam puisinya mengajak untuk siapa saja selalu hidup berdampingan, menjaga persatuan dan kesatuan sebagai bangsa, meskipun berbeda suku tapi tetap satu. Puisi yang sungguh memiliki nilai moral yang luhur.

Puisi-puisi Gunawan DM juga masih bernada yang sama dengan mengedepankan bahasa-bahasa sederhana. Tema-tema yang umum yang disampaikan olehnya, seperti menjalin persaudaraan, cinta dan harapan-harapan persatuan. Meskipun ada beberapa kritik dari para kritikus sastra bahwa puisi-puisi yang model seperti ini biasanya para penyairnya belum akrab dengan bahasa. Mereka baru sampai pada bahasa umum, belum personal. Bahasa belum menjadi milik pribadi, makanya dalam mencipta puisi belum menunjukkan pribadi. Penghayatan terhadap kata-kata sebagai sesuatu yang personal sifatnya, belum kelihatan.

Ya, puisi Amdeges, Jayadi Hardiansyah pun memiliki ruh yang sama dalam penyajiannya. Akan tetapi, setiap penyair pasti memiliki pengalaman batinnya masing-masing. Bukankah puisi juga lahir dari rasa penyair selain dari bahasa itu sendiri. Puisi-puisi yang mereka tulis adalah bahasa kejujuran yang dengan gamblang kita bisa nikmati hikmahnya.

Mendung tebal hinggap di wajah Ella
Rintihan tangis, bergelora dalam dada
Masa depan terkoyak, pupus …
Demi bakti yang harus ditanggung

Permulaan pada puisi Nain Ponda berjudul Air Mata Ella menarik perhatian saya, nuansa kegetiran telah menyelimuti puisi ini. Ya, sejauh pengamatan saya, usaha untuk meningkatkan apresiasi puisi sering terfokuskan pada bagian keindahan puisinya. Terutama sering ditekankan pada bagaimana menikmati keindahan sebuah puisi dan dengan kemampuan menikmati puisi sehingga menghadirkan kesegaran jiwa atau kesegaran dalam menghadapi kehidupan. Namun, pada puisi di atas,Nain memotret sesuatu kehidupan yang kelam untuk dijadikan suatu model dalam menghadirkan kesegaran jiwa. Inilah uniknya penulis puisi, ia tidak hanya berkutat dalam hal-hal indah untuk melahirkan bahasa puisi, akan tetapi sesuatu yang getir pun akan terasa nikmat dan menyentuh dalam puisi.

Hal senada pun terlukis pada puisi-puisi Johan Jauhari dengan judul puisinya Aku Pernah yang menekankan titik pengalaman hidup yang beragam, namun akhirnya ia memutuskan kembali pada jalan cahaya. Akan tetapi, Jarnawi H.K memberikan cerita tentang Jalan Berlumbur, kisah-kisah yang berharap mendapatkan kebahagiaan harus kandas di hutan belantara. Di sini, bisa kita maknai bahwa hutan belantara adalah ruang kesesatan bagi makhluk yang sedang melakukan perjalanan.

Berbeda dengan Atiek Bujir DM pada puisinya berjudul penari; ada imajinasi yang terbangun di dalam lingkar pembaca, hal-hal yang imajinatif itu seolah memang menggambarkan sebuah realitas dari sosok penari, yaitu tubuhnya, liuk geraknya bahkan ke dalam kehidupannya seorang penari. Ia mendeskripsikan gambaran penari melalui kata-kata. Ya, membuat puisi pun bisa dengan cara yang demikian. Simaklah puisinya:
 
Lentiknya jemarimu berayun lembut berirama
Tatapan matamu mengikuti ujung jarimu bergerak 
 
Sapuan indah lembut selendangmu mengisyaratkan kesyahduan irama musikmu
 
Hentakan kakimu, anggukan, gelengan kepalamu
Berhias bunga warna warni seirama gong
Genang mampu membuat terpukau penikmatnya
 
Lekuk tubuhmu gemulai berbalut busana cantik wanita bangsawan
Yang gemerlap mewakili rasamu yang penuh makna
 
Merekah senyummu yang merah delima
Binarnya matamu menunjukkan hidupnya tarianmu
 
Kau bergerak cepat berlarian, berjalan lirih lalu terdiam
Sejenak menambah gegap gempitanya tarianmu

Wahai penari

Elokmu di nanti gemerincingmu di tunggu, keanggunanmu mengaggumkan
menikmatimu adalah sebuah keindahan tiada pernah jemu

Sementara satu di antara puisi Ihin Uhan menghadirkan sikap kritis terhadap tatanan sosial negeri ini. Puisi satire, demikianlah sering disebutnya, berjudul Negeri Pucat Pasi yang terbaca begitu jelas, tegas dan lugas. Karakter-karakter puisi-puisi satire memang hampir kebanyakan demikian, biasanya tidak ingin bermain di wilayah simbol-simbol bahasa atau merafora. Puisi-puisi satire ingin mudah tersampaikan dan langsung pada sasarannya.

Di puisi selanjutnya, saya menemukan keteduhan hati dari seorang Angela W. Puisi-puisinya yang berjudul Cinta Terbawa Angin, Rindu di Ujung Pagi, Senandung Hati menggambarkan kerinduan-kerinduan akan peristiwa-peristiwa masa lalu. Ia seolah sedang mengenang melalui puisi, misalkan pada larik puisi Rindu di Ujung Pagi:

Di sini di taman ini kita bertemu
Kau berikan aku setangkai bunga tanda cinta
Tampak senyummu penuh kasih
Aku berasa berjalan di atas awan dengan senyumanmu itu
Bayanganmu di masa laluku selalu terbayang
Aku pun tak mampu mengubur kenangan itu
Biarlah rindu ini mengikis jiwaku dalam sunyi
Rindu ini membuat aku tak berdaya

Senada juga dengan puisi-puisi AJ. Akhamad dalam setiap lariknya ia menghadirkan nuansa kerinduan akan hal-hal yang indah di masa lalu. Akan tetapi, kerinduan itu tidak menjadi semacam obat di masa sekarang untuk menjalani kehidupannya sehari-hari. Kerap kali memang puisi dijadikan ajang curhat atau terapi jiwa disaat lelah dan penat. Puisi seolah menjadi sahabat sejati bagi seorang penyair.

Sementara itu, puisi-puisi Rosie R hadir dengan pandangan lain. Ia banyak menyoroti peristiwa-peristiwa yang sedang in di masyarakat. Seperti puisinya Migor atau jika baca utuh puisi tersebut dapat dimaknai sebagai Minyak Goreng. Rosie R menyoroti persoalan sosial pada peristiwa kelangkaan minyak goreng baru-baru ini, dan moment ini tidak ingin ia hilangkan. Begitulah seorang penulis puisi, ia selalu memiliki sikap akan hal-hal yang penting dalam kehidupan masyarakat.

Chichit S juga menyuarakan sikapnya pada puisi Merdekaku Tergadai dengan larik-larik yang tegas dan lantang. Ia sedang menyoroti ketidakseimbangan yang terjadi, meskipun kita menyadari bahwa sikap-sikap seperti ini sering disuarakan oleh para penyair-penyair lain jauh di tahun-tahun silam. Namun, Chichit tak ingin sikap seperti ini hilang. Penyair memang pada akhirnya menjadi sebuah bagian dari pergerakan pembangunan bangsa.

Hal menarik pun dapat kita temukan pada puisi Oetry Yani berjudul Peradaban Emas Intan Bulaeng dalam larik-larik puisinya memotret sedemikian indahnya suasana Tambora yang dikenal akan kedamaiannya.
 
Sekelompok burung walet melintas rapi di awan
Lautan luas berselimut pesisir indah nan rupawan
Bukit tinggi hutan kopi di antara debur ombak
Mengantar pagi menyapa matahari
Dalam untaian angin semilir
 
Serunai mendayu dayu mengiringi tarian lawas
Bak permadani di hamparan padang rumput nan menghijau
Ujung pelabuhan Poto Tano hingga akhir kota Empang
Menjadi saksi peradaban emas intan bulaeng
Kaki gunung tambora melambangkan kesuburan
Keindahan semesta alam bersatu padu
 
Dalam tatanan manis madu alam liar
Savanna hijau mengundang penggembala sapi
Menggiring sapi, kerbau melahap rumput
Makna hidup menjadi indah ketika mimpi menjadi basah
Kuyup dalam kerinduan, dingin dalam embun

Membaca puisi tersebut membuat saya tertarik ingin mengunjungi kaki gunung Tambora yang terkenal itu. Senapas pula dengan puisi Dinny berjudul Ceritaku Malam Ini dan Matahari Semakin Redup yang menjadikan latar alam sebagai kekuatan puisinya. Akan sangat mudah memasuki permenungan memang jika puisi berlatarkan peristiwa alam, sebab alam bagian tak akan pernah terpisahkan dari kehidupan manusia.

Itu pun juga terlukis pada puisi Abidin atau Datu Terora yang berjudul Ilalang Itu. Puisi pendek yang menggugah hati.

Liar namun mempesona
Yang merdeka itu bebas
Tumbuh di segala tempat
Bisa mengispirasikan
Setiap yang memandangnya
Cintanya selalu bersemi
Hidup di hamparan luas
Menawarkan rasa teduh
Setiap yang menikmati.

Amyers Lye pada puisi-puisinya banyak membicarakan kisah kehidupan yang bisa jadi bersumber dari kehidupan pribadinya; tentang cinta, kerinduan, perjalanan hidup. Puisi juga kerap kali sebagai jembatan untuk jalan kegelisahan batin penulis yang dapat menjadi pengalaman pembaca ketika membacanya. Dan, biasanya kegelisahan batin penulis itu pun mewakilkan kegelisahan pembaca.

Ule Ceny dengan puisi Sungaimu Hari Ini mampu menyihir. Pilihan kata ‘sungai’ sebagai bagian dari kehidupan manusia adalah pilihan metafora yang multi tafsir. Sungai bisa saja menjadi makna lain; seperti perjalanan, cerita, jalan yang panjang atau apa saja tergantung peristiwa pendukungnya yang dihadirkan dalam larik puisinya.

Sungaimu cukup menderas
Kisahkan bahagiaku
Dimasa kanak kanakku

Adakah tersisa cinta
Kisah beningmu mencinta
Mengalir di riak kali

Berselancar ala kanak
Meluncur bebas di hati
Hanyutkan sampah nan luka

Kini lukaku menganga
Tangisi beningmu biru
Tak mungkin kembali lagi

Bantaranmu yang tergerus
Bangunan rumah menjulang
Menggenjet luas kalimu
Aku terdiam dan lupa

Demikianlah perjalanan panjang saya memasuki negeri kata-kata dari para penulis puisi yang tergabung dalam buku antologi ini. Apapun yang tertulis di dalam buku ini tentu saja telah melewati permenungan yang panjang. Dan, puisi telah menjadi jawaban bahwa dengan puisi manusia bisa saling berbagi, mengenal bahkan bisa saling mencintai. Selamat Membaca!

April, 2022

[1] Penulis, peraih penghargaan Acarya Sastra IV dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2015

dewabuku

all author posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are makes.