Musik, Diksi, Objek, Metafor, dan Kerumitan

Buku Puisi

Arip Hidayat, M.Pd.[1]

Ketika saya hendak menulis pengantar ini, saya sempat bertanya kepada dua orang teman. Pertanyaannya kurang lebih seperti ini, “Bagaimana pendapatmu tentang puisi-puisi Candrika?” Tanggapan tidak langsung saya terima saat itu, karena memang dua orang teman saya baru membaca beberapa puisi dari antologi yang dibuat Candrika. Seminggu kemudian, tanggapan muncul. Tanggapannya lebih kurang seperti ini.

Tanggapan 1

“Puisi-puisi panjang Candrika cenderung bergaya naratif. Misalnya dalam Pseudo Orang Kesepian, saya dibawa ke dalam ‘perayaan’ yang aneh: merayakan hidup yang indah dengan bunuh diri. Lalu Cerita Merah, tentang malaikat berjubah api yang menjual ayat-ayat. Misal Kita Hanya Puing, tentang percakapan—entah dengan siapa—di hari akhir. Dunia Tahun 2999 M, tentang kondisi manusia dalam bumi yang sekarat. Selain bergaya naratif, saya pun menemukan beberapa puisi yang nampaknya sedikit terinspirasi oleh lagu, misalnya di puisi ‘Warna-Warni’ yang terinspirasi oleh album ‘Sinestesia’ karya Efek Rumah Kaca.”

Tanggapan 2

“Korelasi antardiksi dan gagasan inti dari makna realitas dalam puisi adalah kompleksitas yang perlu diuraikan secara kontemplatif. Keterikatan kedual hal itu akan menentukan apakah puisi itu klise atau segar untuk dibaca dan dinikmati. Puisi Candrika seperti Arketipe Keheningan Padat telah berhasil memberikan kesegaran karena diksi yang dipilih menyatu dengan gagasan dan suasana serta bernilai puitik. Namun, puisi seperti Interlud terkesan klise. Dalam puisi Interlud terdapat tiga bait yang secara isi menafsirkan objek lautan dengan menjadi peranti perenungan atas segala peristiwa pada masa lampau. Tetapi kita tahu bahwa dalam puisi, belakangan ini perihal ‘laut’ kerap menjadi objek pengantar gagasan yang sudah tidak mempunyai nilai kreativitas puitik. Karena dalam perihal objek tersebut, puisi-puisi kebanyakan ditulis sekadar untuk merekam kembali kenangan yang sebelumnya sudah tenggelam. Hal itu pun terlihat dari pilihan kata ‘reruntuhan’, ‘monumen’, ‘hampa’, ‘buih’, ‘mendesis’, dan ‘enigma’, yang menjadi kata-kata kunci dalam korelasi dan inti gagasan di setiap baitnya yang membuka pintu-pintu dalam ruang labirin kenangan. Namun, sebenarnya tidak dipungkiri bahwa kepadatan dari puisi tersebut memberikan kesan guyub yang segar sehingga masih bisa dinikmati secara liris. Selain pemetaan diksi, puisi juga mempunyai ruh yang terkandung dalam setiap baitnya. Keberadaan ruh itu bisa dikatakan dengan istilah referensial. Dari referensial inilah yang membuat puisi mendapat ruang eksternal. Beberapa puisi Candrika telah memperlihatkan bahwa puisi telah menjadi ruang untuk mendikte; ruang untuk mentransformasikan yang abstrak dalam bentuk estetika yang padat.”

Dari dua pendapat yang diutarakan teman saya itu, beberapa hal dapat saya simpulkan.

Pertama, pengaruh musik dan lagu terhadap puisi-puisi Candrika. Kedua, gaya naratif dalam puisi-puisi Candrika. Ketiga, diksi yang digunakan untuk menyampaikan gagasan, suasana, serta estetika puitiknya. Keempat, optimalisasi ruang eksternal puisi dan menjadikannya sebagai alat transformasi sesuatu yang abstrak. Sementara itu, saya sendiri mempunyai pandangan tentang tiga hal dalam puisi-puisi Candrika, yaitu musik, diksi, objek, metafor, dan kerumitan.

Musik

Setiap karya seni (apa pun itu) selalu berisi emosi. Emosi berkaitan dengan perasaan yang ingin disampaikan sastrawan dalam karyanya. Karena kaitannya dengan perasaan, maka emosi lekat dengan denyut nadi dan detak jantung kita. Denyut nadi dan detak jantung itulah yang menjadi musik dalam diri seorang sastrawan. Musik internal menjadi penanda bagi irama sebuah puisi.

Dalam puisi-puisi Candrika, irama puisinya tidak hanya dibangun oleh musik internal, tetapi juga oleh musik eksternal. Puisi seperti Instrumental: Nyanyi Sunyi Beethoven sangat dipengruhi oleh irama Moonlight, sunyi dan sepi di awal tetapi kemudian meledak di akhir. Ada dua oposisi biner yang dibangun seperti “tempat indah” dengan “dunia yang memilukan”. Bangunan oposisi biner menjadikan irama puisi berubah dengan cepat, sekaligus juga menjadikannya padat. Seperti komposisi Moonlight yang cerdas, imajinasi kita tentang sesuatu yang menyedihkan di awal berubah menjadi tenang di tengah dan tegang di akhir. Persoalan kerumitan hidup dan dinamikanya diramu dalam satu puisi yang sangat pendek. Jika kita menyimak perjalanan hidup Beethoven yang luar biasa, maka puisi itu akan cukup mewakili bagaimana kegetiran yang dialami Beethoven.

Puisi-puisi lain seperti Reffrain: Nyanyi Sunyi Joep Beving, Interlude: Nyanyi Sunyi Nils Frahm, Outro: Nyanyi Sunyi Miles dipengaruhi oleh musik itu sendiri. Candrika mencoba “menerjemahkan” nada musik yang mengalun dan referensi bacaannya menjadi puisi. Tanpa harus berpikir genre musik (jazz, beat, klasik, hip-hop, dan lain-lain) setiap musik adalah rasa. Menikmati musik sambil membayangkan bagaimana perjalanan hidup musikusnya menjadi sangat mengasyikan sekaligus menjadi sumber inspirasi bagi para penulis. Bahasa musik adalah universal yang mengalir begitu saja. Dengan teori “bulu kuduk” (meminjam istilah Acep Zamzam Noor) dan bacaan perjalanan hidup, maka cerita akan muncul di kepala.

Diksi, Objek, dan Metafor

Diksi merupakan salah satu peranti utama dalam sebuah puisi. Diksi dipilih sedemikian rupa oleh penyair agar rasa dalam puisinya sampai dengan tepat ke pembaca. Dalam puisi-puisi Candrika, setidaknya kita dapat membaca beberapa diksi yang sering muncul seperti “sunyi (sepi, hening)”, “gemuruh (ramai)”, dan “percakapan (dialog, bincang)”. Diksi-diksi itu tentu saja mewakili rasa yang ingin diungkapkan penyair dalam puisinya. Pemilihan diksi-diksi tersebut berkaitan dengan objek dalam puisi. Objek-objek seperti laut, langit, matahari, kabut, pohon, bunga, dan bukit sering dijumpai dalam puisi-puisi Candrika. Pemilihan objek tersebut tidak lepas dari latar belakang penulis sendiri yang memang menekuni bidang-bidang geografi.

Diksi dan objek adalah dua hal berbeda tetapi berkaitan. Objek akan menjadi sumber inspirasi, melahirkan sudut pandang penulis. Sudut pandang itu kemudian disampaikan lewat kata, dan diksi memperkuat rasa setiap puisi yang disampaikan.

Selain diksi dan objek, hal lain yang dapat ditangkap dalam puisi-puisi Candrika adalah metafor. Ada beberapa metafor yang dipakai seperti “Tuhan”, “orang gila”, “bidadari”, dan “malaikat”. Metafor (kiasan langsung) merupakan refleksi dari pemikiran Candrika. Dalam puisinya metafor “Tuhan”, “malaikat”, “bidadari”, “surga”, dan “orang gila” bisa memiliki dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, metafor itu merujuk pada sosok tertentu yang kontras (sifatnya). Kemungkinan kedua, metafor itu memang merujuk pada sesuatu yang selaras (sifatnya). Dalam puisi-puisi Candrika, saya lebih banyak menemukan kemungkinan pertama yang digunakan. Hal itu bisa diperhatikan dari kutipan berikut.

“kau menjual ayat?”
tanya pria gemuk itu
“ya,” jawab malaikat itu dengan nada ketus
“aku ingin ayat pembenaran atas segala keserakahanku!”
setelah membayar, pria gemuk itu pergi dengan dada busung

(Cerita Merah, 2020)

Diksi, objek, dan metafor berkelindan satu sama lain, membentuk makna dan pemikiran penulisnya. Lalu pertanyaan selanjutnya muncul, apakah yang ingin disampaikan penulinsya?

Kerumitan Berpikir

Apakah yang ingin disampaikan Candrika? Jawabannya tentu saja beragam. Candrika menyampaikan apa yang hidup di pikirannya tentang perempuan, kematian, perang, keadilan, surga, Tuhan, ibu, bapak, kerinduan, dan yang paling menonjol adalah kesunyian.

Banyak hal yang ingin ia sampaikan dalam puisi-pusiinya, dan itu menandakan keramaian dialog yang hidup dalam isi kepalanya; yang menandakan rasa yang bergemuruh dalam dadanya, menandakan pengamatan demi pengamatan, perenungan demi perenungan, pembacaan demi pembacaan yang terus ia lakukan. Apa yang ada di dalam kepala, pengamatan, perenungan, serta pembacaan membentuk sebuah labirin bernama “kerumitan” rasa dan pikir. Kerumitan rasa dan pikir yang ia sampaikan tentu saja tidak akan pernah terungkap dalam hitungan hari atau bulan. Musik, diksi, objek, dan metafor hanyalah peranti untuk menyampaikan sebagian kecil “kerumitan” rasa dan pikir. Manusia dengan segala kerumitan berpikir dan berimajinasinya adalah karya Tuhan yang tidak pernah terungkap dan tertandingi oleh apa pun juga. Seperti diungkapkan dalam puisinya.

kata-kata dalam puisiku
kupetik dari belantara perasaan rumit
serupa isi kepala para dewasa
di rimba raya dunia tipu daya

(Perpustakaan Tua, 2019)

sembari menepis angin gigil
kita menulis puisi
karena tak mengerti
diri kita sendiri, bukan?

(Antinomi yang Pemalu, 2020)

Wallahu a’lam bishawab.

15 Agustus 2021

Dibuat dalam keadaan rumit

[1] Arip Hidayat, M.Pd. adalah dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Kuningan. Ia juga bergiat aktif di Teater SADO, Kuningan.

dewabuku

all author posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are makes.