Oleh Ujang Kasarung
Koordinator KGPS
Seorang sastrawan terkemuka yang tergolong ngasor karena tidak merasa gengsi bergaul dengan para penulis sastra pemula sempat berargumen yang semula kupikir becanda. Dia mengatakan bahwa seorang pemuisi sejatinya harus pandai prosa. Namun seorang pemrosa, tidak dituntut pandai menulis puisi. Mendengar pernyataan tersebut beberapa di antara pendengarnya tertawa, termasuk saya. Tawa kami tidak lama karena kelihatan dari gesturnya sastrawan tersebut bicara serius. Tidak ada yang menanyakan alasannya. Entah karena sudah mahfum atau gengsi takut dianggap cemen. Sampai pembicaraan bergeser ke masalah kuliner dan politik, pernyataan tadi berlalu begitu saja.
Tidak bagi saya!
Sambil rebahan di kamar hotel tempat kami seminar, saya memikirkan pernyataan tadi. Apa iya? Saya menyesal tadi tidak minta penjelasanya. Sampai akhirnya saya mencoba membongkar pernyataan pesohor sastra yang kala itu menjadi salah satu narasumber dalam pelatihan kesastraan tersebut. Apakah karena pemuisi lebih tinggi derajat keahliannya dibandingkan dengan pemrosa? Saya pikir tidak bijak jika anggapan itu dijadikan argumen. Bahkan cenderung menyesatkan. Dalam mencipta puisi dan prosa bahan yang digunakan sama yakni gagasan atau ide baik fiktif maupun faktawi dengan menggunakan media bahasa.
Seorang pemuisi dalam karyanya bisa saja berisi curahan hati, pengharapan, pendapat, saran, propaganda, sindiran, dan tentu kisahan atau cerita. Seperti puisi karya Rendra yang berjudul Nyanyian Angsa. Contoh yang lebih fenomenal pada zamannya Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Agustinus. Demikian pula pemrosa dalam cerpennya atau novelnya sangat bisa menampilkan ungkapan berupa kata, frasa, klausa, kalimat atau paragraf yang puitis. Sebagai contoh sebuah ungkapan dalam novel Dilan karya Pidi Baiq.
“Aku gak pandai cemburu. Malahan, kalau kamu ninggalin aku, aku gak bisa apa-apa. Bisaku cuma mencintaimu.”
Atau yang ini
“PR-ku adalah merindukanmu. Lebih kuat dari Matematika. Lebih luas dari Fisika. Lebih kerasa dari Biologi.”
Dalam buku legend Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer juga banyak kalimat atau ungkapan puitis. Contoh
Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berfikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana.
Kita simak juga percakapan Jane dan Marno dalam cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan karya Umar Kayam berikut
“Bulan itu ungu, Marno.”
“Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu?”
“Ya, tentu saja, Kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu, bukan?”
“Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnya itu?”
“Oh, aku tidak ambil pusing tentang langit dan mendung. Bulan itu u-ng-u! U-ng-u! Ayolah, bilanglah ungu!”
Dari contoh-contoh tersebut, saya belum menemukan ungkapan minimalis atau hemat kata dalam prosa layaknya ungkapan-ungkapan dalam puisi. Bahkan dalam kumpulan cerita pendek Hujan Menulis Ayam karya Sutardji Calzoum Bachri, atau puisi yang dikembangkan menjadi novel Hujan Bulan Juni milik Sapardi Djoko Damono sekalipun. Itu artinya puisi tidak sama dengan puitis. Maka saya menyimpulkan bahwa “seorang pemuisi sejatinya harus pandai menulis prosa. Namun seorang pemrosa, tidak dituntut pandai menulis puisi”, bukan sekadar pernyataan asbun. Dan penulis yang memiliki talenta seperti itu tidaklah banyak (mungkin ingin istiqomah, konsisten dalam berkarya), salah satunya Dwi Irawati. Guru yang berjibaku dengan kesibukannya dengan pengembangan diri sesuai dengan tuntutan zaman yang tertuang dalam kurikulum kekinian masih memiliki kesempatan untuk menulis karya sastra. Karya seperti inilah justru menurut saya yang perlu diapresiasi oleh para pemangku jabatan daripada setumpuk kertas hasil print out administrasi guru atau perangkat, atau rencana program pembelajaran atau apalah istilahnya yang jauh lebih tata usaha daripada satuan pelaksana. Lalu kapan ngajarnya? Kapan mendidiknya? Namun di luar kesibukan yang hanya diseling rutinitas rumahan dan pribadi, Dwi berhasil menyisihkan tenaga dan pikirannya untuk mengembangkan potensinya dalam karya fiksi ini. Tentu ini bukan karya ecek-ecek yang bisa dibuat dengan simsalabim.
Selain suka menulis puisi ternyata penulis ini juga membuktikan bahwa dia juga oke dalam mengarang prosa. Kemampuannya dalam menulis puisi dan prosa berupa cerpen ini bisa dibilang sebagai kemampuan yang tidak banyak dimiliki oleh seorang guru. Apalagi saat melihat cerpen-cerpennya. Langkah penulis ini sudah mengarah pada karya yang tidak arbitrarily. Dia sudah menganggap karyanya sebagai sesuatu yang lahir dari dirinya yang tidak ingin sembarangan hadir. Dwi ingin sesuatu yang setidaknya dapat ditatap sebagai sepasang mata indah yang pernah lahir dari rahim kalbunya. Syukur Alhamdulillah jika mampu memesona tatapan para pembaca pada umumnya.
Secara garis besar saya menyadari bila karya-karyanya ini tergolong lahir dari rahim yang belum lama menikah dengan sastra. Ranum, menggemaskan, walau belum bisa banyak “bicara”. Karyanya masih seperti bayi yang mengisap jemarinya sendiri. Kadang tersenyum dengan matanya yang berbinar memancarkan harapan masa depan yang akan lebih mampu mengembangkan sayapnya. Saya katakan demikian karena secara umum Dwi berhasil menyuguhkan rekam rasa dari dunia yang pernah dia lintasi atau yang pernah melintasinya. Seperti keluarga, sahabat, tempat kerja, alam sekitar yang walaupun jauh, tetapi tidak lepas dari jangkauan batinnya.
Yang menarik, secara teknik, Dwi masih sanggup menyegarkan ingatannya ke masa silam. Masa di saat dia masih berseragam abu-abu. Jelas ini menarik karena dia masih gape menayangkan suasana ke-dulu-an. Saya tidak menyebut ini karya terinspirasi dari pengalaman atau pengamatan, yang saya rasa berdasarkan sudut pandang penulis, ada nuansa ke-aku-an sebagai pelaku utama yang jadi sentral cerita.
Gaya bahasanya terasa cair seperti membaca pesan WhatsApp. Percakapan mengalir. Bahkan terkesan abai pada aturan tata bahasa. Coba amati kutipan berikut!
“Bi, Indah udah pulang ke Jakarta kan?” tanyaku.
“Udah, Non Indah sudah di Jakarta,” katanya pelan.
“Kok gak masuk sekolah dan teleponku berkali-kali gak diangkat?” tanyaku penasaran.
“Non Indah kecelakaan. Taxi yang membawa mereka menuju rumah menabrak pembatas jalan,”
“Ya Allah, Indahhhh….” Teriakku.
“Sekarang mereka dimana, Bi?” tanyaku sambil menangis.
Tetapi terasa nyaman-nyaman saja tuh, dibacanya. Malah besar kemungkinan cerita-cerita dalam buku ini akan lebih nge-klik dinikmati oleh kawula muda. Rangkaian plot mengalir bagai aliran sungai yang landai terkadang meliuk karena ada batu, lalu sedikit letupan dalam jeram yang dinamis. Penggambaran latar baik suasana, tempat dan waktu menuntun pembaca masuk ke dalamnya. Itulah Dwi Irawati. Dengan berdiri gagah di hadapan sebuah prasasti yang akan dia toreh sebagai langkah berani berhasil menjadikan sebuah karya seperti sesosok bayi sehat, dengan sepasang mata yang minta digendong dan diajak bermain.
Inilah yang dapat saya tulis sebagai bentuk apresiasi pada karya Dwi Irawati yang sadar bahwa tidak akan ada keberhasilan tanpa dimulai. Selamat buat Dwi Irawati semoga tetap konsisten dalam berkarya.Uk
Jakarta, 16 Januari 2024