Bila ada seorang pembaca yang masih belum sepenuhnya memahami sebuah interpretasi atas puisi, bisa jadi bukan karena pembaca itu belum sampai pada pencapaian daya nalar seorang interpretan. Bukan pula karena seorang yang memberi interpretasi itu tidak sampai pada penafsiran atas puisi dengan baik. Baik seorang pembaca yang memahami hasil interpretasi puisi maupun seorang yang memberi interpretasi atas puisi, sesungguhnya memiliki perspektifnya sendiri-sendiri. Ketika saya membaca hasil interpretasi Bakdi Soemanto secara parafrase atas puisi Sapardi Djoko Damono berjudul “Kwatrin”, saya sesungguhnya belum sepenuhnya memahami apa yang dikatakan Bakdi Soemanto..
Membaca interpretasi Bakdi Soemanto, saya menjadi bertanya-tanya. Apakah makna puisi “Kwatrin” berhenti pada dramatisasi atas peristiwa yang sederhana, bahkan “remeh-temeh” belaka? Apakah Sapardi hanya ingin menunjukan kepada pembaca, bahwa peristiwa yang terjadi di dunia ini, yang “remeh-temeh” itu, terkandung sesuatu yang luar biasa di dalamnya? Di mana letak “luar biasa”nya? Apakah hanya karena didramatisasi kemudian menjadi tampak “luar biasa”?
Akan tetapi, bila kita mau melihat secara utuh kepenyairan Sapardi dalam cara menulis puisi-puisinya, rasanya terlalu sederhana memandang Sapardi hanya mendramatisasi tanpa ada maksud-maksud lain yang ingin disampaikan kepada pembaca.
Benarkah demikian?
Ulasan
Belum ada ulasan.