Menulis adalah seni. Di dalam sebuah esai, seorang penulis tidak semata menghadirkan opininya. Akan tetapi, ia mengolahnya menjadi pesan yang enak dibaca. Bahkan dalam sebuah esai terlihat ada semacam penataan teks dalam wujud kalimat-kalimat yang tidak sekadar “mengurai”. Penulis esai akan mengatakan kalimat dalam bahasa yang paling subyektif. Dalam keadaan subyektivitas itu, kalimat yang tersusun seakan-akan meliuk-liuk penuh gaya. Seperti anak kecil yang tengah bersepeda di jalanan sepi, lalu mengkelok-kelokkan laju sepedanya dan menikmati ayunan roda. Dibutuhkan kemampuan untuk menyeimbangkan tubuh dan laju sepeda agar tidak terjatuh.
Situasi seperti itu juga yang terbaca dalam buku ini. Bisa jadi “liukan” karya-karya sastra yang dibaca oleh penulis buku ini, membuainya untuk menurunkan opini yang terasa amat indah. Upaya penulis memberikan apresiasi tidak selalu harus dalam kerangka teoritis murni. Usaha penulis juga berusaha untuk keluar dari bingkai teori sastra yang akademis, barangkali akan tetap disebut teoritis, setidaknya sebagai “teori sendiri”.
Berhadapan dengan karya sastra, bagi M. Essage merupakan medan kreatif seorang esais yang tak kalah serunya dengan petualangan kreatif seorang sastrawan. Pada akhirnya, buku ini menjadi esai dan kritik M. Essage untuk pembaca yang mau melepas analisis kaku akademistik dari cara pembaca sastra.
Ulasan
Belum ada ulasan.