Tasawuf, menurut al-Taftazani adalah sebuah pandangan filosofis kehidupan yang bertujuan untuk mengembangkan moralitas jiwa manusia yang dapat direalisasikan melalui latihan-latihan praktis (riyadiyyat ‘amaliyyah), yang mengakibatkan larutnya perasaan dalam hakikat transendental. Pendekatan yang digunakan adalah dzauq (rasa) yang menghasilkan kebahagiaan spiritual (al-sa‘adah al-ruhiyyah). Kajian tasawuf menyangkut persoalan batin, dzauq (rasa) dan bersifat esoteris, sementara yang membahas ihwal atau ritual ibadah secara lahir adalah syariat, yang menurut Muhammad Amin Kurdi keduanya harus dijalankan dan saling berhubungan.
Akan tetapi, tak jarang pula syariat dan tasawuf bersitegang yang menimbulkan polemik dan perselisihan. Hal demikian, dapat terjadi ketika ahli fikih menimbang tasawuf dengan syariat secara otonom. Sebagaimana pandangan Fadhullah Haeri, dalam sejarah awal tasawuf, banyak para ulama Islam (ahli fikih) dan penguasa tidak memberikan ruang gerak atau toleransi terhadap kaum sufi dan ajarannya. Seperti yang dialami oleh al-Husain ibn Mansur yang dijuluki al-Hallaj (w. 922), yang pernah menjadi murid dari Junaid al-Baghdadi, namun ia dikeluarkan, dituduh menyamakan dirinya dengan Tuhan. Lantaran ucapannya yang kontroversial yaitu Ana al-Haqq (akulah kebenaran), sehingga ia sendiri dilabeli sesat dan kafir. Tragisnya pula, al-Ḥallaj dihukum mati dengan cara disalib. Sebab itu, tasawuf mendapatkan citra yang buruk, terkesan keluar dari syariat. Demikian juga, stigma negatif tasawuf dalam kacamata ahli fikih, hanya mengurusi perkembangan aspek batin, dunia gaib, dan mengabaikan hukum-hukum syariat yang lahiriyah.
Lalu, bagaimana dengan pemikiran Shah Wali Allah Al- Dihlawi tentang tasawuf? Buku ini telah menjabarkan pemikiran dan pandangan itu, yang dikaji dengan teliti. Tentu akan sangat luas dan dalam pemahamannya jika buku ini dibaca sampai tuntas.
Ulasan
Belum ada ulasan.