Tiba-tiba, selarik cahaya melesat dari langit, masuk ke dalam celah dinding-dinding gurun. Cahaya itu menyerupai sesuatu, seperti manusia tetapi bukan manusia. Dia menggigil, jantungnya berdegup kencang—ketakutan. Mimpi yang sering setiap malam ketika dia memutuskan menyepi di gua Hira kali ini datang kembali, namun malam ini berbeda, dia berada pada situasi antara tidur dan sadar, bahkan terasa sangat nyata seolah-seolah dia memang tidak sedang tertidur, atau tidak sedang bermimpi.
“Bacalah!”
“Aku tidak bisa membaca.”
“Bacalah!”
Wajahnya pucat disertai tubuh yang menggigil, keringat bercucuran. Sungguh, dia tak pernah merasakan kejadian seperti ini sebelumnya. Dia benar-benar ketakutan. Rasa itu melebihi perasaan kegalauannya ketika meninggalkan kota Makkah, menaiki bukit bergurun pada malam-malam berbintang. Dia ingin meninggalkan hiruk-pikuk kota yang ganjil dan tidak bermartabat. Kota yang dikuasai oleh ketamakan Quraisy.
Semua ketimpangan sosial telah banyak dia temui. Patung-patung berdiri mengelilingi Ka’bah yang dijaga oleh para pembesar, bangsawan dan saudagar Makkah. Mereka sembunyi dibalik cerita-cerita Hubal, sebuah patung yang paling diyakini oleh masyarakat Makkah. Namun, patung-patung itu juga yang menarik bangsa Arab dari berbagai pelosok negeri untuk beribadah. Namun, ritual keagamaan itu sudah jauh berbeda, menyimpang, beraroma pemujaan dan pesta pora.
Patung-patung yang berada di sekitar Ka’bah tidak lagi mengisi kekosongan hati dan memuaskan kehidupan spiritual. Mereka, para pembesar Makkah menjadi tamak dan serakah. Hubungan penguasa dan rakyat jelata atau si kaya dan si miskin sudah berubah seperti hubungan manusia dan hewan. Tuhan-tuhan yang banyak itu, yang berdiri tegak di sekitar Ka’bah, telah melindungi penindasan. Merekalah, tuhan-tuhan yang biadab.
Kekejaman orang-orang kaya dan kebodohan, ketidakberdayaan orang-orang miskin di kota Makkah sudah berjalan berpuluh-puluh tahun sejak kerajaan Persia dan Rum hidup dalam pertikaian berkepanjangan yang mengapit kota Makkah. Sehingga, kota itu menjadi pusat perdagangan yang sangat menguntungkan bagi para pemilik modal. Pasar-pasar di Makkah menjadi pusat perniagaan para saudagar dari Asia Tengah, Syam, Yaman, Mesir, India, Irak Etiopia, Persia dan Rum. Itulah yang memengaruhi pembangunan konsep spiritual, keagamaan, kebudayaan yang diciptakan atas prinsip jual beli, untung dan rugi.
Dengan konsep itu, para saudagar kaya menjadi orang-orang nomor satu untuk menentukan berbagai kebijakan pada dinamika kehidupan nyata. Misalnya, para pedagang asing yang meninggal dunia di Makkah, harta bendanya harus diwariskan ke Makkah, kepada bangsa Quraisy. Selain itu dikeluarkan juga aturan utang piutang, siapa yang berhutang harus memberikan jaminan yang besar kepada yang memberikan hutang. Dengan sistem seperti itu, kerap kali terdengar jeritan dari anak-anak, perempuan-perempuan atau si penghutang itu sendiri yang telah dijadikan jaminan. Menjadi budak manusia. Tidak hanya itu, jika hutangnya sudah jatuh tempo dan tak sanggup membayar, jumlahnya pun semakin bertambah.
Tuhan-tuhan itu yang melindungi mereka. Hubal yang berdiri di samping Ka’bah dengan kedua matanya yang terpejam. Para pembesar itu tidak hanya memproduksi riba, perkebunan kurma, anggur, peternakan babi dan produksi minuman keras yang keuntungannya diperoleh dari keringat para buruh, budak dan para gelandangan sebagai kuli-kuli kasar. Jika mereka tak bekerja, maka kelaparan akan menggerogoti perut-perut mereka. Upahnya tak memiliki aturan yang jelas, bahkan tidak ada sama sekali, hanya diberikan makan untuk bertahan hidup. Para bangsawan di Makkah pun menciptakan budak-budak tentara yang dibeli dari Afrika, dipersenjatai sebagai pengawal harta-benda mereka.
Dia menyaksikan itu semua. Kondisi yang tidak seimbang, bahkan tidak manusiawi. Tak jarang ditemukan di lingkungan kota Makkah; orang kaya memiliki saudara yang teramat miskin, menghuni satu rumah dengan anggota keluarga yang sangat banyak. Posisi perempuan pun sangat dilematis, mereka tidak hanya dijadikan sebagai tempat melampiaskan nafsu birahi, apalagi ketika mereka menjadi budak, si majikan dengan bebas dan sesuka hati memperlakukannya, bahkan dijadikan modal untuk mencari keuntungan, dijual di rumah-rumah bordil.
Kenyataan itu, tidak sepenuhnya diterima oleh penduduk Makkah. Ada orang-orang yang memberontak, di antaranya Zaid bin ‘Amr. Dia pernah bertemu dengan Zaid ketika berdagang ke Syam, membawa dagangan saudagar perempuan terkemuka di Makkah. Zaid, seorang penduduk Makkah yang terlempar, dihinakan oleh kaum dan saudaranya sendiri karena menentang aturan-aturan tuhan Hubal yang menempel di wajah-wajah para bangsawan Makkah.
“Makkah telah melupakan agama Ibrahim!”
Itulah Zaid bin ‘Amr yang dia kenal di Syam, penduduknya hampir memeluk agama Isa, meskipun demikian kondisi Syam tidak lebih baik dari Makkah, sebuah kota yang telah hidup ribuan tahun, berwajah tua dan purba.
“Bukankah di sisi Ka’bah Ibrahim berbicara tegas dan lantang. Jangan mencuri, berbohong, menjalani riba, zina, bersikap tidak adil di dalam hukum, berkhianat dan mengurangi timbangan dalam berdagang.”
Dia memang menyaksikan sendiri, kota yang dibangun Ibrahim itu kini telah memiliki Latta, ‘Uzza dan Hubal. Tuhan-tuhan yang dulu pernah diruntuhkan oleh kapak Ibrahim. Mereka lahir kembali dengan zaman yang berbeda, disaat peradaban semakin berkembang. Kota ini telah diliputi kesewenang-wenangan dan kebiadaban. Bahkan, kerap ditemukan juga olehnya, orang-orang yang datang ke Ka’bah, mengelilinginya tanpa berpakaian, berdesak-desakan antara laki-laki dan perempuan, sesekali mereka menghilang di balik tuhan-tuhan berpatung itu, menyisakan suara-suara desahan panjang.
Namun, perjuangan Zaid bin ‘Amr tak membuahkan hasil. Dimusuhi dalam melakukan kebenaran memang sudah kerap terjadi di lingkungan kota Makkah. Zaid bin ‘Amr harus meregang nyawa dalam perjalanannya mencari kebenaran di tangan-tangan para pendusta, pencuri dan serakah.
Dia semakin resah dengan keadaan Makkah yang semakin tampak bodoh sepulang dari Syam. Mereka yang melarat menyadari kalau ditindas, dan mereka pun mengerti bahwa tuhan-tuhan di sekitar Ka’bah itu buta dan tuli. Tak ada satu pun dari tuhan-tuhan itu memberikan pertolongan pada kehidupan payah yang dialami oleh mereka. Para pembesar dan bangsawan tampak semakin gila dengan harta kekayaan. Pundi-pundi uang dan emas semakin terkumpul dari rakyat jelata yang miskin. Mereka mengagung-agungkan tuhan-tuhan yang sama, membakar dupa dan kemenyan di bawah kaki tuhan-tuhan mereka, baunya seperti bau tubuh orang miskin yang terpanggang di tengah-tengah gurun.
Kegelisahannya itu selalu disampaikan kepada Abu Bakar, sahabatnya berdagang ke kota Syam. Abu Bakar memiliki karakter yang hampir serupa dengannya; tidak mengurangi timbangan dalam berdagang. Beban pikirannya dengan keadaan kota Makkah yang semakin terasa kotor sangat menyusahkan batin. Kecurangan demi kecurangan terjadi di depan mata, dan hanya sedikit sekali yang berani tampil untuk melawan.
Abu Bakar memiliki cerita lain terhadap tuhan-tuhan di sekeliling Ka’bah itu. Pikiran-pikirannya pun sering disampaikan kepadanya, itulah mengapa dia merasa bahwa Abu Bakar adalah orang yang tepat untuk diajak berdiskusi tentang kegundahan hati.
Abu Bakar pernah berkata. “Sewaktu aku masih kecil, ayah pernah membawaku pada Ka’bah dan menunjuk patung-patung itu, lalu mengatakan bahwa mereka adalah tuhan-tuhan yang agung. Setelah ia pergi, aku mendatangi tuhan-tuhan itu, lalu aku meminta kepada mereka makanan dan pakaian, tetapi mereka hanya diam saja. Aku kesal, lalu kulempar tuhan-tuhan itu dengan batu. Sejak itu, aku tak pernah percaya terhadap tuhan-tuhan di sekitar Ka’bah.”
Dia memang tidak pernah melihat Abu Bakar ikut melakukan persembahan di depan tuhan-tuhan patung itu, bahkan dia pun tak pernah melihat Abu Bakar memakan daging kurban sesembahan. Abu Bakar memiliki sikap yang anti terhadap tindakan para bangsawan Quraisy, dia seperti menemukan suatu pencerahan, bahwa dunia yang adil di kota Makkah akan tercipta.
Situasi kehidupan Makkah semakin kacau, tak ada satu pun yang berani melawan ketidakadilan yang semakin berkembang dari waktu ke waktu. Kebenaran hanya menjadi obrolan orang-orang tersembunyi, di lorong-lorong kecil dengan suara yang sangat pelan. Tak ada yang memberanikan diri tampil di hadapan Ka’bah, lalu berseru kepada kaum Quraisy yang semakin menggila.
Abu Bakar adalah sahabatnya yang gemar membaca dan bergaul, memiliki pengetahuan tentang sejarah dan kebudayaan Makkah dari zaman ke zaman. Selain pedagang sukses, Abu Bakar juga berada pada lingkaran kekuatan bangsa Quraisy yang menguasai kota Makkah dan Ka’bah. Abu bakar pun tergolong saudagar kaya yang banyak memperoleh keuntungan-keuntungan di bulan peribadatan ketika orang-orang asing berdatangan mengunjungi Ka’bah untuk melakukan ritual keagamaan dan sesembahan.
Dia memang tidak seperti Abu Bakar yang mengenal tulisan, mampu membaca dan menghapal cerita-cerita orang terdahulu. Meskipun demikian, dia tidak pernah menyia-nyiakan waktunya untuk menambah pengetahun kepada Abu Bakar sewaktu mereka melalukan perjalanan bersama untuk berdagang, sehingga dia dapat memahami masalah tentang kebudayaan bangsa Quraisy, yang pada akhirnya memiliki kemufakatan bahwa tuhan-tuhan patung di sekitar Ka’bah adalah sumber dari kebodohan dan keserakahan bangsa Quraisy. Akan tetapi, dia dan Abu Bakar hanya bisa simpati melihat keadaan kota Makkah, tanah moyangnya.
Kini, tubuhnya masih menggigil di celah-celah gurun, di dalam gua Hira. Tempat yang selama ini dia pilih untuk merenungkan segala hal yang terjadi di kota Makkah. Dia ingin mencari ketenangan jiwa, memandang keheningan kota Makkah dari atas bukit gurun ini. Namun, malam ini sangat berbeda, sesuatu dari langit jatuh di dekatnya, membuat bulu kuduk berdiri, tubuhnya beku tak dapat bergerak, dia sungguh ingin lari.
“Bacalah!”
“Aku tidak bisa membaca.”
“Bacalah!”
Jantungnya semakin berdetak kencang, seluruh tubuh bergetar, keringat bercucuran, cuaca gurun semakin terasa dingin. Dia teringat Khadijah, istrinya yang kerap kali menemani dirinya menyepi di bukit gurun ini. Khadijah terkadang membangun tenda di luar gua, setia menjaganya. Kalau saja Khadijah saat ini berada di sekitar gua, dia pasti segera datang ke gua ini, memberikan kehangatan dengan belaiannya yang lemah lembut, sehingga dia dapat segera sadar dari ketakutan yang semakin mencengkram.
Dia mengenal Khadijah dari seorang hamba sahaya yang berkunjung ke rumah Abu Thalib, pamannya. Ketika itu dia hidup seorang diri tanpa memiliki apa-apa, selain cita-cita masa depan, yang dia sendiri belum tentu dapat meraihnya. Dia memang sebatang kara, Ayahnya tak pernah dikenal selain hanya cerita dan nama. Ibunya telah terkubur di tanah perantau sejak ia berusia enam tahun. Hanya Abu Thalib yang membesarkannya dengan keadaan ekonomi yang terseok-seok. Persediaan makanan di rumah Abu Thalib terkadang kurang, membuatnya tak enak hati jika hanya menganggur, dia harus mendapatkan pekerjaan, paling tidak dapat menyambung hidupnya di sela kehidupan sosial yang semakin kacau; penindasan dan kelaparan terjadi di tengah-tengah kota Makkah.
“Aku ini laki-laki yang tak memiliki harta. Setiap hari kita hanya dibayangi kegelisahan, tentang rasa lapar dan ketakutan. Keponakanku, kau adalah orang jujur dalam berdagang. Tentu akan banyak para saudagar mempekerjakanmu.”
Namun, ucapan Abu Thalib tidak selalu sesuai kenyataan. Tidak semua para saudagar senang dengan kejujurannya dalam berdagang, tentu alasannya adalah keuntungan yang berlipat. Dengan berbuat curang, para saudagar itu dapat menghasilkan keuntungan besar.
Disaat sedang dalam kegelisahan, dia dikejutkan oleh seorang budak dari Khadijah binti Khuwalid, seorang saudagar perempuan yang kaya raya. Dia juga memiliki wajah yang cantik, dikenal baik dan selalu menjaga kesuciannya meskipun sudah menjadi janda. Khadijah sering menyewa orang-orang untuk mengurus barang-barang dagangannya ke Syam dan sejumlah negeri lainnya, keluar dari tanah Makkah. Khadijah membutuhkan orang yang jujur agar tidak dirugikan dan dibohongi.
Khadijah adalah sepupu Waraqah bin Naufal, satu di antara orang-orang Makkah yang gelisah berada di tanah Makkah yang semakin serakah. Pada akhirnya Waraqah memilih memeluk agama Isa. Khadijah terpengaruh dengan ajaran-ajaran sepupunya itu, karena itu dia tak pernah melakukan riba, curang dalam timbangan dan takaran. Khadijah telah mendengar tentang kejujurannya, dan gelar Al-Amin yang disandang dari masyarakat Makkah. Khadijah memintanya untuk mengurusi barang-barang dagangan itu.
Ketika itu, Khadijah sudah berumur empat puluh tahun, dan dia adalah seorang pemuda yang berusia dua puluh lima tahun. Khadijah pernah menikah dua kali dengan saudagar dari kalangan bangsawan Makkah. Tetapi, kedua suaminya itu meninggal dunia. Dia pun menghadap kepada Khadijah, dengan langkah yang tegap dan senyum yang berseri-seri. Lalu, menyanggupi untuk membawa barang dagangan ke Syam.
Dia berangkat ke Syam, berdagang dengan kejujuran. Melayani pembeli dengan ramah, dengan itu dia menjadi pusat perhatian, prilaku yang berbeda dengan para penjual lainnya membuat barang dagangan Khadijah tak tersisa, dan mendapatkan keuntungan. Sepanjang tahun, dia berkali-kali pergi ke Syam untuk membawa barang dagangan, dia telah menjadi pekerja Khadijah. Semakin lama, Khadijah merasakan ada getaran-getaran lain pada diri jika melihatnya. Ada rasa sepi ketika Khadijah tak berada di dekatnya, ada rasa rindu ketika dia pergi berdagang ke Syam, dan selalu ada rasa gembira yang teramat sangat ketika dia pulang berdagang.
Khadijah selalu menyambutnya pulang, dengan senyum bahagia seolah melihat orang yang paling disayanginya kembali ke rumah.
“Khadijah menaruh rasa simpati kepada sikapmu yang lemah-lembut,” ucap Nafisah binti Munabbih.
Setelah itu, dia menyampaikan apa yang dikatakan Nafisah kepada Abu Thalib. Mendengar kabar itu, Abu Thalib sangat bahagia. Abu Thalib meminta Hamzah dan Zubair untuk menemaninya menemui Khuwalid bin Asad, ayah dari Khadijah. Seperti Khadijah, Khuwalid pun adalah bangsawan terpandang di Makkah. Namun, Khuwalid memiliki kebiasaan meminum tuak. Abu Thalib agak ragu untuk menemui Khuwalid dan menyampaikan lamarannya atas keponakan yang dicintainya. Sebab, Abu Thalib menyakini bahwa Khuwalid pasti akan menolak lamarannya yang tak memiliki cukup harta.
Ketika Abu Thalib datang, Khuwalid sedang meminum tuak. Abu Thalib menyampaikan maksudnya untuk menjodohkan Khadijah dengan keponakannya. Dalam keadaan setengah sadar, Khuwalid menyetujuinya. Tentu saja Abu Thalib sangat senang, mereka pun kembali ke rumah dengan membawa kabar yang sangat baik untuk keponakannya. Saat itu, Khadijah pun merasa berbunga-bunga, cita-citanya akan terwujud bersama seorang pemuda yang sangat jujur, lemah lembut, bertanggung jawab dan berani.
Akan tetapi harapannya itu belum mendapatkan kemulusan. Keesokan harinya, ketika Khuwalid telah sadar dari mabuknya, Khuwalid marah besar ketika mengetahui bahwa putrinya akan dinikahi oleh seorang pemuda dari kalangan rakyat, tak memiliki harta benda, bahkan hanya seorang pekerja anaknya, yaitu Khadijah.
“Kau selalu menolak bangsawan-bangsawan Quraisy, tapi mengapa dengannya kau begitu ingin bersuami!” bentak Khuwalid.
“Aku tak membutuhkan suami yang kaya. Aku memilih pemuda ini dari suara hatiku yang tulus,” ucap Khadijah.
Karena kekerasan Khadijah untuk mempertahankan keinginannya, dengan penjelasan-penjelasan yang bisa diterima oleh akal sehat Khuwalid. Perkawinan pun dilaksanakan. Unta-unta dipotong, dibagikan kepada orang-orang faqir dan miskin sebagai tanda kebahagiaan. Tetapi, dia hanya termenung menyaksikan semarak kegembiraan dari keluarga Abu Thalib dan keluarga Khuwalid. Dia terkenang ibunya. Kemudian, dia mencari Halimah, perempuan yang menyusuinya, diberikan empat puluh ekor kambing untuk digembalakan, agar Halimah ikut merasakan kebahagiaan, sebagai rasa rindu kepada Aminah, ibunya yang telah tiada.
Setelah pernikahan itu. Kehidupannya berubah. Dulu, dia hanya seorang penggembala kambing, seorang pemuda yatim piatu dan miskin, seorang pekerja. Kini, bersama Khadijah dia memiliki harta benda dan kebangsawanan. Dulu, di bawah panas matahari gurun, dia mengembara, menggembalakan kambing, bekerja dengan berat dan lelah. Kini, dia mempunyai istri yang sangat mencintainya, memperhatikan segala kebutuhan. Kehadiran Khadijah pada hidupnya telah meluluhkan duka dan kegetiran hidup.
Usaha perdagangan Khadijah pun semakin hari semakin berkembang. Dia sungguh bahagia bersama Khadijah. Bahkan, banyak orang mulai mengikuti jejaknya dalam berdagang, yaitu dengan kejujuran. Dia telah memiliki ketenangan, ketentraman. Akan tetapi, itu semua tidak mengubahnya menjadi seseorang yang pemalas, angkuh dan sombong. Dia semakin gelisah menyaksikan Makkah dirundung kegelapan, ketidakadilan semakin tumbuh, budak-budak semakin sengsara.
Dia mulai menasihati Khadijah untuk tidak memperlakukan para pekerja tidak seperti budak. Para pekerja-pekerja itu memiliki hak yang sama dalam hidup, Khadijah mengikuti nasihat suaminya. Para pekerja diberikan pakaian layak dan makanan yang sehat, upah yang diberikannya pun sesuai dengan pekerjaan mereka. Dia kini menjelma seorang lelaki yang berbudi luhur, pengalaman-pengalaman pahit yang dijalani sewaktu masa lajang menjadikan dia kuat, dewasa dan berkepribadian.
Keluhuran budi pekertinya membuat dia dikenal dan semakin tersebar luas di tengah masyarakat Makkah. Dia pun hanya memiliki satu istri, yaitu Khadijah. Dia tak pernah terlihat berjalan dengan wanita lain selain istrinya. Padahal, istrinya sudah semakin jauh meninggalkan usianya. Selain itu, dia selalu berpihak pada orang-orang yang tertindas. Selalu menolong dan berkata lemah-lembut.
Kekayaan yang diperoleh dengan menikahi Khadijah, tidak pernah membuatnya silau, apalagi semena-semena kepada budak-budak berkulit hitam. Dia selalu ingin membebaskan budak-budak itu. Namun, Makkah semakin hari, bulan dan tahun semakin gelap dan menyesatkan. Khadijah selalu meredakan kegelisahannya ketika dia tak kuasa menyaksikan penindasan di mana-mana. Pertikaian terjadi pada kaum-kaum bangsawan di Makkah, puncaknya ketika memugar bangunan yang disucikan, yaitu Ka’bah.
Konflik itu terjadi ketika akan diletakan batu Hajar Aswad, batu yang berwarna hitam. Bangsa Quraisy terlibat peselisihan sengit mengenai orang yang pantas meletakkan batu tersebut. Karena semua keras kepala, nyaris saja terjadi perang saudara, hingga tercetus satu pendapat yang disetujui oleh semuanya.
“Serahkan saja persoalan ini pada orang yang paling awal masuk Ka’bah!”
Semua orang menyaksikan, dia berjalan memasuki Ka’bah. Wajah yang mengisyaratkan kejujuran dan kelapangan hati terpancar, dan dia selalu tersenyum ke semua orang.
“Kita telah sepakat, dan dia dikenal sebagai orang yang terpercaya.”
Lalu, diceritakan masalah sengketa yang membelit mereka. Setelah itu, dia meminta kain, dibentangkan kain itu di atas permukaan tanah. Batu hitam diangkat, diletakan di atas kain. Dia meminta satu orang dari setiap perwakilan kelompok para suku dan bangsawan Quraisy yang tengah berselisih. Kemudian mereka diminta memegang ujung kain, diangkatlah kain itu menuju tempat peletakan batu. Sesampainya di tempat peletakan, dia mengangkat batu itu dan diletakan di sana. Semua setuju, semua orang memuji atas keluhuran budi yang dimiliki olehnya.
Tidak hanya itu, ketika Khadijah membeli seorang budak laki-laki, Zaid bin Haritsah. Dia pun menghampiri budak itu, lalu memerdekakannya. Zaid pun diangkat sebagai anak, diperlukan dengan sangat baik di rumahnya hingga pada akhirnya Zaid menemukan ayah kandungnya. Dia memberikan pilihan, tetap tinggal bersama atau kembali pada keluarganya. Zaid mengambil keputusan untuk tetap tinggal bersamanya, di rumah Khadijah.
Keluhuran budinya semakin termasyur. Khadijah, selalu bersamanya. Kini, Khadijah menjadi seorang istri yang paling memahami kegelisahan suaminya akan prinsip melindungi hak asasi setiap orang tanpa diskriminasi antara ras yang berkulit hitam dan berkulit putih, antara bangsawan dan budak, kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan. Dia telah merealisasikan dengan sangat baik. Meskipun dia telah menjadi saudagar kaya bersama Khadijah.
Akan tetapi, patung-patung di sekitar Ka’bah masih berdiri. Praktek-praktek ritual keagamaan yang dijalankan semakin tak beradab di sekitar Ka’bah. Dia menyaksikan kekosongan batin pada setiap orang di Makkah. Dia merasa seorang diri untuk melakukan perubahan, hampir tak ada seorang pun yang berani tampil untuk melawan kesesatan di Makkah. Khadijah, selalu hadir untuk menenangkan kegelisahannya. Mengusap kepalanya dengan kasih sayang.
Hari-hari, dia sempatkan untuk menyepi. Merenung dari atas bukit, memandang kota Makkah di tengah terang bulan. Kekayaan kota Makkah hanya dalam genggaman segelintir orang, sementara berpuluh-puluh, ratusan bahkan ribuan berada pada penderitaan. Telah hadir orang-orang yang memperjuangan untuk menghapus ketidakadilan itu, namun semua terbentur tembok-tembok kekuasaan dan kerakusan. Lalu, apakah dia bisa hadir sebagai penolong untuk orang yang tertindas.
Diberbagai penjuru telah menjamur iklim kesewenangan-wenangan. Dia mendengar dari teman-temannya yang mengembara, berdagang ke berbagai daerah. Menurut pemikirannya, kekuatan menegakkan ketidakadilan itu hanya berdasarkan sesuatu yang tidak masuk akal. Di Makkah kekuatan itu menggunakan patung-patung Hubal, di Persia menggunakan nama tuhan-tuhan, sedangkan di Romawi menggunakan tukang-tukang tenung dan ahli ceramah. Segalanya diperlakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuatan tersebut tanpa harga diri.
Kondisi sosial keagamaan semakin parah. Nilai-nilai spiritual agama Musa dan Isa tidak lagi diamalkan. Kekuasaan tuhan telah beralih ke tangan para bangsawan, saudagar, tukang tenung dan para pemeras lainnya. Para pemuka agama pun turut hadir sebagai kekuatan baru memeras orang-orang tertindas dengan dalih-dalihnya.
Kini, dia telah berusia empat puluh tahun. Kegelapan-kegelapan masih menyelimuti Makkah. Dia pun pergi ke gua Hira, dan semakin sering mengunjungi tempat itu, hingga suatu ketika Khadijah dikejutkan dengan kedatangannya dengan wajah yang pucat pasi.
Setelah mendengar apa yang diceritakan, Khadijah selalu menjadi seseorang yang membuatnya tenang.
“Kau tidak akan pernah menjadi tukang tenung karena dirimu selalu jujur dalam berbicara, tak pernah membalas keburukan dengan keburukan, melaksanakan tanggung jawab, menjalin persaudaran dengan banyak orang, budi pekertimu luhur. Mimpi itu sebenar-benarnya mimpi.”
Dia merasa tertidur ketika menyepi di gua Hira, namun dalam tidurnya dia mengalami suatu kejadian yang aneh. Sangat aneh. Dia merasa seolah-olah apa yang ada disekelilingnya, mulai dari batu, langit, pasir menjadi terasa hidup. Benda-benda itu seperti ingin menyampaikan sesuatu. Dia terbang dalam alam mimpi, lama sekali. Dia seperti hidup dalam dunia baru, dunia yang menjanjikan kehidupan lebih baik. Dunia itu terlukis teramat sempurna.
Seketika dia dikejutkan oleh sesuatu yang datang dari langit bersama cahaya, dia membawa sesuatu, sejenis kitab namun tidak terlihat seperti kitab.
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Ketika terbangun, dia tidak seperti sedang bermimpi, semua yang dibacakan itu jelas, dia pun hapal apa yang telah didengar. Jantungnya berdetak sangat kencang, di sekitanya hanya kesunyian. Dengan tergesa, dia meninggalkan gua Hira menuju rumah di mana istrinya telah menunggu. Khadijah sangat mencintainya, terus berusaha menenangkan lelaki yang sudah hidup bersama selama lima belas tahun itu dari kecemasan. Diusap keringat yang bercucuran, diletakkan kepala di atas pangkuan.
Dialah Muhammad. Nabi akhir zaman. Yang terpilih sebagai pembawa kabar gembira ke semua makhluk di seluruh dunia.
Oktober, 2020
Nana Sastrawan, lahir 27 Juli di Kuningan, Jawa Barat. Dia pernah menjadi peserta Mastera Cerpen (Majelis Sastra Asia Tenggara 2013) dari Indonesia bersama para penulis dari Malaysia, Brunei, Singapura. Meraih Penghargaan Acarya Sastra IV dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2015. Beberapa novelnya adalah Anonymous (2012). Cinta Bukan Permainan (2013). Cinta itu Kamu (2013). Love on the Sky (2013). Kerajaan Hati (2014). Kekasih Impian (2014). Cinta di Usia Muda (2014). Solilokui (2019), Sumbi, Perempuan yang Mengawini Anjing (2020). Buku Kumcernya adalah Ilusi-delusi (2015), Jari Manis dan Gaun Pengantin di Hari Minggu (2016), Chicken Noodle for Students (2017). Buku cerita anak Telolet (2017), Aku Ingin Sekolah (2018), Kids Zaman Now (2018). Buku antologi puisinya, Tergantung di Langit (2006), Nitisara (2008), Kitab Hujan (2010), Penyair Tali Pancing (2011). Penulis bisa disapa di akun Facebook, Youtube, Twitter dengan nama pena di atas, atau kunjungi www.nanasastrawan.com.