Malam hari Markoji mesti berdiri membaca nama-nama kecil yang ia tulis di dekat angka kalender. Memicingkan kedua matanya agak lama karena mengeja dengan terbata-bata seraya menyorotkan lampu senter ke kalender yang tergantung di sisi pintu rumahnya itu. Ia rutin memeriksa kepada siapa keesokan harinya akan bekerja sebagai pemetik buah kelapa. Nama-nama itu adalah orang yang telah memintanya untuk memetik buah kelapa. Berhubung hanya dirinya satu-satunya orang yang tetap bertahan sebagai pemetik buah kelapa, maka hampir semua orang di desa itu—bahkan di desa lain—membutuhkan jasa Markoji hingga ia kesulitan untuk mengingat nama dan hari yang ditentukan. Maka ia pun meniru kebiasaan Kiai Saleh yang melingkari angka kalender sebagai jadwal untuk berceramah.
Setiap kali kakinya menyentuh takik pertama pada setiap pohon, ia pasti teringat almarhum ayahnya yang jatuh saat memetik buah kelapa ketika usia Markoji masih tujuh tahun; siang yang terik saat geletar angin kemarau membawa harum tembakau, ayahynya jatuh tengkurap dari ketinggian pohon kelapa, memeluk dan mencium tanah hingga darah segar muncrat dari hidungnya. Kala itu masih ada warga yang sempat membawanya pulang, tetapi setiba di rumahnya. Napas ayahnya sudah satu-satu. Mulutnya menganga laiknya ikan ditarik kail dan menggelapar di tanah kerontang. Tubuhnya bersimbah darah. Mengaduh sakit dengan suara serak berpadu isak tangis yang membuat ibunya menjerit histeris.
“Ja. Jang…ngan me.me.. nangis, Bu. Ini tu…tu..gas mulia de..de..mi mem..bantu orang dan demi me..me..makmur…kan desa saat orang lain su…su..dah lebih me..me…milih be..be..kerja ke laur Madura,” suara ayah Markoji putus-putus, sebelum akhirnya meninggal di pengkuan istrinya setelah lidahnya yang gemetar melafal kalimat syahadat.
Setiap hendak memanjat pohon kelapa, kata-kata ayahnya itu yang selalu ia ingat bahwa pekerjaannya kini adalah demi menghidupankan desa dan orang-orangnya ketika yang lain lebih suka bekerja ke kota daripada di desa. Markoji kemudian membaca basmalah, dan lanjut memanjat, seolah patuh mengangguk pada ayahnya, menantang maut, demi kemakmuran desanya.
Suara gesek salampar1 kecil yang ia pegang mengiringi dirinya menuju puncak, serasa suara ayahnya yang melafal petuah dan doa-doa bagi dirinya. Andai tidak karena ingat pesan ayahnya, sudah pasti dirinya kerja merantau ke kota sebagaimana kebanyakan warga di desa itu, sebab selain upah memetik kelapa kecil, juga membuat dirinya harus mengeluarkan energi besar untuk tiba di puncak; kulitnya kerap mengelupas karena bergesekan dengan kulit pohon, napasnya terengah-engah, keringatnya mengucur, sering pula ia harus kelilipan saat tangannya berusaha membelah tumpukan janur kering yang menyampiri bagian pohon, tak jarang pula digigit kelabang atau disengat kalajengking yang biasa bersembunyi di bagian ketiak tangkai, dan ia juga harus rela memeluk pohon dengan erat saat angin menggoyang-goyang, terutama ketika hujan deras.
Setiba di puncak, cukup hafal dirinya menentukan kelapa tua dan yang masih muda hanya dengan perantara ketukan punggung sabit. Kemudian sabit itu akan memotong tangkai kelapa yang dirasa sudah tua satu per satu, hingga jatuh, mirip tubuh ayahnya, kadang ia juga membayangkan bisa juga mirip dirinya jika jatuh.
“Hiii!”
Markoji bergidik.
#
“Sampai kapan kamu akan bergelut dengan pekerjaan itu, Mar? Ayolah ikut aku merantau ke kota untuk jaga warung kelontongan. Kerjanya enak, tidak kena panas atau hujan, lebih menjanjikan daripada upah memetik buah kelapa,” bujuk Amir teman sepermainannya sejak kecil ketika ia bersilaturrahmi saat lebaran.
“Anakmu tiga, butuh biaya besar. Rumahmu sudah harus diperbaiki. Juga butuh biaya. Kalau kamu hanya mengandalkan upah memetik buah kelapa ya tidak bisa mencukupi,” lanjut Amir.
Markoji terdiam, sekadar tersenyum, dan kadang mengangguk pelan.
“Sekarang aku sudah punya mobil, sudah bisa nabung untuk persiapan pendidikan anak, sudah bisa bangun rumah besar, dan sudah menabung untuk berangkat haji,” imbuh Amir sambil menjentikkan abu rokok.
“Iya, Mir. Rezekimu sekarang menumpuk,” respon Markoji lirih.
“Lha makanya, padahal dulu aku sering minta dibeliin permen ke kamu kan, Mar?”
Keduanya tertawa.
“Lagi pula, Mar. Pekerjaanmu itu sangat berbahaya. Ayahmu meninggal karena pekerjaan itu kan?. Kalau kamu meninggal, kasihan sama anak-anakmu itu yang masih kecil.” Amir menunjuk ke tiga anak Markoji yang sedang bermain di halaman.
Markoji bergeming. Bibirnya bagai rapat terkunci. Cuma menarik napas sedalam mungkin dan melepasnya dengan sekali hembusan cepat seolah menumpuhkan sebentuk gejolak dalam dadanya. Ia mencermati perkataan Amir, sambil melirik anak-anaknya dengan sepasang mata yang nyaris pecah tangis.
“Aku tahu pekerjaanku sangat berbahaya, Mir. Tapi ayah berpesan agar aku bertahan jadi pemetik buah kelapa demi orang-orang di desa ini. Kamu tahu sendiri kan? Sekarang tak ada lagi pemuda yang mau menjadi pemetik buah kelapa,” suara Markoji sedikit serak.
Amir tak menyahut apa-apa. Ia hanya tersenyum lucu menatap wajah Markoji.
#
Kala itu hari hampir magrib. Senja hanya menyisakan garis horizontal kekuningan di balik gulungan kabut-kabut tipis. Markoji baru saja datang memetik buah kelapa. Kaus lusuh penuh sobekan yang biasa ia pakai terselempang di bahunya. Wajahnya terlihat lesu, berpupur basah keringat. Sebentar ia menyelipkan sabit pada renggang gedek di pojok kandang, sebelum akhirnya ke beranda, mengempaskan pantatnya di kursi kayu sambil mengipas-ngipas tubuhnya dengan kaus yang sebelumnya terselempang di bahu. Ia menatap tenang tiga anaknya yang bersiap berangkat ngaji. Kemudian istrinya datang seraya menyapa sebelum akhirnya duduk di sampingnya. Tangan kanan Markoji lantas merogoh saku samping celananya.
“Ini buat belanja besok,” kata Markoji dengan bibir menakir senyum. Istrinya menerima lembar uang lima puluh ribuan seraya tersenyum lalu menggulung-gulungnya hingga kecil.
“Aku harap ini hari terakhirmu jadi pemetik buah kelapa, Mas!” seketika perkataan istrinya membuat Markoji tersentak kaget. Matanya terbelalak. Ia bergeming. Tangannya mencoba menyeka keringat di pipinya.
“Apa? Aku harus berhenti? Coba lihat di kalender. Jadwalku memetik buah kelapa masih banyak dan rasanya tak akan ada henti-hentinya karena sekarang hanya aku yang melakukan pekerjaan itu, Dik,” ucap Markoji tegas sambil mendekatkan wajahnya ke wajah istrinya.
“Upah memetik buah kelapa tak seberapa, Mas. Tidak bisa membuat keluarga kita sama dengan para tetangga. Anak-anak butuh tambahan biaya, dan aku ingin punya gelang seperti tetangga, Mas,” suara istri Markoji memelas.
Markoji terdiam. Ada rasa sakit di dalam dadanya. Hampir saja ia menangis.
“Baiklah, aku berjanji, mungkin dalam bulan ini kamu akan kubelikan gelang,” Markoji melirik wajah istrinya dengan tatap yakin. Di dalam dadanya beraduk rasa sedih dan haru saat melihat istrinya tersenyum.
#
Sejak berjanji untuk membelikan gelang istrinya, Markoji semakin giat bekerja. Pagi selepas subuh, ia sudah berangkat memetik buah kelapa, tak lupa membawa bekal sarapan dan alat-alat salat, dan ia baru pulang ketika hari hampir magrib. Begitu setiap hari, seperti ingin menunjukkan kepada istrinya bahwa bekerja di desa asal ditekuni nyatanya bisa juga mencukupi kebutuhan.
Selain itu, Markoji yang biasanya tidak mau memetik buah kelapa di puncak pohon yang sangat tinggi dan berbahaya, kini mulai memberanikan diri untuk memetik di pohon-pohon itu demi menambah pendapatan.
Hari itu ia menyanggupi permintaan Haji Maskur untuk memetik kelapa di pohon paling tinggi yang biasanya tak ia sanggupi. Setiap kali memanjat, bibirnya tekun melafal zikir. Ia memeluk erat pohon itu saat angin datang menggoyang. Kerap terbayang bagaimana dulu ayahnya jatuh dan mati, tapi kemudian pudar saat teringat istri dan anaknya yang minta hidup yang sama dengan para tetangga.
Markoji terus memanjat, lihai kakinya mencari posisi yang dapat ditempati dengan aman, sedang tangannya harus membuat takik baru di bagian puncak yang belum ada takiknya sama sekali. Setelah takik tersedia, barulah perlahan ia pindah ke posisi yang lebih tinggi, begitu seterusnya seperti sengaja untuk menggapai langit dengan segala yang dicita-citakan.
Ketika Markoji sedang berjuang memetik buah kelapa sesulit itu—dan ketika tak ada lagi pemuda desa yang mau bekerja di kebun dan ladang—ada kalanya terbersit di dadanya untuk menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah yang mengajari siswanya cara-cara mengolah sumber daya alam yang ada di lingkungannya agar anak-anaknya mampu merawat lingkungannya sendiri dan tidak tergantung pada kehidupan di tanah rantau.
Setiba di puncak, ia tersenyum karena merasa berhasil menaklukkan pohon yang sangat tinggi. Tangannya kemudian menarik rimbun janur kering yang bergelantungan satu per satu agar ia mudah menjangkau buah. Di saat itulah ia tak menduga, tangan kirinya terlepas dari pegangan hingga dirinya jatuh bersama janur-janur kering ke datar tanah.
Markoji merasakan sakit tak terperi. Luka-luka mewarnai tubuhnya dengan tetes darah. Hidung dan mulutnya juga bersimbah darah, tapi ia tetap tenang dan sadar sembari menyebut nama Allah. Hingga Haji Maskur datang, memanggil orang-orang, dan melarikannya ke rumah sakit.
Di rumah sakit, istri dan anak-anaknya mengelilinginya sembari menangis.
“Jangan menangis! Aku masih akan membelikanmu gelang emas. Aku masih akan memetik buah kelapa lagi, sebab di desa ini sudah tidak ada yang sudi bekerja untuk itu,” ucapnya dengan suara tegas meski dalam pandangannya, ia tak bisa melihat anak dan istrinya, hanya melihat buah kelapa yang berjatuhan, juga tubuh ayahnya yang juga jatuh.
Gaptim, 2021
- Alat yang berbentuk lingkaran, biasanya terbuat dari pelepah siwalan atau ban bekas, digunakan sebagai pegangan tangan saat memanjat.
Warits Rovi. Lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel dimuat di berbagai media antara lain: Kompas, Tempo, Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, Majas, Sindo, Majalah Femina, dll. Memenangkan beberapa lomba karya tulis sastra. Buku Cerpennya yang telah terbit Dukun Carok & Tongkat Kayu (2018). Buku puisinya adalah Kesunyian Melahirkanku Sebagai Lelaki (2020). Sedangkan buku puisinya yang berjudul Ketika Kesunyian Pecah Jadi Ribuan Kaca Jendela memenangkan lomba buku puisi Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto 2020. Ia mengabdi di MTs Al-Huda II Gapura.