Batik Ciamis Warisan Adiluhung Leluhur

Batik Ciamis

Dr. Yan Yan Sunarya, S.Sn., M.Sn.

Batik (termasuk Batik Ciamis) merangkai keragaman kaweruh (pengetahuan tradisi Sunda/Ciamis), kekayaan keindahan (estetik), dan jati diri bangsa (masyarakat/urang Sunda/Ciamis dulu-kini-ke depan), guna menghargai manusia beserta capaian kebudayaannya (Yan Yan Sunarya, 2019)

Istilah Batik Sunda (termasuk Batik Ciamis) didefinisikan sebagai batik yang memiliki unsur-unsur estetik berupa ragam hias yang terdiri atas: bentuk, warna, komposisi, penamaan beserta ungkapan-ungkapan Sunda dalam artifak budaya Sunda yang menyertainya. Batik Sunda merupakan buatan dari sentra pembatikan lama di wilayah Priangan Timur sebagai sub kebudayaan Priangan (lihat: Rusliana, 2002), di antaranya Batik Ciamis yang menjadi pembahasan mendalam dan komprehensif di dalam Buku “Batik Ciamis Warisan Adiluhung Leluhur” ini.

Pada abad ke-20, kegiatan pembatikan Ciamis berkembang di Cikoneng yang memiliki corak khas, sehingga timbul sebutan Ciamisan (lihat: Rosidi, dkk., 2000). Tetapi dalam perkembangannya, Batik Ciamis ini pun telah meluas dan mewahana ke berbagai bentuk pengertian dalam dimensi pemaknaan, prinsip tujuan, hingga pengaruh kebhinekaan budaya Indonesia (lihat: Anas, dkk., 1997). Perkembangan selanjutnya Batik Ciamis dibangun dengan pandangan dasar artistik yang berkembang sesuai tuntutan zaman (lihat: Hasanudin, 2001).

Batik, secara umum merupakan pengejawantahan dari kondisi yang melingkari pembatik, apa yang diungkapkan merupakan curahan perasaan dan pemikiran (faktor-faktor intraestetik) terhadap kekuatan di luar dirinya (faktor-faktor ekstraestetik), yang berkaitan dengan tradisi sosial yang berlaku di masyarakat. Hal ini terlihat dari sajian ragam hias/corak; karena itu perkembangan batik sejalan dan mencerminkan nilai ketradisian serta dinamika masyarakat pendukungnya (termasuk masyarakat/urang Sunda/Ciamis). Rancangan dan motif batik didapat dari ilham kehidupan keagamaan, kebudayaan bangsa, serta keadaan alam Indonesia (termasuk keadaan alam wilayah Priangan Timur, seperti Ciamis) (lihat: Anas, dkk., 1997).

Dalam lingkup tradisi, bila orang menyebut batik, pengertian ini merupakan sesuatu yang utuh, tidak pernah dipisahkan antara motif, atau ragam hias/corak dan teknik. Batik adalah salah satu media proses pembudayaan manusia. Dari proses pembuatannya sampai pada simbolik ragam hias/corak dan tatacara serta peristiwa kapan batik itu digunakan, adalah suatu keterpaduan dari berbagai nilai budaya yang dijadikan pedoman hidup sehari-hari. Dalam batik proses menggambar ragam hias/coraknya dengan lilin dan canting memerlukan waktu dan konsentrasi, kemampuan dan penguasaan diri. Proses membatik adalah proses mendidik seseorang untuk belajar, bersabar, dan mengendalikan diri, selain itu ragam hias/corak yang dipilih harus sesuai maknanya dengan latar belakang peristiwa pemakaian batik. Dengan demikian, batik di Indonesia bukanlah benda pakai yang estetik saja, tetapi mempunyai dimensi spiritual, dan dimensi translingual, yang menunjukkan tingkat kebudayaan bangsa Indonesia yang sudah tinggi (lihat: Widagdo, 1997).

Kenyataan sejarah menunjukkan, bahwa keberlangsungan batik sampai masa kini juga adalah berkat pergolakan yang senantiasa terjadi pada berbagai aspeknya, baik itu teknik, estetik, normatif, ikonografik, simbolik, fungsional, dan sebagainya. Dialektika dalam kehadiran batik mengungkapkan hasrat serta upaya untuk senantiasa tanggap terhadap perubahan (Anas, dkk., 1997).

Lantas, telah terjadi bauran nilai estetik antara busana bergaya modern dan tradisional. Awal abad ke-20, saat zat warna dan teknik produksi tekstil berkembang, kain batik cap pun tumbuh pesat. Di masa pasca kemerdekaan busana batik bergaya modern makin meluas akibat batik cap dan mesin tekstil untuk memproduksi kain bermotif batik. Hal itu merupakan fenomena baru dalam pemasyarakatan batik modern. Fenomena ini merupakan pembudayaan batik secara lebih teratur dan bermakna (Sachari, 2004). Ragam hias batik telah mengalami pertumbuhan, yakni batik sebagai dagangan dan kebutuhan desain dalam konstelasi konsep modern (Hasanudin, 2001). Maka bila sebelumnya batik dibuat untuk keperluan adat dan budaya internal, kemudian juga diproduksi guna keperluan pasar eksternal, menjadikannya sebagai komoditas. Perhatian diberikan pada mereka yang berkiprah dalam perspektif pembaruan penerobos kemapanan. Menjelajahi wilayah pendekatan baru di luar konteksnya sebagai warisan budaya yang harus serba pakem (Anas, dkk., 1997). Batik modern dapat disebut juga sebagai batik dengan paduan ragam hias/corak asing dengan pola wastra/kain tradisional (Soemantri, dkk.).

Aktualisasi terhadap Batik Sunda kiwari (masa kini) – termasuk Batik Ciamis – adalah bila kita mampu mempelajari latar belakang sejarah, filsafat, simbol, teknik, ekspresi dan segala aspek penciptaan lainnya untuk mendapatkan secercah wisdom yang dimanfaatkan untuk pengembangan kreativitas manusia kini, dalam menciptakan bentuk artikulasi simbol baru yang sesuai dengan waktunya (lihat: Widagdo, 1999). Dalam kerangka pikir modern, bila berbicara soal tekstil maka pengertiannya berkisar tentang hubungannya dengan fungsi tekstil sebagai sandang, pelengkap rumah, atau komoditas. Sejarah menunjukkan, selalu ada tarik-menarik antara tradisi dan modernitas. Dinamika dua kutub ini akan menghasilkan sintesis yang harus kita buat sendiri, sesuai dengan kebutuhan kini (Widagdo, 1997). Walaupun, dewasa ini kita berhadapan dengan fenomena batik tulis dan cap terdesak oleh cara menghias tekstil yang lain. Dalam banyak hal tekstil yang modern ini berlindung di bawah bendera batik (Tirta, 2005).

Di akhir abad ke-20. aspek batik sebagai pakaian tradisional tampak semakin berkurang. Dewasa ini batik lebih dilihat sebagai teknik rintang warna yang memiliki kelebihan efek visual daripada teknik langsung-warna (direct-dye). Pada batik, terdapat berbagai kemungkinan kreatif atau inovatif yang menyangkut bahan baku kain, desain benang, struktur anyaman, dan paduan serat. Dan kemungkinan kreatif atau inovatif pada ragam hias, olahan malam, zat-zat kimia warna dan proses penyempurnaan lain, serta pengembangan fungsi batik baik fungsi batik sebagai desain atau seni, masih terbentang luas. Upaya untuk menghidupkan dan meningkatkan kembali kriya kain tradisional mulai dilakukan bersamaan dengan ditingkatkannya kesadaran nasionalisme yang sudah terasa sejak dekade 1970an. Batik yang tergeser kedudukannya sebagai bahan busana kemudian dicoba dalam berbagai keperluan masyarakat dalam kehidupan kesehariannya, misalnya sebagai pelengkap interior dan rumah tangga. Ragam hias yang baku mengalami modifikasi atau diganti dengan aneka corak baru yang lebih bebas, demikian pula paduan warna yang mendobrak susunan warna tradisional. Melalui aneka kemajuan penemuan zat pewarna sintetis, hal ini memang sangat dimungkinkan. Kain batik model baru ini juga diproduksi dalam ukuran yang lebih bebas, sehingga membuka peluang untuk keperluan aneka fungsi baru pula. Perubahan dalam pendekatan tentang batik ini membawa dampak yang luar biasa. Perhatian masyarakat perlahan-lahan mulai melihat batik sebagai alternatif bahan baku untuk penggunaan yang lebih bebas dan luas. Ragam hias yang tidak terikat pada adat, kombinasi warna yang lebih cerah serta ukuran bahan yang lebih besar ini mulai banyak dimanfaatkan dalam kehidupan modern/masa kini (Anas, dkk., 1997).

Setelah keberhasilan batik sebagai bahan kain untuk pelengkap interior, para pembatik kemudian memperkenalkan busana dari kain batik dengan rancangan yang disesuaikan dengan selera modern. Langkah yang dilakukan adalah dengan merancang kemeja batik untuk pria dengan ragam hias yang dibuat khusus untuk itu. Pakaian ini kemudian dengan segera menggantikan kedudukan jas dan dasi sebagai pakaian resmi dalam kehidupan modern. Bahan baku yang digunakan pun dipilih yang lebih tinggi kualitas maupun penampilannya. Sutera atau mori dari tingkat yang paling halus merupakan pilihan utama. Selain memanfaatkan ragam hias kreasi baru, batik dalam busana resmi juga menggabungkan aneka corak baku dengan corak baru, sehingga citra batik tidak lagi muncul hanya sekadar sebagai teknik, tetapi juga estetik. Dewasa ini boleh dikatakan hampir tidak ada lagi ragam hias larangan yang tidak dapat dipakai oleh masyarakat umum (Anas, dkk., 1997).

Sanento Yuliman (1986) menyatakan, bahwa batik mestinya berdimensi komersial dan inovasi. Dimensi komersial diperlukan untuk menambah gairah berkarya. Produk yang dibuat memperoleh penghargaan sekaligus keuntungan, sehingga bukan merupakan pekerjaan sia-sia. Sedangkan dimensi inovasi ditujukan untuk pencapaian prestasi, kadangkala tanpa tujuan untuk mengejar keuntungan dalam jangka pendek. Kenyataannya keduanya telah dilakukan, tetapi tidak secara sadar dan terencana diangkat dalam program usaha. Mungkin karena batik masih dianggap warisan tradisi luhur yang perlu dilanjutkan secara apa adanya berikut langgam serta irama kerjanya yang bersifat sambilan (Anas, dkk., 1997).

Orang dapat menyikapi karya tradisional adiluhung (seperti pada Batik Ciamis) dengan dua pendekatan. Pertama, menerima kehadiran benda itu sebagai karya yang utuh, untuk mengerti harus mampu menggunakan bahasa yang sama dengan bahasa yang digunakan oleh produknya (pendekatan fenomenologis), dan mampu melihat benda tradisi adiluhung secara ontologis. Kedua, mempelajari benda karya tradisi tadi dari kacamata kontemporer, dipelajari komponen-komponennya, ide yang melatarbelakanginya, konsep-konsep pragmatis yang diacu sehingga menghasilkan bentuk-bentuk tertentu, aspek rekayasanya, komposisi materialnya, proses pembuatannya, dan sebagainya (konsep analitis rasional Cartesian). Kelompok ini adalah, yang istilah Renaisansnya tergolong mass culture. Benda-benda ini mempunyai tujuan pragmatis dan mempunyai manfaat praktis. Benda ini terbentuk dari hasil pengalaman empirik yang sampai pada bentuk akhirnya melalui proses waktu yang lama. Sebagai benda fungsional ia adalah pencapaian optimum dari berpadunya unsur-unsur guna, material, proses, ergonomi, lingkungan, gaya hidup, ekonomi, dan seterusnya, dengan kata singkat sebuah desain yang sempurna (lihat: Widagdo, 1999).

Terapan sikap yang diuraikan di atas, contohnya bahwa terdapat efek samping yang kurang baik dari diversifikasi batik di atas bahan sutera, adalah dengan ditinggalkannya pakem-pakem batik tradisional. Efek samping ini memungkinkan perpanjangan hidup produk batik, tetapi dengan mengorbankan dimensi ke-3 serta lambang-lambang kebudayaan dari pola-polanya (Tirta, 2005). Namun sebagai buah dari tradisi yang berada dalam lintasan ruang dan waktu, kain-kain tersebut senantiasa berhadapan dengan perubahan situasi dan kondisi, juga dinamika aspirasi masyarakat baik yang bersifat internal maupun eksternal. Kehadiran pengaruh Barat melalui imperialisme/kolonialisme di masa lalu, perkembangan sains dan teknologi, ketegangan tradisi dengan modernitas, berbagai bentuk restriksi dan proteksi serta permasalahan hubungan lokal dengan global dalam kurun waktu 30 tahun terakhir telah meninggalkan jejak-jejak yang nyata pada sisi-sisi kehidupan masyarakat, termasuk dalam sektor produksi dalam hal ini pembuatan kain-kain adat Indonesia (seperti batik). Daya tarik visual serta nilai-nilai historis kultural yang dikandungnya menyebabkan peningkatan minat masyarakat internasional terhadapnya, terlebih ketika kemajuan di bidang teknologi perhubungan dan komunikasi semakin membuka akses ke daerah-daerah produksinya langsung (Anas, 2010).

Batik Ciamis Selayang Pandang

Di dalam artikel Oase.kompas.com (2010), bahwa Batik Sunda sub kebudayaan Priangan pernah berjaya sejak tahun 1960-1980an, lalu mengalami kemunduran. Bahkan pada tahun 1997 kegiatan membatik di Priangan Timur, khususnya Batik Ciamis, berhenti total karena kebangkrutan perajinnya. Batik Sunda sub kebudayaan Priangan dinilai khas, karena ragam hiasnya yang kaya. Berbagai peristiwa sejarah, keadaan alam, dan tatanilai sosial-budaya menjadi sumber inspirasi bagi para pembatiknya. Batik Sunda sub kebudayaan Priangan adalah istilah yang digunakan untuk memberikan identitas pada berbagai pembatikan yang dihasilkan dan berlangsung di Priangan, daerah di Jawa Barat (Tatar Sunda) yang penduduknya berbahasa dan berbudaya Sunda antara lain wilayah kota dan kabupaten Ciamis. Batik ini dalam proses perkembangan dan penyebarannya terjadi proses saling mempengaruhi di antara batik berbagai daerah. Hasilnya dapat terlihat dalam karakter penggambaran ragam hias/corak yang mengandung makna simbolik, yang merupakan stilasi dari berbagai bentuk yang berasal dari alam, flora, fauna, maupun aneka peristiwa.

Pada masa kejayaannya, Ciamis memiliki dan menghasilkan kain batik dengan kualitas baik. Masa keemasan Batik Ciamis berlangsung pada era tahun 1960an hingga awal 1980an. Bahkan, di tahun 1939 sudah ada Koperasi Rukun Batik, yang menghimpun 421 perajin dari 1.200 pembatik. Kesederhanaan corak Batik Ciamis tidak lepas dari sejarah keberadaannya yang banyak dipengaruhi daerah lain, seperti ragam hias pesisiran dari Indramayu dan Cirebon. Selain itu, pengaruh batik nonpesisiran, seperti dari Solo dan Jogjakarta juga turut andil dalam membentuk karakter warna dan komposisi ragam hias Batik Ciamis yang sering juga disebut Batik Sarian.

Batik Ciamis, dalam khazanah ragam hias/coraknya terdapat pengaruh Batik Banyumas, misalnya: corak pilin dalam rereng barong, rereng eneng dan rereng suliga. Tetapi di samping itu terdapat juga corak yang diambil dari flora dan fauna yang hidup di alam sekitarnya (Rosidi, dkk., 2000). Batik Ciamis secara umum mengadaptasi pola geometris khas lereng/liris/parang dengan arah warna coklat dan hitam. Batik Sarian yang dulunya memiliki arah warna coklat-hitam kini mulai semarak dengan penambahan arah warna yang lebih terang seperti: merah, oranye, dan kuning, serta sedikit hijau dan biru. Batik ini pun dipengaruhi gaya Batik Tasikmalaya dan Batik Garutan. Sebagian besar perajin Batik Ciamis berasal dari Tasikmalaya. Batik Ciamis termasuk kategori batik yang kurang halus dilihat dari segi kualitas babaran karena dikerjakan dengan sederhana, menggunakan dua warna, dan sedikit sekali menggunakan isen-isen sebagai elemen rupa yang memperlihatkan rincian objek ragam hias.

Batik Ciamis menurut Didit (2008) dalam sebuah artikelnya, berbeda dengan batik di daerah lain. Ragam hiasnya tidak terlalu ramai. Ada yang bercorak daun, ada pula yang bercorak parang rusak. Ciri yang paling dominan adalah pada penggunaan warna yang hanya menggunakan dua warna, misalnya: warna coklat soga dan hitam dengan dasar putih. Batik ini juga memiliki dua corak rereng, yakni: rereng eneng dan rereng seno. Seperti halnya perajin batik, dalam menuangkan objek gambar selalu mengambil inspirasi objek dari lingkungan alam yang ada di sekitarnya. Tanaman daun rente dan daun kelapa, adalah dua jenis tanaman yang dijadikan gambar ciri khas Ciamisan. Tanaman rente yang biasa tumbuh di kolam-kolam penduduk Ciamis dan dijadikan pakan ikan, diangkat pada kain mori dan dituangkan jadi gambar untuk desain batiknya. Demikian pula keakraban perajin batik dengan pohon kelapa yang banyak tumbuh di daerah itu, menjadi ilham untuk ragam hias Batik Ciamis.

Cita rasa Batik Ciamis lebih sederhana daripada Batik Garutan dan Batik Tasikmalaya. Warna hitam dan putih begitu menonjol dengan paduan hitam dan coklat (soga). Pilihan ragam hias/corak daun dan parang rusak menjadi pilihan utama. Ada yang menyebutnya Batik Ciamis ini sebagai Batik Sarian dengan corak tidak terlalu ramai, simpel, namun elegan. Batik Ciamis  yang tampil sederhana tapi penuh wibawa tersebut, sejalan dengan tradisi batik tulis di Ciamis yang mengadopsi tradisi Batik Jogjakarta. Latar belakang sejarah kebesaran Kerajaan Galuh dan Keraton Jogjakarta menjadi pemadu tradisi kedua daerah ini.

Ciamis dalam artikel yang ditulis Dani (2009), pernah menikmati masa-masa jaya tradisi batik tulis. Ketika ratusan perajin Batik di Tasikmalaya mendirikan Koperasi Mitra Batik pada awal tahun 1939. Para perajin batik di Ciamis juga tidak ketinggalan dengan mendirikan Koperasi Rukun Batik yang berbadan hukum. H. Abdul Majid, Sasmita,  Suganda, dan H. Tamim, tercatat sebagai pelopor pendirian Koperasi Rukun Batik ini. Bersama Koperasi Rukun Batik ini ratusan perajin batik di Ciamis menikmati masa jayanya di era tahun 1960an sampai awal 1980an. Dari sekitar 1200 perajin batik yang ada di Ciamis, waktu itu sekitar 421 perajin di antaranya menjadi anggota Koperasi Rukun Batik.

Berdasarkan data dari Dinas Pariwisata Propinsi Jawa Barat (2009) diungkapkan, bahwa pengaruh batik nonpesisiran, seperti dari Batik Solo dan Batik Jogjakarta, tidak kalah dominan. Pengaruh dari wilayah pesisir dan nonpesisir yang berpadu dengan nilai-nilai budaya Sunda dan kehidupan sosial sehari-hari masyarakat Ciamis melahirkan ragam hias/corak Batik Ciamis yang sesuai dengan gaya dan selera masyarakat setempat, yaitu bersahaja tetapi elegan. Corak Batik Ciamis tidak memiliki makna filosofi, perlambang, nilai sakral, atau menunjukkan status sosial tertentu. Penciptaan ragam hias/corak batiknya ditekankan pada ungkapan kesederhanaan untuk memenuhi kebutuhan sandang masyarakat. Kesederhanaan itu tertuang dalam bentuk-bentuk yang terinspirasi dari alam sekitar dan kejadian sehari-hari ragam hias batik di daerah Ciamis, antara lain: rereng lasem, parang sontak, rereng seno, rereng situng ageung, sidamukti, kopi pecah, lepaan, rereng parang rusak, rereng adumanis, kumeli, rereng parang alit, rereng useup, rereng jenggot, rereng peuteuy papangkah, dan seterusnya.

Beberapa ragam hias/corak Batik Ciamis di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Lepaan, adalah istilah yang digunakan untuk batik yang tidak diberi warna pada kain dasarnya atau dibiarkan tetap berwarna putih (lepaan : bidang latar putih); (2) Sidamukti, sida dalam bahasa Jawa artinya menjadi, mukti artinya mulia dan makmur atau cukup sandang pangan serta berhati mulia. Kain sidamukti dipakai pada upacara perkawinan oleh sepasang pengantin. Sidamukti Batik Ciamis merupakan salah satu kain batik yang mendapat pengaruh dari Batik Jawa yaitu dari kain batik sidomukti, yang kemudian diolah sesuai dengan selera masyarakat Ciamis; (3) Corak rereng situng ageung, ragam hias batik ini disusun dari pola garis diagonal yang memiliki cabang-cabang yang semakin lama semakin mengecil ke arah vertikal. Warna latarnya adalah putih dengan ragam hias utamanya berwarna hitam dan merah kecokelatan. Komposisi teratur dan secara keseluruhan memberi kesan sederhana. Situng: dahan kelapa, atau diartikan sebagai gayung. Ageung: besar; serta (4) Sawat lepaan Ciamis, bentuk sayap burung Garuda dalam komposisi motif batik sawat Ciamis seperti sering dijumpai pada ragam hias/corak sawat dari daerah Solo-Jogjakarta.

Dalam laman Ciamismanis.com (2011) diuraikan, bahwa pembatikan dikenal di Ciamis sekitar abad ke-19 setelah selesainya peperangan Diponegoro, kala itu pengikut-pengikut Diponegoro banyak yang meninggalkan Jogjakarta menuju ke selatan. Sebagian ada yang menetap di daerah Banyumas dan sebagian ada yang meneruskan perjalanan ke selatan dan menetap di Ciamis dan Tasikmalaya sekarang. Mereka ini merantau dengan keluarganya dan di tempat baru menetap menjadi penduduk dan melanjutkan tatacara hidup dan pekerjaannya. Sebagian dari mereka ada yang ahli dalam pembatikan sebagai pekerjaan kerajinan rumah tangga bagi kaum perempuan. Lama-kelamaan pekerjaan ini bisa berkembang pada penduduk sekitarnya akibat adanya pergaulan sehari-hari atau hubungan keluarga. Bahan-bahan yang dipakai untuk kainnya adalah hasil tenunan sendiri dan bahan catnya dibuat dari pohon seperti: mengkudu, pohon tom, dan seterusnya. Ragam hias/corak batik hasil Ciamis adalah campuran dari batik Jawa Tengah dan pengaruh daerah sendiri terutama corak dan warna Garutan. Sampai awal abad ke-20 pembatikan di Ciamis berkembang sedikit demi sedikit, dari kebutuhan sendiri menjadi produksi pasaran.

Ragam hias dan warna Batik Ciamis mendapat pengaruh kuat dari Batik Keraton, yakni ragam hias lereng dan kawung dengan pewarnaan krem, coklat, dan hitam. Belakangan pengaruh Batik Pesisiran juga mewarnai Batik Ciamis, seperti tampak pada corak flora dan tatawarnanya yang menggunakan zat pewarna sintetis seperti naphtol dan indigosol. Pengaruh Batik Keraton ke daerah ini disebabkan kedekatannya dengan kota-kota Purwokerto dan Banyumas yang juga membuat batik yang diilhami Batik Keraton. Selain itu masyarakatnya yang agraris dan statis, menganggap bahwa batik yang asli adalah batik yang diwedel dengan biru dan disoga dengan warna coklat. Untuk beberapa generasi hal ini masih tetap berlaku. Selain dipengaruhi dalam corak dan warna, Batik Ciamis juga banyak mengadaptasi penamaan corak kata lereng’ menjadi ‘rereng’, seperti: rereng cerutu, rereng orlet, rereng jenggot, dan seterusnya. Begitu juga kawung, seperti: kawung kumeli, kawung picis, dan seterusnya. Dua ragam hias ini banyak dibuat. Tetapi proses pembabarannya berbeda dengan Batik Keraton. Mereka tidak mengenal proses-proses yang unik. Isen-isen misalnya jarang dijumpai pada lembar-lembar batik dari daerah ini (Anas, dkk., 1997).

Desain Batik Ciamis secara umum dapat dibagi dua, yaitu desain batik pada masa kejayaan Batik Ciamis serta desain batik yang muncul beberapa tahun belakangan setelah Batik Ciamis muncul kembali. Desain batik pada masa kejayaan memiliki tiga desain utama, antara lain: batuhiu, galuh pakuan, dan ciungwanara. Sedangkan desain baru yang muncul beberapa tahun belakangan adalah: taman rafflesia, parang sontak, kumeli, rereng adumanis, rereng suliga, dan sapujagat. Setiap ragam hias Batik Ciamis mempunyai konsep masing-masing dalam pembuatannya. Konsep tersebut biasanya didasarkan atas kesejarahan, tempat wisata, kejadian masa lampau, atau cerita yang terjadi di seputar masyarakat. Konsep-konsep tersebut kemudian dituangkan dalam berbagai ragam hias/corak Batik Ciamis. Corak yang sederhana seperti: rereng suliga, kumeli, dan parang sontak adalah ragam hias yang sudah ada sejak dulu Batik Ciamis ini ada. Para perajin hanya meneruskan ragam hias/corak ini dari apa yang diturunkan oleh perajin-perajin sebelumnya.

Seperti halnya yang diungkapkan Dani (2009), bahwa Tasikmalaya dan Garut memiliki tradisi turun-temurun dalam sejarah kriya batik. Ada yang menyebutnya sudah ada sejak era Kerajaan Galuh berjaya. Tetapi hal ini sudah berlangsung sejak beberapa abad silam. Meskipun secara geografis, antara Ciamis, Tasikmalaya, dan Garut merupakan daerah yang berdekatan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keindahan Tatar Priangan, dalam tradisi kriya batik, ketiga distrik tersebut memiliki karakter dan corak batik yang berbeda. Batik tulis Ciamis berkesan menak dengan dua corak utama yakni: rereng eneng untuk bahan dasar baju dan rereng seno yang biasa digunakan untuk samping atau kain.

Pada era booming batik tahun 1980an,  para perajin Batik Ciamis yang bergabung dalam Koperasi Rukun Batik tersebut berhasil membeli sejumlah aset bahkan sampai mendirikan pabrik kain bahan baku batik (cambrice) yang berdiri di Jalan Sudirman No. 249 Ciamis. Pabrik ini sekaligus sebagai tempat berkumpul para perajin Koperasi Rukun Batik sampai sekarang. Aset lainnya masih banyak berupa sekolah di Cikoneng atau klinik berobat di Imbanagara dan banyak lagi aset lainnya. Namun sejak berkembangnya batik buatan pabrik (‘batik’ printing) dan dominasi warga keturunan dalam tataniaga batik pada tahun 1980an, pertumbuhan Batik Ciamis mulai menunjukkan tanda-tanda surut. Terlebih setelah terjadi letusan Gunung Galunggung pada tahun 1982 yang menyebabkan matahari nyaris tidak terlihat selama setahun disebabkan debu vulkanik yang tidak hentinya menyembur. Para perajin tidak bisa menjemur batik hasil pekerjaan mereka karena tidak ada cahaya matahari. Pada tahun 1997, banyak perajin Batik Ciamis resmi gulung tikar akibat krisis moneter. Koperasi Rukun Batik terkena imbasnya, pabrik cambrice yang berlokasi di Jalan Sudirman Ciamis tersebut sudah lama tidak beroperasi. Kemudian, Koperasi Rukun Batik berupaya melakukan diversifikasi usaha, sejumlah usaha yang nyaris tidak berurusan dengan batik pun ditempuh. Seperti berternak sapi potong, menyewakan gudang pabrik jadi gudang cengkeh, dan pada tahun 2005, halaman pabrik cambrice Koperasi Rukun Batik ini dijadikan rumah petak untuk dikontrakkan. Sementara  itu poliklinik berobat di Imbanagara kini sudah menjadi komplek pertokoan.

Tahun 1939, menurut data dari Dinas Pariwisata Budaya Propinsi Jawa Barat (2009), telah berdiri Koperasi Rukun Batik yang menghimpun para perajin batik se-Ciamis. Koperasi yang juga menjadi sentra produksi dan penjualan Batik Ciamis ini memiliki hak hukum sejak 10 Maret 1975. Selama krisis ekonomi yang terjadi, Koperasi Rukun Batik ini membuka usaha lain seperti perkebunan pepaya dan penyedia kos yang letaknya bersebelahan dengan koperasi atau berada dalam komplek Rukun Batik. Pada tahun 2008, dengan inisiatif dari masyarakat yang cinta terhadap kelestarian Batik Ciamis, dibangkitkan kembali minat dan semangat masyarakat melalui pelatihan membatik yang diadakan oleh Koperasi ini. Selain kecintaan, inisiatif muncul sebab adanya kekhawatiran beberapa pihak akan kepunahan Batik Ciamis. Pelatihan ini pun, sebagai sarana untuk melahirkan bibit-bibit baru perajin Batik Ciamis. Saat ini, produksi Batik Ciamis hanya dipasarkan di daerah Ciamis terutama di Koperasi Rukun Batik sehingga para pembeli yang berminat mendapatkannya, tidak dapat langsung membelinya dari toko-toko biasa atau pasar batik. Namun, kini Batik Ciamis mulai merambah ke kota lain seperti: Bandung, Tasikmalaya, dan Jakarta akibat logis akan promosi secara personal dari orang-orang Ciamis yang bekerja atau berpergian ke kota-kota tersebut.

Menurut pengurus Koperasi Rukun Batik Kabupaten Ciamis, semenjak beroperasinya kembali Batik Ciamis pada tahun 2009, sebanyak 82 perajin telah berhasil dihimpun. Kini, mereka yang tergabung di Koperasi Rukun Batik telah mampu menghasilkan produksi mencapai 250 potong batik tulis per bulannya. Perajin batik pada koperasi ini menghasilkan sebanyak dua samping/sarung setiap harinya dan akan siap diproduksikan setelah satu minggu dikerjakan. Biasanya dalam seminggu itu dihasilkan kain sebanyak 50 lembar. Dari pertama kali dibentuk koperasi ini sampai sekarang, para perajin batik di Ciamis ini telah menghasilkan 101 jenis ragam hias/corak batik.

Pergerakan Koperasi Rukun Batik ditandai oleh beberapa periode, yaitu: (1) Periode Soekarno, batik yang dihasilkan menggunakan bahan impor tunggal (sistem pemasaran bahan dasar yang dilakukan secara mandiri oleh Gabungan Koperasi Batik Indonesia). Dengan sistem ini, pemasaran dan produksi batik nasional dapat diatur dengan baik sehingga perkembangan batik di Indonesia dapat terus tumbuh; (2) Periode Kejayaan Koperasi Rukun Batik (1960an  1980an), mampu memproduksi mori secara mandiri dan membagikannya kepada anggota koperasi untuk dijadikan Batik Ciamis. Batik yang sudah jadi akan dikumpulkan kepada Koperasi Rukun Batik untuk kemudian dijual kepada konsumen; (3) Periode Orde Baru, banyak investor besar yang menanamkan modalnya dengan melakukan pembangunan pabrik kapas, benang, dan pabrik mori. Karena perusahaan besar dapat melakukan penekanan terhadap harga produksi sehingga barang yang dihasilkan memiliki kualitas yang lebih baik tetapi dengan harga yang lebih murah sehingga banyak pabrik dan usaha lokal yang kalah bersaing. Koperasi Rukun Batik menjadi salah satu korbannya kala itu. Sebagai imbasnya, koperasi ini tidak lagi memproduksi kain tetapi membeli kain putih untuk dijadikan batik. Hal ini menurunkan pemasukan koperasi. Bahkan, setelah tahun 1985, Koperasi Rukun Batik sempat mengalami masa kelumpuhan. Oleh karena itu, koperasi ini segera melakukan langkah penyesuaian dengan mengubah AD/ART mereka tentang sektor usaha dari single-purpose menjadi multi-purpose.

Setelah kebijakan ini diambil, kemudian Koperasi Rukun Batik Ciamis dapat tumbuh kembali lewat berbagai jenis usaha seperti: agrobisnis, pertokoan, jasa penyewaan mobil, warung internet, fotokopi, kos-kosan, dan seterusnya; serta (4) Periode 2008 sekarang, merupakan periode kebangkitan Batik Indonesia umumnya dan Batik Ciamis khususnya. Hal ini ditandai dengan adanya pengakuan UNESCO terhadap batik sebagai budaya Indonesia. Selain itu, Pemerintah Daerah Ciamis juga membantu dengan mengeluarkan surat edaran rekomendasi kepada Pegawai Negeri Sipil untuk memakai Batik Ciamis pada hari Kamis dan Jumat. Namun, tidak seperti halnya pada tahun 1960an, perajin Batik Ciamis saat ini hanya tinggal sedikit, sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan pemasaran secara besar-besaran.

Saat ini, Batik Ciamis masih dikontrol dan diproduksi oleh Rukun Batik Ciamis (RBC), serta didistribusikan oleh satu-satunya distributor saat ini yang ditunjuk oleh Rukun Batik Ciamis, yaitu toko Batik Alya yang terletak di Jalan Ir. Iwa Kusuma Sumantri No. 6. Toko ini merupakan satu-satunya distributor Batik Ciamis ini yang mendistribusikan langsung batik produksi Rukun Batik Ciamis kepada konsumen dari tokonya maupun dikirimkan kepada konsumen yang memesan dari luar kota. Konsumen yang memesan tidak hanya dari Jawa Barat, namun juga dari beberapa kota besar seperti: Jakarta, Surabaya, dan Makassar. Menurut Nina H. Lubis (2009), Batik Ciamis memperlihatkan keadaan dari Ciamis sendiri yang sederhana, tenang dan tidak bergejolak. Citarasa Batik Ciamis lebih sederhana dari Batik Garutan dan Batik Tasikmalaya. Warna hitam dan putih begitu menonjol dengan paduan hitam dan coklat (soga). Corak daun dan parang rusak menjadi pilihan utama. Ada yang menyebutnya. Di Rukun Batik ini kini terdapat tiga ragam hias/corak utama yang menjadi andalan Batik Ciamis, yang menjadi ciri khas di antaranya: (a) Ciungwanara: merupakan filosofi dari sabung ayam; (b) Galuh Pakuan: merupakan bentuk keris Raja Galuh; dan (c) Batu Hiu: merupakan filosofi dari batu hiu yang ada di Pantai Pangandaran.

Berdasarkan data dari laman Tribunnews.com (2009), bahwa memasuki tahun 2000 perajin Batik Ciamis yang masih ada hanya tinggal beberapa orang, di antaranya: Otong Kartiman (69 tahun) yang memiliki usaha batik CV. Bintang Pusaka di rumahnya di Dusun Ciwahangan Imbanagara. Otong Kartiman mewarisi tradisi membatik dari orang tuanya,  Abdul Majid yang merupakan salah seorang pelopor Batik Ciamis pada tahun 1956. Saat itu Otong Kartiman masih sekolah SMA di Jogjakarta, tapi oleh orang tuanya yakni Abdul Majid dan Unah Siti Chodijah, disuruh pulang untuk melanjutkan usaha batik keluarga tersebut. Sampai kini, dari banyak perajin Batik Ciamis maka Otong Kartiman salah satunya yang masih bertahan. Ketika menjabat sebagai Bupati Ciamis (1999-2004) Oma Sasmita, pernah mewajibkan para pejabat eselon di lingkup Pemerintah Kabupaten Ciamis agar di setiap hari Jumat mengenakan Batik Ciamis tersebut yang berlaku sampai ke kecamatan dan desa; pada saat itu Otong Kartiman pun kebanjiran pesanan produksi Batik Ciamis. Kini Otong Kartiman kembali menjalani usahanya dengan fokus pada batik cap dan printing untuk memenuhi permintaan pasar batik di Tanah Abang, Surabaya, dan Makassar, juga dengan memproduksi ‘batik’ printing sesuai dengan keinginan pasar termasuk memenuhi permintaan batik untuk seragam sekolah. Sementara produksi batik tulis khas Ciamis jarang dilakukan karena jarang ada pemesanan. Tetapi bila ada pemesanan, Otong dengan para perajin batik siap melayani pesanan meski memerlukan waktu yang lama dan harganya lebih mahal.

Di dalam artikel pada laman risnawatiririn.wordpress.com (2011) ditulis, bahwa batik tradisional khas Kabupaten Ciamis, kembali menggeliat dan mulai diperkenalkan kembali setelah tidak berproduksi selama 28 tahun karena kalah bersaing dengan batik’ printing, dengan empat ragam hias/corak ciri khas Ciamis, seperti: batu hiu, ciung wanara, galuh pakuan, dan parang sontak. Pembatik Ciamis kembali bersemangat mengangkat Batik Ciamis setelah ada pengakuan dari UNESCO, bahwa batik merupakan budaya nonbenda dari Indonesia. Perajin mulai mendirikan kembali tempat pembuatan batik yang sudah puluhan tahun ditutup. Sanggar Rukun Batik misalnya, seperti perajin batik tradisional, sanggar ini mulai memproduksi Batik Ciamis dengan mempekerjakan sedikitnya 20 orang. Selain memproduksi batik, sanggar ini membuka tempat belajar membuat Batik Ciamis, khusus bagi warga dan generasi muda Ciamis. Tujuannya, agar Batik Ciamis lebih dikenal, baik oleh warga Ciamis maupun luar kota.

Menurut laman bintangpusaka.com (2009), bahwa Ciamis adalah kabupaten di wilayah Priangan yang terletak di bagian timur. Warna-warna yang terdapat pada Batik Ciamis adalah putih, hitam, dan cokelat kekuningan, juga menggunakan warna seperti hijau dan merah sebagai aksen. Batik Ciamis tidak memiliki makna filosofi, perlambangan, disakralkan, ataupun menunjukkan suatu status sosial tertentu. Unsur rancangan ditekankan pada tradisi yang dilakukan secara turun-temurun dan untuk memenuhi kebutuhan sebagai bahan sandang dan sinjang/sarung bagi masyarakat umum. Ragam hias Batik Ciamis bersifat naturalistik dan menggambarkan flora dan fauna dari alam sekitarnya. Bentuk ragam hias/corak Batik Ciamis merupakan cerminan dari kehidupan sosial budaya sehari-hari yang tidak terlepas dari falsafah hidup dan adat-istiadat masyarakat/urang Sunda. Penggambaran ragam hias Batik Ciamis merupakan pengungkapan dari kesederhanaan kebersamaan yang digambarkan secara wajar dan dalam perwujudan bentuknya mengambil dari bentuk alam sekitar dan kejadian sehari-hari. Begitu pula dengan tema yang selalu disesuaikan dengan bentuk ragam hias dan objek yang digambarnya. Hal tersebut menyebabkan Batik Ciamis jarang ditemukan unsur ragam hias yang dikaitkan dengan kepercayaan tertentu dan perlambangan. Ragam hias Batik Ciamis memiliki banyak kesamaan dengan daerah tetangganya yaitu Tasikmalaya dan Garut, tetapi Ciamis tetap dapat mempertahankan ciri khas daerahnya, yakni dengan memiliki bentuk ragam hias/corak yang sederhana serta tidak banyak menggunakan isen-isen ataupun latar yang rumit. Adapun beberapa ragam hias Batik Ciamis yang kini dapat ditemui di pasaran, antara lain berragam hias : (1) Cupat manggu; (2) Beulah kopi; (3) Kawung kumeli; (4) Kurung hayam; (5) Rereng useup; (6) Lepaan mahkota; (7) Rereng adumanis; (8) Limar beungkeut; (9) Rereng batu hiu; (10) Sidomukti taman rafflesia; (11) Sapujagat; dan sebagainya.

Peluang Inovasi dalam Batik

Perkembangan desain dalam ranah industri kreatif, tidak terlepas dari perkembangan kebudayaan dalam tataran budaya visual; ditambah dengan makin marak saling klaim kepemilikan desain; maka inovasi desain dalam diversifikasi produk dengan terapan ragam hias lokal Ciamis sebagai langkah Cultural Herritage, adalah menjadi dasar dalam menggali, sekaligus menerapkan kearifan lokal. Hal ini perlu agar diperoleh gambaran kongkrit mengenai upaya pengembangan artefak berbasis kearifan lokal, khususnya yang memacu sektor industri kreatif.

Industri kreatif, kini merupakan salah satu andalan penopang perekonomian nasional; terutama industri kecil yang banyak memberdayakan tenaga kerja, pemanfaatan sumber daya alam lokal, dan kekayaan budaya nasional. Oleh karena itu, perlu strategi adopsi sebagai konsep desain dengan pendekatan interaktif dan partisipatif, melalui diversifikasi desain yang inovatif. Metode ini diadopsi sebagai rujukan implementasi dari pengembangan desain yang menjawab permasalahan diversifikasi produk dengan pertimbangan fungsi dan keunikan performansi.

Ragam hias lokal Ciamis dalam ranah produk industri kreatif, berpotensi dikembangkan sebagai terapan desain pada produk konsumer, karena banyak kendala yang masih dihadapi perajin, yaitu: (a) mutu produksi, menyangkut kurangnya daya tarik visual/desain dan kualitasnya; (b) kurang mempunyai kemampuan membaca situasi pasar; (c) banyaknya pesaing dengan industri kecil sejenis. Apabila metode di atas tersebut diterapkan secara komprehensif, maka dampak hasilannya: (a) potensi ekonomi produk: mampu mengisi segmentasi pangsa pasar baru di berbagai pasar dengan harga terjangkau, terutama segmentasi masyarakat menengah ke atas nasional-regional; (b) nilai tambah produk dari sisi ilmu pengetahuan dan teknologi: menghasilkan metode yang tepat untuk pengembangan industri kecil baik dari segi desain, maupun pengembangan; (c) dampak sosiologis: meningkatkan kemampuan potensi lokal dalam upaya menerapkan teori dan mencapai optimasi desain dalam spektrum yang lebih luas, sekaligus menumbuhkan dan memelihara potensi sosial ekonomi daerah Ciamis.

Peluang inovasi dalam Batik Ciamis, terangkum dalam tema sebagai berikut:

BATIK dalam konteks pelestarian budaya: pendekatan pengembangan atas azas konservasi budaya dan identitas lokal. Pengembangan batik selayaknya bernafaskan identitas lokal dan berbasis pada kekayaan SDA dan budaya. Konsep ini bermuara dari keprihatinan agar batik tetap hadir diperhitungkan dan bernilai di masyarakat.

BATIK dalam konteks keberlanjutan: pendekatan dengan penekanan perhatian pada ekses yang dihasilkan dari eksploitasi terhadap bahan baku. Berhubung bahan baku produk batik sebagian besar adalah bahan sintetik dan alam, maka segala aspek kegiatan yang meliputi proses pengadaan, pengolahan, produksi, performansi batik,  hingga perlakuan saat produk itu telah menjadi sampah (didaur ulang), harus dijadikan optimasi landasan berkarya.

BATIK dalam konteks pemberdayaan: kegiatan di lingkungan/daerah yang berhasil memobilisasi masyarakat ke arah perbaikan kualitas hidup, peningkatan ekonomi, pengetahuan dan ketrampilannya.

BATIK dalam konteks kreativitas: didasari atas kegiatan eksperimentasi dan eksplorasi terhadap keunggulan dan keunikan material/desain untuk dikembangkan menjadi produk yang memiliki originalitas dan nilai fungsi yang baru.

Referensi

Anas, B., Hasanudin, Panggabean, R., dan Sunarya, YY. (1997): Indonesia Indah Buku ke-8, Batik, Jakarta : Yayasan Harapan Kita  BP3 Taman Mini Indonesia Indah, Perum Percetakan Negara RI.

Anas, B. (2010): Serat dan Kain Dalam Ranah Kriya Tradisi Kebanggaan Bangsa, Pidato Ilmiah Guru Besar ITB di Balai Pertemuan Ilmiah ITB 20 Februari 2010, Bandung : Majelis Guru Besar ITB.

Ciamis, M. (2011): Sejarah Batik Ciamis, http://www.ciamismanis.com/2011/07/ sejarah-batik-ciamis.html, diunduh Juli 2011.

Dani, A.M. (2009): Menyusur Sisa Kejayaan Batik Ciamisan, Tribun Jabar, http://jabar.tribunnews.com/menyusur-sisa-kejayaan-batik-ciamisan/ Hanya Satu yang Tersisa dan Menjadi Sarang Kapinis, diunduh Minggu 11 Jan 2009.

Didit, DS. (2008): Batik Ciamis, http://diditds.wordpress.com/2008/11/03/batik-ciamis, diunduh 12 Okt 2009.

Disparbud (2009): Pesona Batik Ciamis yang Sempat Pudar, http://disparbud. jabarprov.go.id/wisata/Pesona Batik Ciamis yang Sempat Pudar, diunduh 2009.

DSY (2010): Batik Ciamis Kembali dan Siap Bersaing, http://metrotvnews.com/ index.php/metromain/news/2010/03/25/13611/Batik-Ciamis-Kembali-dan-Siap-Bersaing, diunduh Kamis 25 Maret 2010.

Hadi, A., Wikaya, A., dan Faturohman, T. (2005): Peperenian, Kandaga, Unak-Anik, Tutungkusan, jeung Rusiah Basa Sunda, Bandung: Geger Sunten.

Hasanudin (2001): Batik Pesisiran: Melacak Pengaruh Etos Dagang Santri pada Ragam Hias Batik, Cetakan I, Bandung: PT Kiblat Buku Utama.

Hidayat, R. T., Haerudin, D., Muhtadin, T.A.N., Darpan, dan Sastramidjaja, A. (2005): Peperenian Urang Sunda, Bandung: PT Kiblat Buku Utama.

Pasundan (2009): Ciung Wanara, http://www.pasundan.info/legend/ciung-wanara.html, diunduh 2009.

PRLM (2009): Gali Potensi Batik Ciamis, http://www.pikiran-rakyat. com/Disindag Gali Potensi Batik Ciamis, diunduh 18 November 2009.

Pusaka, B., (2009): Batik Ciamis, http://bintangpusaka.com/batik-ciamis.html, diunduh 2009.

Risnawati, R. (2011): Batik Ciamis I Love Batik, http://risnawatiririn. wordpress.com/2011/02/15/batik-ciamis-i-love-btk, diunduh 15 Februari 2011.

Rosidi, A., Ekadjati, E. S., Djiwapradja, D., Suherman, E., Ayatrohaedi, Abdurrachman, Nano, S.,   Soepandi, A., dan Sasteradipoera, K. (2000): Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia, dan Budaya, Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi, Jakarta: Pustaka Jaya.

Rusliana, I. (2002): Wayang Wong Priangan, Kajian Mengenai Pertunjukan Dramatari Tradisional di Jawa Barat, Bandung: PT Kiblat Buku Utama.

Sachari, A. (2004): Peran Nilai Estetis Modern dalam Perkembangan Desain Abad ke-20 di Indonesia, Bandung: Sekolah Pascasarjana ITB.

Satjadibrata, R. (2005): Kamus Basa Sunda, Bandung: PT. Kiblat Buku Utama.

Soemantri, H. dkk. (2002): Indonesian Heritage: Seni Rupa, Jakarta: Buku Antar Bangsa, Grolier Intl.

Sudrajat, U. (2005): Otong Kartiman, Penyelamat Batik Ciamisan, http://www.mail-archive.com/urangsunda@yahoogroups.com/Batik Ciamisan kamana ayeuna? Otong Kartiman, Penyelamat Batik Ciamisan, Rabu (7/7), PR, diunduh 17 Februari 2009.

Sunarya, YY. (2013): Batik Digital: Inovasi Kreatif Ornamen, Penerbit ITB.

Suryani NS., E., dan Marzuki, A. (2005): Kamus Bahasa Sunda Buhun, Sumedang: Alqaprint Jatinangor.

Suryani NS., E. (2007): Keanekaragaman Budaya Sunda Buhun, Sumedang: Alqaprint dan Dinas Pendidikan Kabupaten Tasikmalaya.

Suryani NS., E. (2011) dalam “Dialog Interaktif Urang Sunda dan Batik Sunda”, Bandung 20 Mei 2011, Gedung Bank Indonesia Jalan Braga 108.

Suryalaga, Hidayat (2010) dalam “Festival Batik dan Bordir Jawa Barat 2010”, Bandung 14 Agustus 2010, Gedung Graha Manggala Siliwangi, Pemerintah Provinsi Jawa Barat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.

Tirta, I. (2005): Quo Vadis Batik Indonesia, Makalah dalam Seminar Sehari Temu Usaha Terpadu IKM Batik Nusantara 22 November 2005, Cirebon: Direktorat Industri Sandang Dirjen IKM Deperin RI.

Toffandi, A. (1968): Kamus Bahasa Sunda-Indonesia, Bandung: Carya Remadja.

Wargahadibrata, H. (2011) dalam ”Dialog Interaktif Urang Sunda dan Batik Sunda”, Bandung 20 Mei 2011, Gedung Bank Indonesia Jalan Braga 108.

Widagdo (1997): Sekilas Tentang Tekstil Indonesia, Makalah dalam Seminar Desain Tekstil Indonesia 2000 : Tantangan dan Peluang Pendidikan, Profesi, Apresiasi, 15 November 1997, Bandung: Program Studi Desain Tekstil FSRD ITB.

Widagdo (1999): Pengembangan Desain Bagi Peningkatan Kriya, Makalah dalam Konferensi Tahun Kriya dan Rekayasa 26 November 1999, Bandung: ITB.

dewabuku

all author posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are makes.