Bintang, bulan, matahari, isyarat-isyarat dalam mimpi; kenyataan terdalam. Kisah sujudnya kepada nabi Yusuf adalah ilham. Apakah yang ada di balik badan, menghidupkan benda-benda mati yang sederhana? Kita berjumpa dengan mirruhi—pancaranNya. Sujud melingkar, yang sederhana menjadi kompleks. Menyadari manusia hanyalah perpanjanganNya; kesepianNya memantul ke dalam bahasa.
Tangkapan pertama adalah imajinasi, membawa metapor. Kisah Adam diajari nama-nama (QS 2 ayat 31) adalah wajahnya. Dalam bukunya ‘Ayn, Kemala membentukkannya ke dalam puisi Nama, asmaulhusna.
“Waktu Adam dijadikan Allah, ia diajar rahasia Nama.”
Kiasan-kiasan diimajinasikan oleh Abdul Hadi, tentangNya, dekat, oleh Husni Hamisi dibalikkan: jauh. ‘Aku panas dalam apimu’ menjadi ‘Bilamana berhimpun setumpuk’, adalah awal kasih tak sampai. Dari arah lain, kasih menjadi benci, sebelum kembali lagi lewat Rasul yang demikian sayang kepada umatnya (QS Taubah ayat 128).
***
Sepasang pengertian Teori sujud LI SAJIDIN, “berjalanlah dengan sederhana, lembutkanlah suaramu,” (Surat Luqman ayat 19), adalah perangkat-perangkat pikiran yang bekerja di dalam puisi. Kritik sastra tak bisa menghindarinya. “Berjalanlah dengan sederhana” artinya tidak melebih-lebihkan. Melebih-lebihkan adalah melampauiNya. Kita ingkar kepadaNya.
Kalau Abdul Hadi muncul dengan Tuhan, Kita Begitu Dekat, maka Api, Kita, Tuhan, momen Husni Hamisi mendekati Abdul Hadi. Membawa dunia naik: Sujud. Bukan negasi Nietzsche: Tuhan sudah mati, atau ikutannya: Pengarang sudah meninggal. Abdul Hadi dan Husni Hamisi menghidupkannya, mengikuti kata-kataNya: “Lembutkanlah suaramu”, buah dari “Berjalanlah dengan sederhana.”
Kalau manusia diciptakan untuk sujud, sebagaimana jin, bahasa tidak diciptakan untuk ingkar. Karenanya dalam linguistik wahyu, fungsi-tanda Eco, misalnya, musti diletakkan ke misteri biner oposisi, baik-buruk ciptaanNya. Bahasa mengikuti penciptanya: sujud, walau ada celah untuk berbeda. Tapi metafor adalah wujud pertama bahasa: ingkar. Ia gerak kreatif, diberikan lewat esensi eksistensi: manusia merdeka sebagaimana bahasa.
Keingkaran kreatif itu adalah metafor yang baik. Memang ada metafor yang buruk, bahkan berbahaya. Keadaan membalik ke dirinya. Benarkah jiwa telah mati, atau Tuhan, telah mati? Kita ragukan ambiguiti ini, Tuhan tidak pernah mati. Manusia telah kehilangan kepercayaannya. Nietzsche mengirimkan ironi. Olok-olok mematikan jiwanya. Ironi sejati justru dikirim Abdul Hadi kepada Nietzsche melalui “Tuhan, Kita Begitu Dekat”, ironi yang mendekatkan kita ke nama buku Husni Hamisi.
Husni sedang menghipogrami Abdul Hadi? Api, Kita, Tuhan, membawa kita ke akarnya. Ironi diperluas: tak mengejek dalam pengertian mengolok, melainkan mengirimkan pesan begitu jauhnya Tuhan itu, bukan dekat. Dua puisi ini mengucapkannya dengan cara terbalik. Abdul Hadi “dekat”, Husni “jauh”. Melukiskan hubungan antar-manusia sebelum Tuhan mendadak muncul “dalam senyuman yang Dia pancarkan”. Selebihnya menghilang, melayang dari tangkapan. Ikatan-ikatannya terang, tetapi apa yang terjadi tak pernah jelas kecuali buahnya: cinta tak sampai.
Membayangkan Tuhan ada di sini, hidup dalam “api” dan “kita”, adalah merasakan Tuhan itu seakan dekat.
“Sebagai api dan panas. Aku panas dalam apimu.”
Padahal “sebagai” itu “bukan” api, hanya “panas dalam apimu”.
Makhluk mendekat, Tuhan menjauh. Kesanggupan menggerakkan benda-benda hanyalah seolah-olah, “sebagai” yang tak identik. Husni mengintip kesukaran yang dihadapi Abdul Hadi, bahasa. Dipinjamnya “api” Abdul Hadi untuk menjauh, bahasa. Tuhan hadir lewat benda-benda, sebagai kata-kata. “Bilamana berhimpun setumpuk”, kata Husni.
“Ranting kayu bersama gemerisik kobaran api unggun kembali memercik ke ingatan kita”.
***
Api bukanlah ikonik tapi indeksNya. Ini pun bukan, sebab, Dia luput dari bahasa, dari segenap ada. Ia bukan asap karena mesti ada api. Ia bukanlah api yang menyebabkan adanya asap. Bahasa tak bisa menjangkauNya. Tetapi dengan apa lagi kita musti mengucapkanNya? Api itu milikNya sebagaimana diri. Api Abdul Hadi, api Husni Hamisi. Ia simbol lambang. Tanda kalau menurut bahasaNya, ayat.
Api yang digenggam Lisda Almaini saat bekerja untuk negerinya, api Rahayu Apti mencobakan diri dalam puisi. Api Moel Soenarko memintal-mintal benangnya, membuat komposisi lukisan dan puisi. Api Genta Gunadi melukiskan negerinya melalui fotografi. Sebenarnya api Roza Raflesia juga, mengendarai kendaraannya, mencari nafkah untuk keluarganya. Api Khalid Alrasyid yang ingin menjauhi lautnya.
“La’aayaatil li’ulil-albaab,” (“terdapat tanda-tanda {kebesaran Allah} bagi orang yang berakal”). Ialah QS 3, Surah Ali Imran ayat 190.
Jadi kita merenungi “tanda-tanda” ini karena perintahNya. Menyimak “tanda” yang dipersembahkan kepada “akal”. Diam-diam melihat tanda itu juga akal. Akal itu juga tanda. Semesta ada adalah semesta tanda, semesta tanda adalah semesta akal. Benda-benda diciptakan oleh akal, benda-benda karenanya memiliki akal sehingga segenap ada ini terhubung bukan terputus—akal yang mengikatnya.
Ia hasil teori, dirinya adalah teori karena akal ada di sini. Ada adalah ada yang berakal. Akal adalah akal yang berada, mengada di sesama akal. Mereka itu adalah ada, ada yang berakal. Akal puisi, puisi Husni Hamisi, puisi Abdul Hadi. Puisi Rita Jassin. Puisi Afrilia Utami, Nana Sastrawan dan Wayan Jengki, Kemala Yeats dan Sutardji. Puisi Acep Zamzam Noor. Puisi Jasmine Paramitha. Ilmu ekonomi Prof Lizar Alfansi. Ilmu Eco adalah tanda adalah akal sebagaimana ilmu Jassin atau fisika Hawking. Akal yang sujud Li Sajidin kepadaNya.
Mirip hujan, api itu, menghapus jejak. Mirip hujan api itu, meninggalkan jejak. Ia dipakai sebagai dunia yang melambangkan. Husni meletakkannya antara Kita dan Tuhan. Menjadi ingatan. Lewat api terbuka sebuah dunia.
Api yang dekat bukan api yang jauh misalnya kisah nabi Musa as yang meminta keluarganya menunggu di sini karena ia melihat api.
“Berhentilah kamu. Aku melihat api. Barangkali aku dapat membawa kepadamu. Senyala api darinya. Atau mendapatkan petunjuk pada api itu.”
Alangkah beruntungnya negeri, dihuni para penyair, sanggup membawakan bahasa ibunya, meraih keindahan seperti keindahan Bacaan Mulia H.B. Jassin, kelak, penyair dengan puisi-puisinya, mendekap keindahan itu, menyerakkannya. Bagai jiwa Prof Maman S Mahayana, mengikhlaskan ilmunya bagi penyair, dan sastrawan.
Bukan dalam permainan kata-kata kosong dari makna. Justru makna/isi menggoda hati. Bahasa itu tahu, manusia menunggunya.
Ia mewujudkan “sedikit” jadi “senyala”. “Senyala api darinya”, dari tempatnya semula: “sedikit nyala api”.
Mengajari manusia berbahasa, bahwa keindahan yang dirindukan itu adalah saat si kata bergerak kepadanya, seperti gerakan “sedikit” “senyala” ini. Menunggu kita di sini, lembah Tuwa yang suci.
Api bukanlah sekadar sesuatu, material api tapi pesan: di balik api ada Dia. Adakah Dia di “hujan menggenang di kota kami”?—Arsitektur Hujan. Saat hujan dan malam menjadi puisi dalam pikiran Afrizal.
Ada Dia di api Husni Hamisi , yang diucapkan dengan cara berbeda dengan Abdul Hadi. Benda-benda berbisik, aku tak henti-hentinya menyelinap ke dalamnya. Aku-benda yang berjiwa, batin yang dibentukkan Sentot Darma Setiawan sebagai: “ketahuilah dirimu akan berteriak melalui batinmu”, seperti bisikan di bait-bait Husni yang bergerak menjauh dari dekatnya Abdul Hadi.
Tinggi, adab penyair ini kepada ada, ada-benda yang dirawatnya. Disusunnya dalam ikatan-ikatan yang indah, “setumpuk” itu “berhimpun”, “berhimpun” itu “setumpuk”. Ia seakan “seandainya” untuk ucapan “bilamana” yang lebih halus itu, “bilamana” ini, karena ia akan mengikat dua kata yang indah itu dalam bentuk:
“Bilamana berhimpun setumpuk”, menggoda kita untuk mendahuluinya:
“Bilamana berhimpun seikat manusia” kepadaNya, sujud Li Sajidin akan menjelma dalam puisi.
“Berjalanlah dengan sederhana” adalah kepatuhan kepadaNya. Ayat-ayat Surah Luqman ini memang panduan bagaimana berjalan di bumi.
Husni berjalan dalam puisi. Kata berjalan dalam bahasa. Huruf mendorong huruf membentuk suku kata, kata mendorong kata membentuk baris. Baris mendorong baris menjadi bait. Tanpa mereka sadari gerak mereka, sedang sujud Li Sajidin kepadaNya. Dorong-mendorong dengan halus, melembutkan geraknya. Keindahan adalah saat ada berjalan dengan sederhana kepadaNya.
Suaranya halus bagai petunjukNya saat berdoa, imam yang memimpin sholat. Lembutkanlah suaramu, agar pembaca mendengarmu. Memancing keharuan, jiwa terdalam. Husni mengikuti seruan ini. Kata terpilih di bawah naungan Teori sujud LI SAJIDIN—konsisten. Ia ubah bunyi sehimpun kayu saat dimakan api, “gemerisik” bagai suara daun atau aliran sungai. Kobaran api, ditatah bagai Allah menata nyala yang membakar tubuh Ibrahim as: mendinginkan. Seperti api Husni ini: memercik ke ingatannya – tak membawa luka di badan. Jiwa yang disentuhnya tak jadi ingkar, tapi patuh, dalam kediaman renungannya, di depan api. Ia ubah bunyi, ia ubah pula peristiwa.
Kita sangka ada aku di sana, kau, atau kita; nyatanya hanyalah puisi. Ingatan itu terjadi dalam sajak, bukan di dunia nyata dalam puisi. Tiga tingkatan yang kita rentangkan: aku-penyair menjadi aku-lirik, aku-lirik bergerak ke dalam, kata Husni, “bait-bait puisiku”. Di sanalah dialogis itu, di solitaire. Benda-benda dalam peristiwanya, dibentukkan.
“Ke ingatan kita di puncak ini tak ada yang tersisa kecuali kisah kalian yang pernah duduk di sini di tahun-tahun lampau, di bait-bait puisiku.”
Ikatan-ikatan halus yang kita coba untuk mengerti, melalui perubahan kata yang disebabkan jarak—“kalian” menjadi “kita”, bukan pada “setumpuk” manusia tapi oleh situasi. Sebab “kalian” itu “kita” yang kini memperlihatkan sesuatu yang ganjil dari jemari-jemarinya.
Atau malam itu yang ganjil karena tubuhnya menjadi bagian-bagian yang menjulur sebagai senar gitar yang di petik oleh si kita, “kita memetik angin malam”, katanya, gerakan yang sangat indah seraya, “sembari senandungkan cahaya-cahaya bintang membicarakan namanya, kebaikannya”.
Pelaku-pelaku dalam puisi ini mengikuti warna malam, remang-remang kehadiran, bukan lakunya, di mana remang-remang bisa menjurus ke perbuatan kelam hitam. Manusia dan alam di sini hidup, saling membentukkan. Malam remang, unggun meneranginya—bukan membakar, bahkan menyalakan ingatan.
“Senyala darinya” adalah buah dari kehidupan yang saling ber-Li-Sajidin.
Ia bukanlah aku-lirik-aku-lirik ciptaan Rendra dalam Blues untuk Bonnie, di mana si aku kesepian kepada si dia, wanita kesepian kepada pria, memvisualkan kesepiannya ke dalam kerinduan hubungan lelaki dan perempuan, yang, membuat kakek-nenek kita terlempar dari surga. Laku hitam permisif dalam sastra kita.
Aku untuk peran ini mengubah diri jadi: “sebagai bajingan. Aku telah kauterima.”
“Kepada MG” yang dikuasai “Nyanyian Duniawi”, menjadi nafas puisi.
“Ketika bulan tidur di kasur tua gadis itu kucumbu di kebun mangga.”
Sebaliknya, si aku, si kita, ciptaan Husni bergerak terbalik dari si aku, si kita, ciptaan Rendra dalam gerakan-gerakan halus di mana peristiwa dijalin ke dalam gerakan hati yang lembut dalam puisi.
Jadi lembutkanlah suaramu mewujud kepada jangan melanggar aturanNya saat relasi terjadi dengan jenis kelamin yang lain. Ia agar diri tidak mengada ke dalam simbolik the flowers of evil—buku puisi Baudelaire.
Perhubungan dikaburkan agar puisi tidak terjebak pada pornografi, ada anugerah suci, kasih yang Ia semaikan ke dalam hati, tapi dikaburkan. Kata bergerak seolah melompat saat ingin diperangkap “nafsu badani”: ia membentuk pertahanan dengan menyebut namaNya, dihadirkan untuk mencerahi hati, perasaan manusiawi tapi telah diterangi.
Ia, tak membakar lagi. Bukan negatif. Ia: “juga misteri rasa cemburu dalam senyuman yang Dia pancarkan”, baris-baris Husni, jiwanya yang halus.
***
Nada membawa kita ke bagian-bagian Teori sujud LI SAJIDIN. Nada simbolik “api” yang kita sandingkan ke Puisi Dunia atau Puisi Indonesia, juga puisi-puisi dari Sastra Maya—serinya kita persempit: tempat penyair menulis, mungkin juga membuahkan karateristik puisi.
Hasrat mengubah Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi Ketuhanan Yang Berkebudayaan bukanlah laku kata yang berjalan dengan sederhana, tapi sebuah penyimpangan. Ia kasar sekali, jauh dari lembutkanlah suaramu. Negeri tak akan mengikutinya. Begitu juga dalam sastra. Mereka yang mengikuti jalan ini tidak tahu dengan kitab di saku kanannya.
“Misteri rasa cemburu” membocorkan apa yang terjadi; puisi ini mengelak kalau mau ditangkap. Apa objek kecemburuan? Siapa pelakunya? Memikirkan sugesti yang ditunjuknya, kita dimanjakan dengan bayangan senyumNya. Sangat sujud Li Sajidin. Kita kagum dengan “senyuman yang Dia pancarkan”. Senyumannya bukan?—merasuk ke dalam tubuh—sampai kepada aku.
Aku meletakkan dirinya, mengambil jarak: “Pada rindu yang tak terkatakan”.
Aku dilirik kami, kita dengan lentik api unggun di malam hari—tapi hanya terjadi dalam bait-bait puisi. Aku memandang dia, tangan tak sampai merasuk ke dalam bahasa: “domba yang setia memeluk tubuhmu”. “kau”, “berdekap” dengan “jaket bulu”. Jadilah, asal bisa mendekap tubuhmu. Tapi aku tak putus asa.
Sebagai gantinya ia bermain tanda: Api, Kita dan Tuhan. Meletakkan api di antara kita dan Dia adalah meletakkan dua subjek, subjek dan subjek yang dihubungkan oleh api. Ia menghubungkannya, apiNya, bagai dukaMu abadi Sapardi, buahnya. Api isyarat tanda itu. Tubuh dibakar nyala api, di sana. Di sini, tubuh dihidupi api. Api dilunakkan oleh Husni. Itukah tenaga pendorongnya?—matriksnya. Pusat sujud Li Sajidin Husni Hamisi kepada Allah.
Kita mendekatkan sebuah puisi, menarik penyairnya menjadi api. Bukan cara Husni, mengikuti “senyala api dariNya”. Sabda Ruang bagian kelima itu, memperlihatkan ia tak lagi “berjalanlah dengan sederhana, melembutkan suaranya.” Sebaliknya mengeras, menolak. Nabi Musa as dipakainya sebagai penanda yang terbalik.
Penanda seperti itu tidak kita kenali di kitab suci. Api di sini bukanlah sebagai penanda tapi pesan itu, message. Ia petunjuk, kelak kita tahu ada Tuhan di dalamnya.
Pengirim pesan sedang mengirimkan pesan kepada penerima pesan, dan pesannya adalah “api”, pesan tempat, bukan pesan isi. Di dalam api ini ada Dia, di lembah Tuwa. Musa as musti mumbuka kasutnya di tempat suci ini, di masjid bernama Tuwa ini, lembahNya. Sirkuit komunikasi yang aneh, gaib. Ia bukanlah lalu-lintas pesan biasa yang diteorikan oleh linguistik, semiotik.
Bagaimana membayangkan petanda tanpa penanda, membayangkan penanda tanpa petanda dalam artian gagasan yang membawakan makna tapi tiada wujudnya? Gejala paling dekat adalah bunyi alam, tetapi alam itu ada, mengeluarkan bunyi sedih bagai kita manusia ini.
Bagai Husni Hamisi saat berpuisi, bersujud Li Sajidin kepada Ilahi. Ia tahu sedang menghadapi keluputan, si aku, semacam kasih tak sampai, kepadanya, si dia. Tapi si aku pasrah menerima walau tak membawa-bawa kosakata agama dalam retorikanya.
Ucapan-ucapan benderang menjemukan ditahannya, diolah sebagai kehalusan ketinggian budi. Kalau kita pindah, si dia muasal kasih tak sampai ini kepada negara, si warga tak menyala dalam kemarahannya, menghamburkan bahasa yang banyak itu.
Tetapi mengubahnya—jadi halus dan tinggi. Ia ibarat: biarlah dia yang jadi setan mengumbar. Kita jangan. Jadi malaikat patuh saja. Bersih dari kotornya hati lewat bahasa serapah. Allah tak bisa didekati lewat bahasa yang kotor.
Saat pikirannya memuncak, emosinya meredam, mensugestikan kesufian “baju bulu domba”.
“Kau bersedekap dengan jaket bulu domba yang setia memelukmu”, walau tubuhnya sedang menjelma “sebongkah rindu yang tak terkatakan”. Ia bukanlah kotbah kesurupan tapi kehalusan. Apa yang tak terpegang, relakanlah.
“Aku memungut sebatang ranting,” katanya
“Memainkan di sela-sela jemari pada seruas harapan yang tak terkatakan.”
Pengertian yang dalam, karena diri mengerti gerak mutasyabihat: di balik kejelasan bersembunyi misteri, yang tak mungkin bisa kita ungkapkan.
***
Arah bercabang—“Doa Bayi Yang Belum Dilahirkan” kata Nana Sastrawan. Ke “Negeri Asing” Wayan Jengki?—bayi itu? Atau Kuncup yang menyentak. “Kuncup seketika”—puisi Abdul Hadi. Belum sampai ke Negeri Asing. Luput seperti aku-lirik ciptaan Husni Hamisi.
“For I suppose no craftsman makes the idea itself; how could he?”
“He could not.”
Seandainya konteks dialog gubahan Plato ini kita pindahkan, ialah ilmu bayan Adam yang tak mungkin tanpa pengajaran. Bahwa nama itu, seperti pengrajin ini, tak tahu tentang idea—bagaimana ia akan membayangkan model kursi dan meja? Dua nama, arbitrer yang diajarkanNya.
Husni menerima pengulangan ini, “belang-belang”, dari kebudayaan yang sudah jadi. Termasuk rasa sunyi yang Ia tanam ke belikat kita. Indah, Plato itu—atau Socrates, yang indah? Seperti Husni juga: indah. Waktu belang-belang di tangannya. “Hidup di Etalase”, ujar Husni.
Keindahan itu misteri—akal bisa mengupasnya. Tetapi apakah akal bisa merasakannya? Akal menjelaskannya. Rasa merasakannya. Merasakan perasaan yang mengalir dari dalam puisi, misteri. Mengalir dari atas, lewat samping, ke bawah. Naik lagi lewat samping, ke atas. Merasakan totalitas tubuh bagai merasakan totalitas puisi. Sebagai bagian dari ilmu sastra, teori sastra, kritik sastra saat berada di depan karya sastra adalah bagai saat seseorang berdiri di depan sebuah rumah, yang ingin dimasukinya.
Ia memikirkan, merasakan puisi yang memakaikan persajakan, naik turun membawa perasaannya. Perasaan yang tinggi, bukan perasaan yang rendah. Marah adalah jiwa yang rendah, tetapi penyair mengangkatnya ke ketinggiannya. Sedih bergerak ke sayu, manakala sayu ini menarik tubuhnya ke bawah, ke bumi, teori sujud Li Sajidin menariknya, membimbing melalui persajakannya.
Jatuh bukanlah maqamnya. Maqamnya itu naik—ke atas. Membumbung—ke atas. Bumi hanyalah interval bagi tubuh langit. Tangan silat Yiyi tak boleh berputus-asa. Begitu juga tangan puisi. Di depan sebuah etalase aku tak putus asa. Ia pandangi isinya, merasakan waktu yang dirasakannya jadi lain: waktu itu kini berwarna, tempat dunia kabur di dalamnya.
Prof. H. Hudan Hidayat
Tokoh Persuratan NUMERA 2017