Puisi adalah ungkapan rasa hati penulisnya. Setiap penulis puisi (penyair) berusaha untuk meluahkan apapun dari berbagai hal; pengalaman, pengetahuan, cerita, khayalan, tekad, harapan, dan segalanya untuk digubah menjadi karya sastra (puisi). Bertolak dari hal tersebut, penyair memperkayanya dengan bahasa-bahasa ragam kias. Hingga tidak menutup kemungkinan puisi memiliki ragam tafsir dan ragam makna. Ini terjadi karena puisi telah berbentuk—lazimnya demikian—abstrak.
Membaca kembali karya-karya penyair perempuan asal Banyumas, Jawa Tengah ini terasa seperti mengulang kaji pemikiran dan tafsir lama. Tapi tentu hal itu bukan semata-mata lama dari segi tema yang disungnya, tetapi kali ini Yanwi Mudrikah mencari-cari daya bobot dalam puisi-puisinya. Hal itu dapat dirasa dalam beberapa puisinya yang termaktub di buku terbarunya ini. Setidaknya, bagi saya dapat ditinjau lebih awal dari judul buku puisinya Rumah di Atas Batu.
Judul yang menjadi tajuk buku ini agak berbeda daripada judul-judul buku puisinya yang lalu: Rahim Embun, Menjadi Tulang Rusukmu, dan Menjadi Ibu (ketiganya pernah saya ulas) yang notabenenya sangat khas menyuarakan kelembutan pada sosok perempuan. Di mata Yanwi lewat buku-buku puisinya yang lalu menyampaikan dan mengisahkan perempuan bergerak dan berpijak pada kelemah-lembutan sebagaimana kodratnya. Namun kali ini Yanwi, kemungkinan besar, ingin keluar dari gaya judul dan isi-isi puisinya seperti yang lalu-lalu. Ia kini terasa bergerak lugas, apa adanya, juga tampil sedikit keras; seperti “kita harus berpijak di atas batu”, harus mampu berdiri kuat dan kokoh melawan kehidupan yang keras ini. Untuk itu kita (baca: perempuan) kata sang penyair, harus pula mampu melewati segala tantangan kehidupan dengan kuat bagai batu; lebih jauh batu karang di tepi pantai. Namun, meski begitu, Yanwi tidak lepas dari kodrat dalam mendeskripsikan keperempuanan. Ia (dalam Aku liriknya) tetap berpijak sebagai feminis.
Dalam hal ini Saya merasa tertarik terlebih dahulu menelisik makna tajuk bukunya yaitu Rumah di Atas Batu. Ada semacam tangkapan isyarat dari penyair bahwa perempuan harus memiliki hati yang kokoh dan prinsip teguh yang senantiasa bersebati dalam jiwanya. Kekohoan itu layaknya membangun, membuat, menegakkan rumah di atas batu. Hal ini bisa dikatakan sebagai prinsip dan keteguhan yang harus dimiliki oleh siapa saja, termasuk dalam hal ini oleh penyair dalam mengedepankan kaumnya, yaitu perempuan. Dalam hal ini Yanwi masih menyuarakan kaumnya, para perempuan untuk tidak goyang mengarungi kerasnya hidup walau sampai menjerit-jerit dan menangis meraung-raung membanjirkan air mata dalam menghadapinya.
Lebih jauh hal itu berpunca kepada suara-suara hati sekaligus harapan-harapan akan masa depan yang lebih baik. Meski Yanwi mengambil sudut pandang misalnya bagaimana seorang perempuan yang telah “hancur” harga dirinya akibat terjerumus ke lembah hitam yang di mata masyarakat sudah tentu memiliki citra buruk, ia (perempuan itu) tetaplah sebagai perempuan yang harus terus mampu hidup melawan dunia yang dipilihnya, melawan gempuran-gempuran kerasnya cibiran, dan suara-suara miring yang menikam hati. Hal ini termaktub dalam puisi “Perempuan Mawar”.
Hidup di lorong roda/ bukan di perumahan-perumahan yang kredit/ akan tetapi di gang-gang sempit//.
Secara luas, Yanwi menyebut frasa konotatif “lorong roda” sebagai tempat tinggal untuk dapat hidup. Frasa “lorong roda” begitu terasa terpuruk atau sengsaranya seseorang yang hidup dalam ketidaklayakan. Hal ini ditambahkan lagi dengan kalimat /akan tetapi di gang-gang sempit//, sebagai makna konkret bahwa kehidupan si Aku lirik benar-benar parah, membuatnya menjerit dalam menghadapi hidup yang keras, yang tidak memihak kepadanya.
Namun stereotip perempuan dengan kondisi demikian sulit untuk mendapatkan simpati dari lingkungannya. Sebab, masyarakat membutuhkan kondisi kehidupan yang aman dan jauh dari kerusakan moral. Untuk itulah si Aku lirik masih tetap bertahan dalam dua sisi: menjalani hidup yang wajar meski susah dan berat untuk bangkit kembali atau hidup yang tidak wajar dengan segala ketimpangan dan penilaian buruk dari lingkungan? Tetapi, ternyata si Aku lirik telah terlanjur dalam kubangan itu. Perempuan mawar/ dan bertato mawar/ setiap hari di tawar-tawar/ selalu buat onar para penduduk sekitar//.
Berikut, puisi “Nyanyian Kesedihan” juga tidak lepas dari suara-suara perempuan yang di mata penyair sebagai bentuk menunjukkan kembali sosok ibunya yang mana dahulu berjuang mati matian melahirkannya, hingga ketika ia (Aku lirik) sekarang juga telah merasa menjadi sosok ibu, akhirnya turut merasakan pula seperti apa perjuangan ibunya dahulu.
Di sini Aku lirik mencoba menunjukkan perasaannya yang lebih jauh dan lebih dalam sebelum apapun singgah (baca: kematian?) atau apapun yang lebih agak ringan daripada itu—yang kelak akan dialaminya.
/Aku membayangkan betapa hari ke hari berikutnya begitu dingin/ … /keputusan yang tegas dan pas di bulan Agustus//.
Penyair akan meluahkan apapun ke dalam puisi-puisinya. Segala gambaran perjuangan hidupnya dari awal, juga dapat menjadi rantai yang menjuntai panjang menjadi kisah tersendiri.
Secara tak langsung, dalam puisi kita dapat pula menelisik kisah-kisah diri penyair walau tidak segamblang bahasa prosa, namun dengan kekuatan bangunan kalimat dan kata-kata ringkas dan padat, kita dapat menemukan diri penyair.
Termasuk puisi berjudul “Nyanyian Kesedihan” yang terdapat frasa ‘bulan Agustus’ lebih jauh di telisik sebagai bulan kelahiran sang penyair sendiri, yang mana dalam puisi ini ditekankan oleh penyair sebagai hari yang spesial dan bersejarah hingga ia selalu merasakan dua hal yang seling tumpang-tindih: kenangan-harapan dan kegalauankesedihan, saat mengingat sang ibu. Hal ini dapat pula dikatakan bentuk kilas-balik seorang perempuan akan pengorbanan ibunya hingga begitu terasa mendalam (jeritan dan harapan) itu, juga menusuk-nusuk hatinya ketika mengingat kembali sebagaimana penyair melalui Aku lirik telah pula kini menjadi sosok ibu. /Aku nikmati haus dan lapar/ dengan waktu yang makin menghempas/ di dada seorang ibu/ yang melahirkan, yang merawat, dan membesarkanku//. Penyair melewati Aku lirik semakin gemetar membayangkan perjuangan dan pengorbanan ibunya /aku tahan lapar/ aku menahan memar/ sampai pada batas//. Hal ini mengisyaratkan bahwa penyair merasa harus kuat menjadi seperti sosok ibunya dahulu.
Berikut puisi berjudul “Surga Perempuan adalah Air Mata” menyiratkan pesanpesan tersirat mendalam. Diksi ‘air mata’ menunjukkan keakraban pada diri perempuan. Penyair menyiratkan air mata mampu berkata-kata, memberikan pesan kuat sebagai bentuk kemandirian, kekokohan, kekuatan yang harus dimiliki oleh perempuan meskipun pada dasarnya perempuan adalah kaum yang mudah untuk menangis. Namun air mata itu bukan semata-mata gambaran duka, luka, atau hancur, jatuh.
Tetapi sebaliknya air mata juga mampu melambangkan kekuatan dan daya tahan perempuan tatkala terpuruk. Hal ini seperti yang dikatakan penyair /Ia yang akan menguatkan/ memberi sabar/ memberi ikhlas//.
Air mata juga harapan yang dapat memberikan daya bangkit bagi perempuan. Anggapan perempuan adalah kaum lemah tidak berlaku bagi penyair. Melewati puisinya, penyair ingin berteriak bahwa dalam diri perempuan memiliki kekuatan tak terbatas, mungkin bukan dalam hal fisik tetapi dalam jiwanya. Bukankah banyak kita melihat dalam kenyataan hidup bahwa sosok ibu mampu membesarkan—sambil pula mencari nafkah sendiri—sejumlah anaknya? Hingga anak-anaknya tersebut mampu pula berdiri sendiri? Artinya perjuangan itu bagi perempuan dapat ditandai dari airmatanya. /Ia tak terbatas/ logika tak sampai kepadanya// namun, ia mampu bergejolak// sama halnya hati yang dirundung ujian//.
Berikut puisi berjudul “Wajah Perempuan” juga memberi gambaran tentang kehidupan (baca: kekokohan) perempuan dalam mempertahankan diri di tengah ganasnya kehidupan kota. Namun pada puisi ini tidak mengenai sosok individu, tetapi perempuan banyak pada umumnya. Penyair tidak spesifik menggambarkan sosok perempuan yang seperti apa, juga dalam hal pekerjaan, status, lingkungan, dan lainnya. Penyair hanya memberikan deskripsi: jalanan, trotoar, dan taman-taman kota.
Meski sebatas deskripsi tersebut, penyair tetap menyelipkan pesan bahwa perempuan—sekali lagi baginya—sosok yang kuat /ia menahan tangis/ ia menahan kecewa (yang lalu)//. Bagi penyair, segala apapun, walau perempuan itu menjerit akan tetap berjuang menempuh hidup untuk melawan kerasnya kehidupan itu. /barangkali ada hal yang tak ingin ia katakan// barangkali ada hal yang tak ingin ia jelaskan//.
Jeritan hidup mereka dalam berjuang tidak dapat kita dengar, tetapi hanya tersimpan rapi dalam hati. Bagi penyair, perempuan juga mampu menjadi seperti laki-laki yang tidak ingin banyak bicara, tetapi lebih baik menjalani dengan sabar, tabah, dan kuat.
Tak perlu segalanya diumbar kemana-mana, sebagaimana penyair katakan /ada hal yang tak ingin ia katakan/ ada hal yang tak ingin ia jelaskan//.
Semuanya cukup ia dan Tuhan yang tahu, dan hanya mengadu kepada-Nya. Sebab hidup sudah semakin keras, sedangkan mengadu keluh-kesah kepada manusia akan semakin bertambah berat dan tidak berarti apa-apa. Untuk itulah segala jeritan (himpitan hidup) hanya diadukannya kepada Tuhan yang Maha Penolong.
Berikut puisi berjudul “Mesin Jahit Ibu” menyiratkan pesan mendalam tentang suara hati anak yang teringat ibunya. Dari objek frasa ‘mesin j ahit’ penyair melukiskan suara-suara harapan bagi seorang ibu yang berjuang menghidupi anak-anaknya, juga jeritan-jeritannya tatkala mendapatkan ketidaksenangan dalam hidup. Namun sosok ibu yang dikisahkan melewati Aku lirik tetap menjadi perempuan yang tegar, tangguh, dan teguh pendirian. /Dendam tak harus dibayar dengan dendam/ tetapi lunaskanlah bersama kebaikan//.
Bagi penyair kenangan yang walaupun pahit, mampu menjadi kenangan manis. Sebab saat menjalaninya bersama orang terkasih akan membuat segala jeritan hidup berubah menjadi daya hidup yang kokoh.
Seperti yang dikisahkannya melalui Aku lirik, ia tidak ingin hal itu terulang kembali; tak perlu menjadi perdebatan di masa kini, sebab yang lalu biarlah berlalu, karena masa kini telah berganti rupa. Bukankah hidup seperti roda berputar? Begitu setidaknya Aku lirik katakan. Karena itu, ia tidak mempersoalkan lagi masa lalu yang pahit. /Dan masa lalu lipatlah/ dari segala luput/ agar berlalu// jangan malah didebat/ dan menetap//.
Hidup adalah cobaan! Teriak Aku lirik. Maka siapapun akan merasakannya. Masa lalunya bersama ibu yang sebagai perempuan kokoh—setidaknya bagi Aku lirik demikian karena ibunya mampu hidup bermodalkan mesin jahit—tetap teguh pendirian, tidak gentar terhadap apapun yang bakal merusak persaannya, hatinya, impiannya. Baginya biarlah jeritan kehidupan itu ada, sebab hidup memang demikian, namun kelak ia akan lewat dan hilang. /Orang-orang hanya tertawa// tak ada yang peduli persoalan//.
Secara garis besar puisi-puisi Yanwi banyak mengisahkan perjuangan hidup kaumnya, perempuan. Penyair ingin menunjukkan sikap yakin bahwa himpitan dan tantangan hidup mampu dijalankan dengan kuat oleh perempuan. Penyair juga ingin berujar tentang perempuan dari masa ke masa tetaplah sama yaitu kuat dan cerdas. Tidak ada batasan atau anggapan-anggapan yang melemahkan.
Gambaran tema-tema perjuangan perempuan ini di deskripsikan penyair dengan apa adanya (gamblang). Bahasanya lancar, namun masih terasa kurang dalam penggalian diksi untuk menguatkan kesan yang lebih padat pada puisinya, juga untuk mengarah kepada daya gugah yang lebih jauh dan kuat. Namun kesederhanaan puisi-puisi Yanwi mampu memberi warna tersendiri yaitu kekhasannya yang kini dicobanya membahasakan perempuan menjadi sosok yang harus tahan banting ibarat mendirikan rumah di atas batu.
Selatpanjang, 16 Februari 2023
Riki Utomi. Kelahiran Pekanbaru 1984. Sejumlah puisinya pernah tersiar di Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Indo Pos, Majalah MBS, Buletin Jejak, Tabloid Tanjak, Majalah Elipsis, TirasTimes, dll. Bukunya yang telah terbit Sebuah Wajah di Roti Panggang (cerpen, 2015), Belajar Sastra Itu Asyik (nonfiksi, 2019) Menjaring Kata, Menyelam Makna (esai, 2021), dll. Meraih penghargaan ACARYA SASTRA dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Jakarta 2015 dan Pemangku Prestasi Seni (bidang Sastra) dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Provinsi Riau 2016.
Tulisan ini telah dimuat di e-majalah apajake edisi Maret-April 2023.