Oleh Narudin
Dari sekian puisi dalam buku ini, sugesti getaran yang memikat hati saya. Sugesti ini semacam “gaps” (ruang kosong imajinasi) dalam jargon Wolfgang Iser atau “horizon of expectations” (cakrawala harapan) dalam jargon Hans Robert Jauss.
Seluruhnya menyuruh pembaca mengisi ruang kosong pembacaannya sesuai latar belakang pengetahuannya. Simak puisi berikut.
CAHAYA YANG TIDAK INGIN DIPADAMKAN
Sebuah tradisi leluhur
mengakar dalam darah
menjalar di sekujur urat-urat kehidupan
Ia mengantar nasi di dulang saban hari
Dipilihnya perempuan-perempuan tak bersuami
Pun perempuan tak berdaya
Selarik doa kepada suaminya
Sepincuk nasi dibungkus rindu
perempuan tanah bulaeng
Kini cahaya itu ia padamkan
Matanya membara luka
pergi tersapu petang
Semua bait dalam puisi di atas, tentang pesona tanah Bulaeng atau warna lokal lainnya dalam puisi-puisi lainnya dalam buku puisi Ule Ceny ini dapat dengan mudah kita maknai. Akan tetapi, beberapa bait sulit dimaknai, sebagai berikut:
Ia mengantar nasi di dulang saban hari
Dipilihnya perempuan-perempuan tak bersuami
Pun perempuan tak berdaya
Ule Ceny tak menjelaskan mengapa dua macam perempuan itu yang dipilih. Kita dapat mencari tahu mengapa. Namun, teka-teki semacam ini bukan termasuk alamat puisi diafan, mudah ditangkap, melainkan puisi prismatis, banyak sudut kilau maknanya, sukar ditangkap.
Simak dua puisi lebih simpel di bawah.
INI GINCU
Merahnya pada kekuatan
bisa api dalam rindu
bisa suluh dalam setiap langkah
sebab gincu, desiran darah ambisi.
Sumbawa, 25 Desember 2023
Ule Ceny memberi definisi “gincu” sebagai “desiran darah ambisi”. Namun, siapa tokohnya dan siapa pasangannya? Ini puisi famili atau domestik. Kita dapat menangkapnya dari kata-kata “rindu” dan “setiap langkah”. Namun, apa yang membuat gincu menjadi api atau suluh? Ada simbol pribadi (private symbol) di sini yang membuat puisi ini kurang cahaya. Simak satu puisi lagi.
NYANYIAN SUNYI
A,aaa, aaa, aaa
Hmmm, hmmmm, hmmmmmmm
A, aaaa, aaaa, aaa
Di kedalaman sepi
Kutemukan jalan cahaya
Teduh
Damai
Lalu, aku tenggelam dalam sunyi
Sumbawa, 3 Januari 2024
Bagaimana Ule Ceny menjebak kita dengan puisi berjudul klise ini, “Nyanyian Sunyi”. Bait 1 justru tak klise, paradoks bunyi atau estetika pertentangan, istilah Yuri Lotman, pakar Semiotika.
A,aaa, aaa, aaa
Hmmm, hmmmm, hmmmmmmm
A, aaaa, aaaa, aaa
Bait 2 menguraikan situasi sunyinya. Namun, mengapa terputus? Pembaca tak diberi kesempatan untuk menangkap makna lebih selain jawaban lucu:
Di kedalaman sepi
Kutemukan jalan cahaya
Teduh
Damai
Lalu, aku tenggelam dalam sunyi
Kesimpulan, puisi-puisi Ule Ceny ini bisa disebut cerdas atau sukar karena simbol pribadi itu. Cerdas karena sugesti getarannya, meminjam istilah Robert Pinsky “stirring“, sukar karena ada bawah sadar (unconscious) yang belum sadar, yang mujurnya bukan tak sadar.
2024
__________
Narudin menulis 2 buku baru, Sintesemiotik: Teori dan Praktik (2023) dan Sastra Indonesia dalam Sastra Dunia (2023).