PUISI DAN KEGELISAHAN PENYAIR
Nana Sastrawan[1]
“Kegelisahan adalah tanda hidup.”
Itulah pernyataan Sitor Situmorang yang sangat populer di kalangan seniman, khususnya para penyair. Lalu, apa maksud di balik pernyataan itu? Tentu saja seorang penyair sebagai pencipta puisi akan selalu berkarya jika selalu berada pada titik kegelisahan. Ya, rasa dan pikirnya selalu gundah menyaksikan keadaan sekitar, peka terhadap lingkungan. Sebab menulis puisi ialah upaya untuk mewujudkan atau melengkapi kemanusiaan. Yaitu, sebuah usaha ideal dan imajinatif dalam lingkaran realitas keseharian penyairnya.
Kegelisahan-kegelisahan semacam itu pun ternyata dimiliki oleh Sri Sunarti, penyair berasal dari Indramayu. Pada puisi-puisi dalam buku ini, ia memaparkan segala macam peristiwa yang terekam dalam inderanya. Ia menyadari betul bahwa sebuah karya, khususnya puisi memiliki keterikatan dengan peristiwa di lingkungannya, sehingga tidak heran, puisi-puisi yang ditulis olehnya dari tahun 2020-2024 ini menggambarkan suasana pada tahun-tahun itu
Misalnya pada puisi ‘Melawan Corona’
ku hitung langkah dalam jarak
di antara kecemasan rasa
di antara kerumunan menyeruak
serasa virus ada di mana-mana
lalu orang-orang kembali bergerak
dalam suasana diam
tangis tertahan hingga suara serak
mengisi keheningan malam
kembali korban berjatuhan
yang menjaga di garda terdepan
perang belum usai digelar
melawan corona yang semakin liar
tapi semua harus dimenangkan
sebelum datang ramadhan
lalu doa-doa dipanjatkan
di setiap detak nafas insan
berharap corona segera pergi
dari hamparan bumi Indonesia
Kita bisa memaknai puisi di atas sebagai wujud kegelisahan Sri Sunarti pada peristiwa mencekam wabah Corona yang melanda Indonesia di tahun itu. Semua orang merasa takut keluar rumah, perekonomian lumpuh. Ya, penyair tidak sekadar menikmati keindahan sendiri pada dunia kata-kata tetapi harus peka juga terhadap lingkungan.
Pada puisi ‘Kulepas Melaut’ Sri Sunarti membicarakan kegelisahan yang lain, yang tidak hadir pada dirinya melainkan dari orang lain. Ini dapat membuktikan bahwa kepekaan penyair adalah satu di antara syarat menjadikan puisi itu bermakna.
tak ingin lelakiku menjauh
jangkar kulempar menggigit dasar laut
melepas birahi di gigir pantai
di sepanjang pasir basah
riuhkan debur ombak
di pelataran cinta
tak ingin lelakiku melaut
di semusim purnama
karena ombak kian pasang
menebas karang terjal
tak ingin dirimu dalam arus
karena aku perempuan
dari laki-laki nelayan
ketika musim berlalu
kembali berlarian di tepi pantai
merajut jaring di geladak perahu
kulepas dirimu menari bersama ikan
karena itu duniamu
Puisi ini menggambarkan seorang istri nelayan melepas suaminya untuk pergi melaut, dimana Indramayu juga dikenal dengan kampung nelayan yang dekat dengan pesisir pantai utara. Sri Sunarti bisa jadi mengamati peristiwa-peristiwa itu, sebab ia bukan seorang istri nelayan melainkan seorang pendidik yang bekerja di bawah kementerian pendidikan.
Puisi ‘Kulepas Melaut’ menghadirkan diksi-diksi yang memberikan tafsir begitu cinta dan cemas seorang istri nelayan. Di awal puisi-puisi ia telah menghipnotis pembaca dengan untaian kalimat mempesona; tak ingin lelakiku menjauh /jangkar kulempar menggigit dasar laut /melepas birahi di gigir pantai /di sepanjang pasir basah /riuhkan debur ombak /di pelataran cinta.
Puisi-puisi Sri Sunarti yang lain pada buku ini sepertinya memang disusun dari puisi-puisi yang telah ia ikutkan dalam ajang festival-festival sastra dan kegiatan literasi lainnya di Indonesia. Bisa dibaca pada setiap puisinya memiliki beragam tema, tetapi dari setiap puisi-puisinya Sri Sunarti seolah sedang menyuarakan isi hatinya, itulah mengapa puisi-puisinya terbaca seperti sedang marah, merenung, sedih, bahagia dan lain-lain. Puisi memang bisa menjadi sebuah jalan lain untuk mengungkap pikiran dan perasaan.
Selamat Membaca.
[1] Peraih Penghargaan Acarya Sastra IV Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kemendikbud RI 2015