Oleh Dr. Endang Kasupardi, M.Pd
Lunar adalah kumpulan puisi karya Sartikah. Salah seorang guru yang juga penyair. Jika dikatakan guru harus mampu literasi, maka bu Sartikah ini sudah melampaui standar guru literasi. Puisi-puisi karya beliau disusun dengan kata-kata yang runut, sehingga menggambarkan makna yang diinginkan penulis dan sampai pada pembacanya.
Gaya puitis deskripsi menjadi ciri khas tulisan bu Sartikah ini. Sebuah kalimat, yang disusun berdasarkan hati, maka ia akan memiliki sentuhan yang jelas pada hati siapapun yang membacanya. Puisi sartikah memiliki itu.
Pada buku yang ke empat ini, disusun secara mandiri. Diberi judul Lunar. Secara etimologi, lunar adalah bulan. Berasal dari bahasa Proto-Jermanik mǣnōn. Sebutan lain untuk bulan dalam bahasa Inggris modern adalah lunar, berasal dari bahasa latin Luna.
Luna, lunar, bulan. Pilihan judul pada kumpulan puisi karya Sartikah ini adalah lunar, bahasa dengan kata sederhana, tapi menjadi sebuah ungkapan yang memerlukan penafsiran bagi pembacanya. Ini yang diperlukan sebuah buku, sederhana tapi pembaca memerlukan makna yang perlu digali sehingga sampai pada tujuan yang dimaksud penulis itu sendiri.
Penafsiran pembaca dari maksud penulis merupakan sebuah inti yang sangat bagus untuk mendekatkan penulis dengan pembacanya. Saya ingin mengambil salah satu ungkapan yang digunakan Sartikah pada puisi yang berjudul lunar dan sekaligus menjadi judul buku ini. Puisi yang ditulis di Garut, 26O72024.
Ingin ku bisikan kisah pada angin malam
yang berhembus menghapus jejak.
pada puisi yang semakin sunyi
dalam gerimis yang terus meringis
Pada bait ini, Sartikah membawa pembaca kealam pikiran dirinya. Seolah-olah, ia mengarahkan rasa pembaca dengan keharusan menikmati rasa kesunyian yang dingin dengan instrumen angin malam, sunyi, gerimis, dan meringis.
Tujuan ungkapan Sartikah adalah ada peristiwa yang secara tidak sengaja menghapus segala cerita yang pernah dialaminya. Ini adalah sebuah kisahan, yang memulai membawa pikiran agar memiliki persefsi yang sama dengan penulis. Sebuah kisahan yang diperkenalkan penulis.
Pada bait dua, Sartikah masih pada kisahan, memperkenalkan pemikiran dengan berusaha membolak balikan rasa.
Ingin ku kabarkan pada bara api yang terus membara bahwa luka itu terus ada
pada bab bab yang masai
pada helaian helaian pedih yang terus menggerogoti jiwa manusia tak berdaya
Sebuah analogi yang memutarbalikan dari kisahan pertama. Tapi kisahan yang ditunjukkan Sartikah adalah, membawa pembaca pada perasaan luka dengan Instrumen bara api dan kepedihan yang membuatnya tidak berdaya.
Analogi pada bait ini, adalah bara api yang membakar onggok daging, bukan sembuh tapi membuatnya tambah luka dan sempurna ras luka itu.
Pada bait berikutnya, Sartikah ingin mengungkapkan sinisme dirinya yang memiliki kecenderungan, antipati.
Ada senyum pada bunga perdu beraroma mawar
yang menjanjikan indahnya dunia
aku kau dan juga dia merangkak
menelusuri duri untuk mengapai kuntum perdu
tak peduli lagi pada pedihnya racun yang memoles luka
Disini, ungakapan keinginan menutup luka tapi kepedihanlah yang tetap dirasakan. Ia menggunakan instrumen kata, senyum, janji, dan perjuangan untuk menutup kepedihannya dengan instrumen, merangkak, menelusuri, dan menggapai. Tapi semua itu, bukan bunga mawar yang diinginkan, hanyalah sebuah bunga perdu, yang sebenarnya liar dan tak perlu juangan seberat yang ia rasa.
Disisi lain, Sartikah pun mengungkapkan, kenapa ia pedih, sedih dan membuatnya terluka. Pada bait puisi berikutnya dijelaskan.
Sementara mereka menikmati secawan madu merah yang mebuat mabuk kepayang
mengalirkan kehangatan pada jiwa yang hampir mati dan kita menikmati candu dalam getir
pada setiap tetesnya.
semuanya tak bisa diurai dengan kekata
bahkan puisi pun kehilangan makna
Rupanya ada ketidakadilan yang ia rasa dengan menggunakan kalimat perbandingan. Disaat pedih mereka menikmati madu merah, disaat luka merka mabuk kepayang, disaat dingin, mereka hangat. Sartikah hanya menikmati getir yang dirasakannya sendiri.
Pada bait akhir, Sartikah menuliskannya dengan bait begini:
Harapan terus bergulir di antara lunar yang hampir mati
masih adakah seberkas sinar yang akan menerangi kegelapan di bumi
agar para jelata bisa terus menikmati secangkir kopi dan merebahkan jiwanya pada
kesetiaan abadi seperti lunar yang terus berputar
Sartikah menyisakan harapan disaat kegetiran, kepedihan, kedinginan, dan rasa sepi. Lunar akan terus berputar,.bahwa kepedihan akan menjadi rasa senang. Ungkapan yang digunakan Sartikah pada puisi ini semata ingin mengoyak-ngoyak rasa pada pembacanya. Sebuah ungkapan yang sangat bagus untuk menajamkan rasa.
Maka, buku ini cukup baik menjadi referensi pembaca yang ingin menajamkan rasa dan pikiran, sehubungan banyak ungkapan yang bisa kita gunakan dalam literasi sehari-hari.
Selamat pada bu Sartikah, yang sudah menuntaskan puisinya sehingga menjadi buku puisi yang sangat bagus.
Dr. Endang Kasupardi, M.Pd.
Pemerhati budaya, bahasa, dan sastra