i/.
NIAT menerbitkan buku “60 Sajak Pilihan”, sebenarnya sudah ada di kepala saya sejak tahun lalu – yang mana buku ber-genre puisi ini setidaknya sebagai hadiah istimewa ketika usia saya menapak 60 tahun pada tanggal 6 Agustus 2022. Sebuah Antologi Puisi berisi 60 sajak pilihan (ditulis dalam kurun waktu 1982-2022).
Puisi-puisi dalam buku ini mayoritas sudah dimuat di media cetak maupun media online, serta dimuat juga di beberapa antologi puisi tunggal saya maupun antologi puisi bersama. Dari sekian banyak puisi yang bertebaran di media massa itu kemudian saya ketik ulang, sambil mengedit pelan-pelan baik itu menghilangkan kata/ kalimat yang saya anggap mubazir serta menambah kata/ kalimat yang sekiranya perlu. Diksi, metafora dan gaya (style) dari puisi-puisi lama yang memiliki estetika tentulah saya pertahankan.
Sebagai sebuah pengantar; semoga uraian yang saya narasikan di bawah ini dapat menciptakan inspirasi, dan setidaknya mengingatkan kembali perjalanan kreatif lahirnya puisi-puisi saya.
ii/.
Tidak mudah menerbitkan sebuah kumpulan puisi dalam satu tema, apalagi dengan pola pengucapan (diksi dan metafora) yang mirip. Sejak awal menulis puisi, hingga saat ini – banyak perubahan yang terjadi terhadap pola pengucapan di tubuh puisi saya. Perbandingan ini bisa terbaca melalui narasi beberapa kritikus/ pengamat sastra
Saat mengulas buku puisi “Nyanyian Anak Negeri” (manuskrip, 1984), Putu Arya Tirtawirya menyimpulkan sajak-sajak saya merupakan sajak-sajak transparan yang cukup jernih, efisien dan efektif dalam penerapan Bahasa. Berbeda dengan Diah Hadaning saat mengomentari antologi puisi “Suara Suara” (Penerbit Sastra Kita Jakarta, 1985). Diah menyatakan, “Dengan sajak, Nanang telah mencoba bersuara dalam kehidupan, mencari makna kehadiran diri, tentang arti sebuah eksistensi.”
Korrie Layun Rampan melihat proses kreatif saya dari sudut pandang yang berbeda dari Putu Arya Tirtawirya maupun Diah Hadaning. Korrie memberi komentar atas beberapa puisi saya yang pernah dimuat di media massa. Katanya, “Sajak-sajak Nanang Ribut Supriyatin merupakan sajak yang mencirikan pola pengucapan kiwari dalam persajakan Indonesia dari jalur sajak-sajak imagis. Penggunaan prosa di dalam bangunan puisi membuat pengucapan sajak jadi unik karena penghilangan unsur puisi seperti rima, irama, dan bait. Untuk lebih memberi tekanan pada makna tertentu penyair bahkan suka meletakkan enjambement pada sejumlah sajaknya, sehingga baris-baris prosa dalam kalimat-kalimat yang kadang royal menjadi lentur. Beberapa sajaknya memberi perspektif untuk berkembang pada gagasan besar dalam perjalanan kepenyairannya membuat ia bersajak dengan santai, meskipun imagenya sering cukup tajam dan bernas.”
iii/.
Jika memberi penilaian terhadap karya sastra (baca: puisi) hanya sebatas sebuah antologi, saya kira penilaian tersebut belum merupakan final. Hal penting yang mesti dicatat ialah penilaian berjenjang. Sejak awal menulis hingga melahirkan puisi-puisi yang belakangan. Sebagai contoh, pujian berdatangan pasca membaca serta menelaah sajak-sajak W.S. Rendra yang dimuat dalam buku “Blues Untuk Bonnie”. Tak kurang beberapa pengamat menganggap sajak-sajak pamlfet W.S. Rendra sebagai sajak-sajak yang gagal.
Buku puisi Sutardji Calsoum Bachri, “O, Amuk, Kapak!” (penulisan tahun 1966-1979), disebut-sebut sebagai puncak kreatifitasnya. Sebutan ini semacam doktrin; yang berakibat kurang baik bagi kelahiran sajak-sajaknya kemudian. Padahal beberapa sajaknya yang lain, seperti “Berdepan-Depan dengan Ka’bah”, “Idul Fitri” dan “Telur” termasuk yang banyak dipuji.
Pro dan kontra akan selalu ada dalam sebuah karya cipta. Sejelek-jelek apapun pendapat kritikus, kelak dikemudian hari akan membawa penyairnya dengan sebutan the best! Yang terpenting dalam berkarya, seorang penyair harus konsisten di jalurnya dan tak terjebak pada stagnan.
iv/.
Kalau ingin menjadi penyair besar, tak perlu takut pada keadaan. Hadapi! Seburuk-buruk apapun orang lain menilai dari banyak puisi kita – satu puisi bagus dari seratus puisi, bukan masalah. Satu puisi bagus untuk kemenangan puisi-puisi selanjutnya. Dan bersyukur jika mayoritas puisi-puisi kita masuk kategori puisi-puisi terpuji, puisi yang penuh sanjungan. Like! Like! Like! O, euphoria!
v/.
Mengumpulkan, memilih, memilah serta mengedit. Ini bagian dari mengkritisi ciptaan sendiri. Sebelum puisi-puisi di publish. Sebelum puisi-puisi diulas dan di bedah, jadilah kurator dan editor untuk diri sendiri.
vi/.
Inilah pendapat beberapa pengamat terhadap puisi-puisi saya yang dimuat di beberapa antologi puisi ber-ISBN.
- “Puisi-puisi Nanang R. Supriyatin umumnya mengesankan sebagai puisi yang mengangkat hakekat personal dengan metode konvensional. Puisi-puisinya menarik justru karena ungkapannya yang sederhana, tapi masalah yang digarapnya tak pernah selesai dicerna. Menghanyutkan tapi tidak memuaskan.” (Tajuddin Noor Ganie, cuplikan komentar atas buku “Suara Suara”, Skh. Banjarmasin Post, 1985).
- “Yang perlu tertangkap oleh saya sebagai penikmat sajak bahwa sajak-sajaknya banyak bercerita tentang kehidupan. Dengan Tuhan sebagai ‘sumber’. Lebih dari itu, gambaran kerisauan seorang anak muda terhadap seputar dunia yang dipihaknya terasa benar. Terkadang digugatnya tapi tak jarang dipasrahinya.” (Ayid Suyitno PS, cuplikan komentar atas buku “Suara Suara”, Skh. Terbit, 1985).
- “Tema-tema maut, kesepian dan kemisterian sangat akrab dalam sajak-sajak Nanang. Maut bagi penyair ini bukanlah sesuatu yang menakutkan. Maut adalah sesuatu yang ditunggu, sesuatu yang perlu dimesrai. Terlepas dari apakah kita siap atau tidak dalam menghadapinya… (Drs. Maizar Karim, makalah saat diskusi tentang antologi puisi “Pusaran Waktu” di Taman Budaya Jambi, 1995).
vii/.
Saya merasakan, puisi-puisi awal saya banyak dipengaruhi penyair lain, baik penyair Indonesia maupun penyair dunia yang puisi-puisinya banyak diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Pemilihan diksi serta metafora tak tertib. Yang ada dalam kepala saya, bagaimana puisi saya bisa lolos dari kurator dan dimuat di majalah atau koran. Namun, setelah sekian tahun menulis dan menggeluti puisi – pun tak kalah buruknya. Beberapa surat kembali ke alamat rumah saya. Artinya puisi-puisi yang terkirim di tolak redaktur. Di sisi lain, 25 puisi yang saya kirim ke Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), yang kemudian dimuat dalam antologi “Tiga Penyair Jakarta Baca Sajak” hanya sepuluh puisi yang dipilih. Meskipun ada rasa bangga karena dapat tampil bareng Wahyu Prasetya & M. Nasruddin Ansyori (Gus Nas) di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki, tahun 1988. Kebanggaan lain tentunya pembacaan Tiga Penyair tersebut diliput banyak wartawan, dengan diskusi yang cukup serius. Sesuatu yang juga pernah terjadi saat pembacaan puisi “Tiga Penyair Jawa Barat Baca Sajak” (Acep Zamzam Noor, Nirwan Dewanto & Soni Farid Maulana). “Tiga Penyair Lampung Baca Sajak” (Isbedy Stiawan ZS., Iwan Nurdaya Jaffar & Sugandhi Putra). Pembacaan puisi yang rutin diadakan DKJ tersebut gaungnya sampai ke daerah.
viii/.
Pasca Pembacaan Puisi Tiga Penyair Jakarta, Nirwan Dewanto menulis komentar dan dimuat di majalah Sastra Horison (1988): “Sajak-sajak Nanang R. Supriyatin memperlihatkan kecenderungan berucap spontan, ditambah rasa sentimental yang berlebihan di sana-sini. Penciptaan sajak-sajaknya dilandasi oleh keharuan dan keperihan sesaat, dan kesesaatan itu nampaknya membengkalaikan eksplorasi penyairnya. Bahasa hanya digunakan sebagai alat yang gampang-gampangan untuk menyatakan obsesinya.”
Komentar Nirwan atas puisi-puisi saya itu, nyaris sama dengan komentar Bambang Widiatmoko saat mengkritisi antologi puisi “Suara Suara”: “Mengamati sajak-sajak Nanang memang belum terlihat eksistensi yang kuat pada penyairnya. Sebagian besar sajaknya hanya berupa sketsa-sketsa, rekaman sesaat pada objek yang dihadapinya. Sehingga tentu sajak-sajaknya belum memberikan kedalaman makna yang kontemplatif… Bagi Nanang sajak adalah sesuatu yang indah dan abadi, sehingga menarik untuk digeluti. Dan sajak adalah surge bila sewaktu-waktu kita mati. Tetapi Nanang belum mampu menghadirkan suatu keindahan di balik sajak itu sendiri. Sehingga yang Nampak hanya permukaannya saja.” (Majalah Pusara, Yogya, 1987).
Komentar Nirwan dan Bambang, berbeda dengan komentar Anwar Putra Bayu saat mengulas antologi puisi “Prosa Pagi Hari” (1995). “Dalam dunia kepenyairan Nanang RS dapat dikatakan sebagai penyair yang memiliki puisi-puisi kontemplatif. Tema-temanya begitu keseharian dengan kita. Puisi-puisinya merupakan sebuah dunia yang begitu dekat dengan problem manusia sehari-hari. Realitas dekat dari eksistensi manusia itu sendiri… (Majalah Puisi Diksi, 1995).
ix/
Yang ingin saya sampaikan bahwa cara pandang setiap orang atas suatu objek akan selalu berbeda. Perbedaan ini akan semakin menguatkan seseorang dalam menghasilkan karya bermutu. Saya percaya bahwa setiap perjalanan dalam kehidupan ialah sejarah yang kelak membentuk kepribadian.
x/.
Memberi Ruang Pada Puisi
Jika saya tidur, saya tak akan menemukan puisi dalam tidur saya. Yang saya temukan, mungkin hanya mimpi. Dan, jika saya terbangun, saya akan merekam mimpi-mimpi itu. Tapi tak semua mimpi dapat terekam. Kata orang tua, mimpi hanyalah bunga tidur. Mimpi semacam cahaya yang berkelebat, bagai bayang-bayang, dan kemudian menghilang.
Kalau saya terbangun dari tidur dengan kondisi tubuh dan imun yang baik, maka akan timbul rangsangan untuk menulis. Bisa saja yang ada di kepala saya hanya puisi. Maka wajar kalau kata-kata yang berseliweran (bagai kepulan asap) tersebut mengganggu otak. Saya ingat, salah satu keberhasilan seorang penyair diantaranya mau membaca karya puisi yang dianggapnya baik. Dan, tentunya juga membaca buku-buku diluar sastra (ungkapan HB Jassin yang saya ingat). Yang terpikir adalah sebuah pilihan kata yang tepat sehingga diperoleh gagasan yang dapat menyenangkan pembaca atau pendengarnya. Tapi sekali lagi, jangan lupakan pilihan kata (diksi) serta rangkaian kalimat (metafora). Oleh karena puisi bukan prosa, maka mungkin terasa keasikkan jika sedang menguntai atau memantik kalimat. Seringkali terjadi pelanggaran atas larik saat menulis. Secara sintaksis satu kata/ kalimat melompat. Dalam arti terjebak pada istilah enjambemen (konon berasal dari Bahasa Perancis). Sesuatu yang mungkin lumrah terjadi.
Hanya sekadar contoh saya kutip puisi saya yang saya ambil dari buku antologi puisi “Jakarta, Jangan Lagi!”. Antologi puisi Bersama Ayid Suyitno PS, Endang Supriadi, Kurnia Effendi, Medy Loekito dan Wowok Hesti Prabowo. Sisipan majalah Kolong Budaya, 1996.
ETSA
kepedihan itu kubaca dari matamu
maut yang terbaring seperti benda tajam
ingin melukaimu
aku rasakan kebahagiaan yang kelam
ketika kau katakan duka itu padaku
hanya nyanyian dan gitar mati
membentur pintu
kabut yang menyimpan kisah
telah lama memecah di udara
dan ketika kau berlagak sebagai
si penyamar, aku telah lama memelukmu!
xi/.
Puisi seyogyanya diberikan ruang yang sejajar dengan infotaimen selebriti maupun berita olahraga sehingga drajat kepenyairan akan lebih terhormat dimata masyarakat. Namun, upaya meningkatkan drajat, yang diikuti meningkatkan kesejahteraan ini seringkali terabaikan. Jika saya menulis puisi berdasarkan kaidah dan aturan, umpamanya merujuk pada istilah sintaksis, lingustik, idiom dan sejenisnya—kemungkinan terbelenggu pada istilah-istilah tersebut, yang akhirnya ide/ gagasan menjadi buyar. Renungan terhadap pola hidup dan keutamaan ketenangan (baca: kontemplatif) akan meluap dan terbang tinggi. Meskipun saya selalu teringat apa yang disampaikan mbah Google, bahwa puisi yang baik antara lain pemilihan judul yang menarik, pemilihan kata/diksi yang digunakan tepat, adanya penggunaan majas/ metafora (gaya bahasa), dan sebagainya.
xii/.
Proses, Proses, Proses
Kegembiraan pertama bagi seorang penulis ialah saat ide/ gagasan melahirkan karya. Kita kesampingkan sejenak tentang kualitas. Biarkan karya itu bicara sendiri kepada pembacanya. Yang penting kita sudah tahu maksud dari tulisan. Meskipun dalam rentang waktu tertentu kita tak lagi dapat menjelaskan apa yang pernah kita tulis. Kegembiraan kedua, ialah menjadikan diri kita sebagai seorang penyunting abadi bagi karya kita. Menyiapkan naskah yang siap cetak dengan memperhatikan sistematika penyajian isi, dan bahasa. Untuk yang kedua ini tak sepenuhnya saya lakukan. Sebelum masuk proses cetak, buku puisi saya berjudul “Suara Suara” (1985), “Dunia di Persimpangan Jalan” (1989), dan “Bayangan” (1996), sepenuhnya saya serahkan pada teman-teman untuk mengkurasi. Meskipun tidak maksimal, namun hasilnya lumayan bagus. Puisi tanpa enjambemen. Puisi tanpa perubahan kalimat. Tata letaknya indah. Artinya, ini sesuai dengan naskah dasar saya dalam bentuk manuskrip. Kurator yang baik, menurut saya tentulah yang dapat mencari kelemahan dan menjelaskan atas karya yang dikurasinya.
xiii/.
Biarkan pembaca menilai isi puisi. Sedikit cacat pada tubuh puisi, maka gagallah ruh pada puisi itu.
xiv/.
Sesuatu yang membuat saya miris pernah terjadi saat antologi puisi saya “Prosa Pagi Hari” (1995), “Apologia” (2013) dan “Pilihan Kata Serpihan Kata” (2016) terbit. Terjadi kesalahan kalimat di tubuh puisi. Huruf banyak yang raib. Enjambemen diluar teks asli, dimana saat buku sudah tercetak; sangat berbeda dengan yang dikirim melalui foto copy dan pdf. Saya hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala.
xv/.
Kelahiran “Bibir Dalam Jas Hujan”
Sejak adanya facebook, keseharian saya terasa indah. Facebook bagaikan seorang kekasih. Sejak bangun tidur hingga kembali beranjak tidur. Handphone tak pernah jauh. Selain rutin membuka grup whatShapp-facebook bagian benda terpenting yang saya manfaatkan. Begitulah, keseharianku banyak ditemani puisi. Ada doa di sana. Dunia bagaikan hamparan laut luas dengan debur ombak dan angin mendayu. Jika ada penikmat gadget alergi dengan postingan puisi, maka mungkin saya bagian dari alergi itu. Hampir setiap hari saya menulis puisi. Jika dulu menulis puisi melalui mesin tik, maka kini puisi dapat ditulis di facebook, di antara-hiruk pikuk kehidupan keseharian.
Hasrat menerbitkan buku puisi selalu ada. Terkadang bingung bagaimana membaca ulang serta menggabungkan puisi-puisi yang sudah di posting di facebook. Komputer/ laptop ialah bagian dari alat untuk bekerja. Meskipun saya termasuk yang gagap teknologi, namun untuk alat berjenis komputer/ laptop ini wajib saya kuasai, meskipun harus tanya dengan ahlinya.
Saya buka halaman ‘beranda’ di facebook. Setelah membaca postingan puisi, puisi pun saya copy paste. Saya pindahkan puisi-puisi tersebut dan saya kumpulkan dalam satu file. Dan selanjutnya saya lakukan editing. Tambah kata, buang kata, ganti kata yang sesuai, selaraskan dengan tanda baca, dan sebagainya. Yang tetap stabil mungkin hanya tanggal penulisan.
Pertanyaannya, kenapa puisi mesti di reka ulang?
Bahwa saya mesti berani mengkritisi karya sendiri. Apakah akan ada perubahan yang signifikan? Tidak juga. Gambaran suasana malam di tepi laut dengan suara angin, ombak dan bisik pepohonan tak akan hilang hanya gara-gara lampu-lampu jalanan mati, hanya karena pesawat terbang lewat di atas laut. Puisi mesti punya pondasi bernama kata-kata, tema, gaya hingga majas. Meskipun kenyataannya saya belum mampu merevisi puisi saya dengan sempurna.
Bayangan untuk menerbitkan kumpulan puisi akan selalu muncul seiring waktu. Namun, terkadang bayangan itu menghilang ketika dihadapkan pada kualitas puisi. Bukan hanya puisi yang berkualitas, tapi juga jumlah puisi dengan tema yang ada kemiripan. Dan, ketika tema dapat disatukan, permasalahan lain ialah memberi judul. Kesulitan memberi judul akan selalu ada. Dan, ini sangat manusiawi. Sejumlah permasalahan pernah saya alami tatkala menyiapkan buku “Bibir dalam Jas Hujan” (2019), yang keseluruhan puisi-puisi dimaksud saya ambil dari facebook.
Judul buku puisi “Bibir dalam Jas Hujan” dipengaruhi judul cerita pendek karya Hamsad Rangkuti, “Bibir Dalam Pispot”. Terkesan apa yang saya lakukan mengada-ada dan kurang kreatif. Namun saya suka dengan pilihan itu. Ada semacam gaya keremajaan dan keromantisan di beberapa tubuh puisi. Seperti juga buku puisi saya terdahulu, “Prosa Pagi Hari” – dalam buku ini di setiap puisi ditulis tanggal penciptaan yakni mulai tanggal 1 Juni 2017 (baca puisi “Buah Tak Jauh Jatuh dari Tangkainya”), hingga tanggal 27 Maret 2018 (baca puisi “Takhluk”). 103 puisi lain saya tulis dalam tenggat sekitar 8 bulan. Produktifitas yang mungkin berlebihan. Sangat berbeda dengan, umpamanya Chairil Anwar yang untuk melahirkan satu puisi mesti berpetualang. Dan kurasi selanjutnya saya serahkan pada Humam S. Chudori, penulis cerita novel/ cerita pendek yang sudah berpengalaman. Beliau juga yang memediasi penerbitan buku “Bibir dalam Jas Hujan” ke penerbit Kosa Kata Kita.
Kurniawan Junaedhie, selaku Supervisi Penerbitan KKK bukan nama asing di jagat sastra Indonesia. Selain menerbitkan karya sastra dan pendiri/ wartawan beberapa majalah; kepiawaiannya dalam memuaskan pelanggan, juga tak diragukan lagi.
xvi/.
Minggu pertama di bulan Juli 2018 terjadi komunikasi via WhatShapp antara saya, Humam dan Kurniawan Junaedhi, yang kemudian dilanjutkan kopi darat di sebuah café di daerah Bumi Serpong Damai. Hadir juga penyair Pudwianto Arisanto. Kopi, teh, nasgor dan migor menemani kami. Seorang wanita berumur sekitar 30 tahun memperkenalkan namanya. Wanita misterius yang spontan menyanjung-nyanjung nama Presiden setiap kali menyampaikan narasinya. Seorang wanita yang kemudian menginginkan buku karya saya.
Sepanjang bulan Juli 2018, kehadiran buku “Bibir dalam Jas Hujan” di antara beberapa penulis; saya rasakan seperti cemilan yang renyah yang saya kirim melalui delivery. Puisi dengan kategori remaja yang bicara keseharian. Sebagian puisi bicara mengenai ruh dan hati. Ada beberapa pendapat p asca terbitnya buku ini, sebagaimana uraian di bawah.
Sofyan RH Zaid, Penyair dan pengelola sebuah majalah online, di status facebook-nya mengungkapkan, “Engkau hanya jasad bagi ruhku yang tersesat!” (mengutip bait puisi “Kata Sambut”, hal. 81). Sementara Alex R. Nainggolan, PNS merangkap Penyair, tergoda pada puisi berjudul “Kegembiraan yang Sederhana” (hal. 12). “aku membayangkan sebuah kegembiraan yang sederhana/ tak pernah ku berpikir: hujan turun, jalanan becek, maut menyapa/ sebab hanya reruntuhan kata-kata dan doa-doa yang keluar dari detak jiwa, mengiringi malamku” (bait ke-3).
Eko Windarto, Penyair asal Malang terpikat pada puisi berjudul “Doa”.
sebuah doa tertulis di kertas
tergeletak di ruang tak berpenghuni
tulisannya kabur, ada bercak darah
tak seorang pun menorehnya
setiap malam, kertas membuka halamannya
melampiaskan aroma mawar
katakan Tuhan, isyarat apa yang Kau berikan
hingga aku ingin membacanya
di ruang tak berpenghuni
lelaki sendiri menangisi hidup
ada airmata jatuh di atas sajadah
26/06/2017
Catatan terpenting lain dari Eko Windarto, ia sampaikan “Penyair adalah orang yang mengabarkan gagasan melalui puisi. Penyair juga sebagai pencipta sekaligus pelaras ide Bahasa. Penyair telah lebih dulu membahasakan sejarah atau tentang kenangan masa lampau menjadi teks-teks sastra. Penyair juga mencatat dan mencatut kegelisahan dalam dirinya sendiri.”
Puisi-puisi yang termuat dalam buku “Bibir dalam Jas Hujan” secara umum biasa saja, baik dari temanya, pilihan katanya maupun tifografinya. Puisi-puisi ditulis saat waktu luang, di tengah kesibukan pekerjaan. Puisi hanya sebuah status yang terpampang di beranda facebook, di mana setiap orang yang membacanya berhak untuk meng-like, atau memberi komentar lainnya. Kalimat dalam puisi menjadi renyah dalam keterbatasan bacaan serta literature yang saya miliki. Sekali-kali muncul kalimat romantik, tapi tak jarang hadir kalimat yang njelimet.
Teti Wiradinata, ibu rumah tangga dan Pengelola Café Guitar Freaks di bilangan Cilandak, mengirim tulisan melalui whatshapp. Katanya, ia merasa terharu saat membaca sebagian puisi dalam buku “Bibir dalam Jas Hujan” – hingga menyeretnya untuk terus membaca dan menuntaskannya.
Jika Eko Windarto memilih puisi “Doa” sebagai puisi yang dibahasnya. Maka, beda dengan Sugiono MP (Penulis Otobiografi) dan Isson Khairul (Jurnalis/ Wartawan). Sugiono memilih serta menafsirkan puisi “Bibir dalam Hujan” (hal. 57) sebagai sebuah kenyataan riil. Sebagai adonan diksi yang liris romantik. Saya katakan, puisi ini ada karena simbol kepedihan.
BIBIR DALAM JAS HUJAN
bibirmu yang terkatup saat hujan lebat
mengingatkan aku pada kesedihan yang panjang
bus antarkota yang sesak oleh penumpang, diam-diam
membawamu dalam tangis dan kecemasan
aku memandangmu bagai wortel yang terbelah,
tanpa darah
“Siapa korban dari sebilah pisau yang tergeletak
di atas meja makan?” Takada! Sebab hanya sebuah
bibir yang terkatup, berlindung di balik jas hujan
hanya sebuah novel yang tak terbaca,
yang tumbuh dari cerita lama. Mungkin!
sebab hujan telah sampai ke tubuhmu
25/11/2017
Di revisi bulan April 2022
Menarik sekali tulisan Isson Khairul berjudul “Tarian Puisi Di Halte Bus”, yang terinspirasi dari judul puisi “Ada Puisi di Jantung Halte” (hal. 93). Tulisnya, “Di tangan penyair, halte menjadi puisi. Kenapa? Karena sebagai tempat singgah, halte tak hanya dimaknai sebagai tempat. Bukan hanya sebagai lokasi untuk janjian. Tapi, ada beragam percakapan hidup, berlangsung di sana. Antara mereka yang sudah saling mengenal, dengan mereka yang sebelumnya tidak saling kenal.”
ADA PUISI DI JANTUNG HALTE
nuyang bernyanyi sepi di jantung halte
rona wajahnya mengingatkan kota yang riuh
tapi siapa membawamu ke sini? Sepenggal milor,
sepercik nasi, kau santap habis Bersama senyum retno,
uche berdehem
segelas kopi tak habis-habis di atas meja
tapi puisi masih menari-nari di jantung halte
tersaji Bersama ubi cilembu. Ada apa dengan puisi esai?
saut si gimbal tergesa-gesa berdiri, dan duduk. Narudin?
wow, pituin masih on the way. Ada arief, juga emi
ada apa dengan larik? Nuyang gelisah oleh tubuh gemuknya
semoga kita sampai di whatshapp. Tapi siapa menari-nari
di jantung halte?
19/02/2018
Di revisi tanggal 04/12/2021
Muklis Puna (Banda Aceh), melalui Sastrapuna.com mencatat:
“Walaupun berbentuk naratif, tampak sekali penyair tidak dibebani oleh apapun dalam menuangkan idenya. Diksi – diksi dipilih sangat sederhana. Setiap sajian puisinya hampir tidak menyisakan pertanyaan besar” Apa maksudnya ini? Penyair begitu transparan dalam bertutur tanpa mengerutkan jidat para pembaca. Penulis menduga, mungkin penyair mencoba keluar dari sebuah pasungan yang mengekang kehidupan dan kemerdekaan dalam menulis puisi. Mungkin juga ini dipengaruhi oleh jam terbang penyair yang begitu padat, sehingga pengalaman sebagai penyair nasional yang melanglang buana dalam sastra Indonesia.
Hemat penulis, di Indonesia penyair seperti ini merupakan orang hebat dan berani mentransformasikan kebiasaan menuangkan ide dalam bentuk puisi biasa menjadi luar biasa.”
xvii/.
Penutup
Pengantar ini merupakan jejak-jejak kepenyairan saya, yang sesungguhnya sudah saya lakoni sejak tahun 1979. Sebagai orang biasa yang mencintai sastra, puisi khususnya, tentunya saya mesti berterima kasih pada para sastrawan/ seniman yang memberi spirit lewat tulisannya sehingga selalu timbul rangsangan untuk terus menulis. Terima kasih buat Eddy Pramduane, Eki Thadan, Guntoro Sulung, Humam S. Chudori, Jose Rizal Manua, Omni S. Koesnadi dan Wig SM. Khusus kepada Isbedy Stiawan ZS, Paus Sastrawan Lampung, yang senantiasa menginspirasi serta selalu optimis menatap masa depan. Puluhan tahun kami berteman, dan selama puluhan tahun itu pula komunikasi tak pernah terputus. Bahkan, kelahiran buku “75 Sajak” (Siger Publisher, Bandar Lampung, Maret 2022), terjadi juga karena tangan dinginnya. Hingga terbitnya antologi “75 Sajak” itu banyak diminati pembacanya. Selain ada endors Humam S. Chudori, Omni S. Koesnadi dan Wig SM, buku ini di resensi Alex R. Nainggolan di koran Jawa Pos. Ulasan lain muncul dari Piet Yuliakhansa di inilampung.com.
Semoga buku “60 Sajak Pilihan” ini diminati pembacanya.