Penyatuan Diri Seorang Penyair Pada Kata

Oleh Nana Sastrawan[1]

Puisi dan penyair tidak dapat dipisahkan. Puisi akan hadir, kemudian hidup pada kegelisahan penyairnya. Begitu pun penyair akan lahir dari puisi-puisi yang dapat menghidupkan jiwanya. Sebab puisi, menjadi ilustrasi pikiran, gerak dan laku dari penyair itu sendiri. Tentu saja, perjalanan mencapai titik penciptaan puisi yang seperti itu bukan ‘flat’ melainkan memerlukan perjalanan yang terjal, mendaki, berkelok-kelok dan sebagainya. Maka, penyair tidak seharusnya menyerah pada kenyataan hidup. Penyair dapat melampaui ‘batas’ pada pikirannya.

Puisi-puisi karya Enthieh Mudakir dalam buku ini tidak menunjukkan kelemahan sikap pada kehidupan, melainkan setiap puisi-puisinya terbaca semacam dialog antara pikirannya, kenyataannya, dan sikap religiusitas. Ia menyatu pada setiap puisi yang diciptakan; pengalaman lahir dan batin yang akhirnya bermuara pada sikap ketegaran meskipun dihantam badai kebudayaan modern dan topan filsafat. Beberapa puisinya pun menunjukkan hubungan penyair dan lingkungan kesenian yang heterogen.

Yang menarik bagi saya; puisi-puisinya sebagian besar memberikan tanda pencapaian ‘religius’ dalam dirinya. Jalan kesufian yang bisa jadi terbentuk dari perjalanan panjangnya menempuh kehidupan ini. Kesadaran diri; raga dan jiwa pada puisi-puisinya ini membuka pintu kemanusiaannya. Menyadarkan pada setiap mahkluk bahwa segalanya akan masuk ke ruang yang paling dalam dan gelap tanpa ada siapapun menemani. Di sinilah kejujuran puisinya termaknai.

Semakin saya baca puisi-puisinya, semakin saya memahami bahwa puisi bagi Enthieh Mudakir adalah sebuah zat yang abadi, bisa jadi itu adalah Tuhan. Atau bisa jadi, puisi-puisinya adalah norma, agama, hukum yang hidup dan dihidupkan.

Puisi memang cenderung muncul dari kepribadian penyair; yang terasakan maupun yang terpendam. Akan tetapi, puisi tidak ditulis sendirian, sebab puisi adalah makhluk gaib, karena itu ada tangan gaib yang ikut andil dalam menuliskannya. Meskipun penyair berupaya meraih kata-kata semaksimal mungkin pada pencapaian estetik bahasa, tanpa pengalaman batin yang matang, kata-kata tidak akan mendapatkan ‘ruh’. Itulah satu di antara kegaiban puisi.

Kegaiban yang lainnya berupa ‘kegelisahan’ pikir pada penyairnya, ketika ia menemukan satu kata atau satu peristiwa, maka kata itu semakin beranak-pinak menjadi puisi-puisi, naskah-naskah lainnya dan buku-buku. Tidak heran jika penyair semakin menulis puisi semakin dalam dan semakin lama, ia akan merasakan puisi itu menyatu ke dalam diri, ke dalam tubuhnya. Itu pun sepertinya dirasakan oleh Enthieh dalam puisi ‘Tubuh’.

Tubuhku
Bersenggama
Mencari pasangan
Pada tubuhku sendiri

Lahirlah anak-anak nurani
Malam begini bening
Cemas belum menyerah
Angin perlawanan
Koor zaman
Anjing ingin pulang
Dua belas jam berikut ini:
Siapa berlari sekejap tadi
Ayat-ayat meriwayatkan

Di bait awal ia sudah menjelaskan puisi-puisi dengan disimbolkan kata ‘tubuh’ yang ia ciptakan saling terikat, kawin, mengawini lalu lahir anak-anak nurani yang dapat ditelusuri dengan karya-karyanya pada buku-buku yang telah ia terbitkan seperti Malam Begini Bening, Cemas Belum Menyerah, Angin Perlawanan, Koor Zaman, Anjing Ingin Pulang, Dua Belas Jam Berikut Ini, Siapa Berlari Sekejap Tadi, Ayat-Ayat Meriwayatkan.

Maka pada tahun 2023, saya dapat mengilustrasikan setelah membaca puisi-puisinya, buku yang berjudul ‘Situs Kata’ ini memiliki tiga konsep kelahiran (1) pikiran (2) pengalaman (3) budi. Ketiga konsep kelahiran ini disadari akan mengakar dan mengabadi meskipun sudah tutup usia, mereka akan menjadi situs atau monumen-monumen sakral berupa kata (puisi) dalam buku ini.

Penyatuan diri pada kata yang dirasakan Enthieh Mudakir, bisa saja ‘seperti’ peristiwa Syekh Siti Jenar yang menemukan konsep penyatuan diri dengan Tuhan. Meskipun tetap berbeda ‘ruang’ dan ‘pembahasan’. Yang saya garis bawahi adalah ‘proses’ penyatuan diri Enthieh dengan kata. Saya menyakini, seorang penyair dalam menulis puisi tidak ‘mencuri kata’ tapi ‘menemukan kata’ sehingga ia memahami betul makna-makna kata. Menemukan kata, yang paling magis adalah melakoni, yang telah saya ungkap di atas tentang tiga konsep kelahiran puisi-puisi dalam buku ini.

Maka tidak heran jika lahir puisi ‘Situs Kata’ yang pada akhir lariknya: Bila atas nama /Pohon, ranting serta daunnya/Buahnya puisi. Jadi puisi, adalah ‘buah’ hasil dari proses penyatuan diri seorang Enthieh Mudakir pada kata.

Kepekaan penyair pada kehidupan sosial, politik, ekonomi, agama dan lainnya yang terjadi di lingkungan dirinya menjadi hal yang menarik bagi saya. Sebab, dari puisi-puisinya yang bernapaskan atau bertemakan itu, terasa sekali kejujuran penyair dalam menyampaikannya. Ya, meskipun puisi-puisi yang bertemakan itu bukan suatu hal yang baru di dunia kepenyairan Indonesia, akan tetapi dengan nilai kejujuran yang dalam maka akan selalu bertemu dengan kesegaran pada puisi-puisi yang bertemakan serupa.

Tanpa sikap yang jujur, penyair akan goyah, terombang-ambing dan jatuh pada lubang ‘kepenatan’ belaka, sehingga puisi-puisi yang tercipta hanyalah unek-unek yang sia-sia.

Pada puisi ‘di Meja Makan; ia menggambarkan bagaimana peristiwa politik pasca reformasi, terutama pada peristiwa-peristiwa pemilihan umum di negeri ini.

Sepenggal kepala kambing di
meja makan
Di santap di antara kawan
lawan politik
Suka dan tidak suka bertawar
keharusan
Api sekam di satu lubang ke
dalam rantang
di dalam tungku saling
bertukar

Perhelatan boleh dimulai
Di pintu masuk kota gambar
berterbangan
Pasangan calon pamer
Pendampingan
Lumrahnya harapan kepada
pandangan
Waktunya sibuk menjadwalkan
adu pinalti
Ada yang bersembunyi
menyarungkan belati
Ada yang terang-benderang
menyebar uang

Aku bersama anak kampung
yang tidak mengerti
Sambil menyeduh kopi
Membaca janji
Pelakor mahar kesohor
Atau gagalnya independensi
gagalnya tradisi kami

Sejurus,
Digerus pilihan
Ideologi identitas
Tak henti dikayuh
Derasnya gerimis, sampai
Hujan deras!

Puisi ini menghadirkan tatanan masyarakat yang ramah, tentram dan damai mendadak porak-poranda ketika munculnya pemilihan wakil rakyat atau presiden. Pada larik Ada yang bersembunyi/menyarungkan belati/Ada yang terang-benderang/menyebar uang. Menunjukkan kepekaan penyair; merekam peristiwa, menganalisa, kemudian diungkapkan sebagai pengingat dan harapan bahwa hal-hal semacam itu dalam akan merusak kehidupan bermasyarakat di suatu daerah.

Inilah kejujuran penyair yang tidak berputar-putar pada pikirannya saja, namun mengungkapkan peristiwa yang nyata sehingga tidak terjebak pada kekerdilan kenyataan empiris dalam kehidupannya sehari-hari. Sikap kejujuran dalam diri penyair juga akan membentuk kedewasaan dalam gaya pengucapan puisi-puisinya.

Begitulah kiranya pengantar yang saya tulis ini, sebagai pintu gerbang memasuki puisi-puisi Enthieh Mudakir dalam buku ‘Situs Kata’. Saya tidak ingin terlalu banyak ‘mengoceh’ yang mengakibatkan tidak produktifnya pembaca untuk menggali setiap puisi-puisi yang tercipta, dan tentu saja setiap pembaca akan menemukan isi, atau pemaknaan yang berbeda dalam buku ini.

Sebagai penutup, kiranya puisi ‘Ulat Menjelma Kupu-Kupu’ karya Enthieh Mudakir dapat kita renungkan bersama, sebagai sesama manusia :

/1/
Dari ulat menjelma kepompong
lahirlah kupu-kupu ruh ditiupkan
bersama angin. Diterbangkan

Tertulis kepada nasib sendiri hanya
dua kali dua puluh empat jam
percaya bahwa hidup bukan keputusan
pemilik tubuh. Ada pihak lain yang
berkuasa atas dirinya tanpa bisa
kompromi

Lahir, hidup, mati. Kata bilangan
yang harus diurai secara langsung
maupun tidak langsung. Serupa
lebar kali panjang kali
tinggi
sama dengan luas. Satu utuh tidak
terbagi

/2/
Kita adalah kisah ditentukan oleh teks
waktu. Sebagaimana kehendak angin
yang menggoyangkan daun. Pada
ketetapan runduk. Mengubah mega
gelap menjadi terang. Melakonkan
isian kotak catur. Maha luas dinding
semesta untuk dicerna. Manusia
melukiskan akhir ceritanya sendiri

Demikian cerita ulat menjelma
kupu-kupu. Manusia dipaksa
istiqomah setelah kesaksiannya
dipertanyakan. Apakah kita abadi atau
cuma menggeser waktu. Ketika
diammu adalah gerak. Gerakkanmu
menjaga irama, dentang itu skala!

Selamat membaca dan menyatu bersama puisi.

Desember 2023

[1] Peraih Penghargaan Acarya Sastra IV Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2015.

dewabuku

all author posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are makes.