Dulce et utile. Istilah ini dicetuskan sekian abad lalu oleh seorang penyair tersohor, Quintus Horatius Flaccus, yang biasa dipanggil Horatius. Dilihat dari konstruksi redaksionalnya, pernyataan itu amat singkat, tetapi sarat makna. Istilah ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan teori dan kritik sastra. Tidak mengherankan jika hingga saat ini para kritiskus, tentu saja dengan intensitas beragam, masih banyak yang setia menggunakannya untuk memberi ciri dan mengukur kualitas suatu karya sastra.
Dulce berarti menyenangkan, sedangkan utile berarti bermanfaat. Suatu karya dianggap bernilai sastra jika menyenangkan bagi penikmatnya. Dari aspek apa sastra itu dianggap menyenangkan? Kepiawaian dalam penataan bahasa, struktur, dan gagasan dalam membangun puitik sastra, di situlah keindahan bersarang. Keindahan itu tentu bukanlah ruang kosong, tetapi berisi muatan yang menerbitkan manfaat bagi penikmatnya. Itulah sebabnya, keindahan dan kemanfaatan merupakan komposit pembangun karya sastra.
Kesadaran tentang adanya keindahan dan kemanfaatan dalam karya sastra merupakan gejala yang universal. Bahkan, bagi nenek moyang kita, kesadaran itu seolah sudah menjadi bagian hidupnya. Mereka memanfaatkan sastra sebagai instrumen kehidupan—sastra sebagai salah satu sumber kebenaran, di samping sumber kebenaran agama, filsafat, dan ilmu. Jejak-jejak kesadaran itu masih dapat kita telusuri, misalnya ketika akan menabur benih, menebang pohon, menaklukkan binatang buas, atau memikat lawan jenis, mereka memanfaatkan sastra dalam bentuk mantra sebagai sarana transendensi dengan Yang Maha Gaib; ketika akan menidurkan anak, menanamkan nilai-nilai karakter, mewariskan nilai-nilai budaya, mereka memanfaatkan sastra dalam bentuk cerita; ketika melakukan peminangan untuk meneruskan garis keturunan, melakukan interaksi sosial, mereka memanfaatkan pantun sebagai sarana komunikasi berbudi.
Jejak-jejak sastra yang mereka gunakan itu mengandung keindahan dan nilai yang luar biasa. Seorang mahaguru teori sastra dari Belanda, A. Teeuw, menyatakan bahwa dalam sastra lama di Indonesia tersimpan kekayaan sastra yang luar biasa. Kekayaan sastra itu masih tetap relevan bagi manusia Indonesia modern, asal manusia Indonesia berusaha untuk mewujudkan hakikat dirinya sendiri sedemikian rupa sehingga sekarang pun, untuk manusia modern, ciptaan itu tetap mempunyai nilai dan fungsi—asal dia bersedia berusaha untuk merebut maknanya bagi dia sendiri sebagai manusia modern.
Tesis di atas telah dibuktikan kebenarannya oleh sejumlah sastrawan tanah air, termasuk oleh Iberamsyah Barbary. Dia adalah sastrawan asal Kalimantan Selatan yang sudah menghasilkan sejumlah karya sastra berbasis estetika puitika pantun. Sejumlah buku itu adalah Serumpun Pantun Kehidupan, Membuka Jendela Pantun Kehidupan, Riung Negeri Banjar. Buku di hadapan pembaca yang berjudul Membaca Nusantara Lewat Sastra ini juga merupakan buku sastra dengan memanfaatkan keindahan pantun.
Dalam buku ini pembaca disuguhi keelokan bait-bait pantun melalui tokoh guru dan siswa yang sedang baturai pantun. Bait-bait pantun yang dibangun oleh rima berpeluk, sampiran dan isi yang saling berkait membentuk puitika pantun yang sangat memikat. Bait-bait pantun yang indah itu menyuguhkan makna tentang keelokan lanskap alam dan rasa nusantara. Keelokan sungai, gunung, dan danau yang terhampar di zamrud khatulistiwa terbayang pada bait-bait pantun. Keragaman kuliner nusantara dan kelezatan rasanya juga tersaji secara apik dalam sederet pantun. Jika menelusuri bait demi bait pantun yang tersaji dalam buku ini, pembaca tentu sepakat bahwa karya ini memiliki kadar dulce et utile.
Ulasan
Belum ada ulasan.