Jika saya tidur, saya tak akan menemukan puisi dalam tidur saya. Yang saya temukan, mungkin hanya mimpi. Dan, jika saya terbangun, saya akan merekam mimpi-mimpi itu. Tapi tak semua mimpi dapat terekam. Kata orang tua, mimpi hanyalah bunga tidur. Mimpi semacam cahaya yang berkelebat, bagai bayang-bayang, dan kemudian menghilang.
Kalau saya terbangun dari tidur dengan kondisi tubuh dan imun yang baik, maka akan timbul rangsangan untuk menulis. Bisa saja yang ada di kepala saya hanya puisi. Maka wajar kalau kata-kata yang berseliweran (bagai kepulan asap) tersebut mengganggu otak. Saya ingat, salah satu keberhasilan seorang penyair diantaranya mau membaca karya puisi yang dianggapnya baik. Dan, tentunya juga membaca buku-buku diluar sastra (ungkapan HB Jassin yang saya ingat). Yang terpikir adalah sebuah pilihan kata yang tepat sehingga diperoleh gagasan yang dapat menyenangkan pembaca atau pendengarnya. Tapi sekali lagi, jangan lupakan pilihan kata (diksi) serta rangkaian kalimat (metafora). Oleh karena puisi bukan prosa, maka mungkin terasa keasikkan jika sedang menguntai atau memantik kalimat. Seringkali terjadi pelanggaran atas larik saat menulis. Secara sintaksis satu kata/ kalimat melompat. Dalam arti terjebak pada istilah enjambemen (konon berasal dari Bahasa Perancis). Sesuatu yang mungkin lumrah terjadi.
Ulasan
Belum ada ulasan.