Puisi-puisi panjang Candrika cenderung bergaya naratif. Misalnya dalam Pseudo Orang Kesepian, saya dibawa ke dalam ‘perayaan’ yang aneh: merayakan hidup yang indah dengan bunuh diri. Lalu Cerita Merah, tentang malaikat berjubah api yang menjual ayat-ayat. Misal Kita Hanya Puing, tentang percakapan—entah dengan siapa—di hari akhir. Dunia Tahun 2999 M, tentang kondisi manusia dalam bumi yang sekarat. Selain bergaya naratif, saya pun menemukan beberapa puisi yang nampaknya sedikit terinspirasi oleh lagu, misalnya di puisi ‘Warna-Warni’ yang terinspirasi oleh album ‘Sinestesia’ karya Efek Rumah Kaca.
(Arip Hidayat, M.Pd — Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan)
Pertanyaan-pertanyaan simbolis dari beberapa puisi Misal Kita Hanya Puing mengingatkan kita pada dongeng purba masa kanak-kanak. Seperti mitos yang diwariskan Homer selama berabad-abad, yang hingga kini masih mengusik malam-malam kita yang lelap. Saya curiga, pencapaian penyair memang bukanlah jawaban dari pertanyaan itu sendiri, melainkan pertanyaan yang melahirkan pertanyaan lagi, dan lagi. Di titik ini, penyair senantiasa gelisah. Senantiasa mencari dan tak puas diri. Senantiasa meletakkan segala sesuatunya sebagai pertanyaan yang kunjung usai. Sehingga, disadari atau tidak, beginilah cara kerja puisi: Tidak serta-merta berhenti pada hitam-putih, benar-salah, baik-buruk, dan kepingan moralitas lainnya. Sejujurnya, puisi adalah upaya membukakan jalan tanpa memberikan petunjuk jalan. Membiarkan para pembaca itu tersesat atau selamat sampai tujuan. Dalam proses perjalanan itu ada pencarian untuk mengenali diri sendiri. Lebih dari itu, puisi menembus kesadaran ontologis untuk melihat manusia dalam definisinya yang paling substansif, paling hakiki.
(Nissa Rengganis — Penyair)
Ulasan
Belum ada ulasan.