PENGANTAR: RIWAYAT SEBUAH KAMUS
Sejak terbitnya Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia (Jakarta: Grasindo, 1997, xviii + 346 halaman) yang disusun Maman S Mahayana, Nuradji, Totok Suhardiyanto sampai kini (2022), perubahan besar telah terjadi dalam kehidupan sosial, politik, budaya di Indonesia. Lengsernya Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama lebih dari 32 tahun yang kemudian digantikan B.J. Habibie, kemudian Gus Dur (Abdurrahman Wahid), Megawati Soekarnoputri, hingga dua tahapan pilihan presiden secara langsung yang memunculkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memenangkan pemilihan presiden dua kali berturut-turut, dan berikutnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi—yang memasuki akhir periode kedua masa jabatannya), ingar-bingar kehidupan bangsa Indonesia, secara signifikan telah mempengaruhi cara pandang, sikap hidup, perilaku, dan saluran komunikasi masyarakat.
Euforia politik sungguh dahsyat pengaruhnya terhadap tatanan kehidupan bangsa ini. Perubahan zaman dengan ditemukannya ponsel pintar—smart-phone— dan kemajuan dunia digital, lebih dahsyat lagi mengubah banyak hal dalam perilaku dan perikehidupan sehari-hari. Sejumlah pekerjaan dan bidang usaha, tergusur, tersisih, bahkan secara meyakinkan, lenyap begitu saja. Coba saja cari, di manakah kita dapat menemukan telepon umum yang lazim bertengger di pinggir jalan atau nyempil di pojok-pojok pertokoan? Kini orang tak ada lagi yang antre di wartel atau warnet— yang lenyap begitu cepat, sekadar untuk mengontak kawan di luar kota atau kirim e-mail.
Tidak begitu lama setelah itu, generasi kelahiran akhir dasarwasa 1940-an atau awal 1960-an yang berjuang keras bekerja sebagai penulis lepas, juga tidak perlu lagi repot-repot pergi ke kantor pos menukarkan kertas wesel berwarna buram jika esai atau artikelnya dimuat di surat kabar atau majalah. Atau, jika para penulis lepas itu tinggal di satu kota dengan surat kabar atau majalah yang memuat tulisannya, mereka tidak harus antre di depan loket bagian keuangan media massa itu untuk menagih honorariumnya. Cukup duduk manis di rumah dan tiba-tiba ada transfer masuk ke nomor rekeningnya.
Tetapi kini, segalanya telah berubah! Ya. Surat kabar yang mula dikenal masyarakat kita lebih dari 150 tahun yang lalu dan punya peranan penting dalam perjalanan bangsa Indonesia, kini bagai kerakap tumbuh di batu. Banyak di antara mereka bertumbangan! Lapak atau loper koran, secara meyakinkan, pelan-pelan tenggelam. Para wartawan yang dulu disebut kuli tinta, lalu berganti menjadi kuli disket, sebagian ikut tenggelam, sebagian lagi bertahan dan coba menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Tidak ada lagi persaingan—yang sehat dan tak sehat; tak terjadi pula peristiwa bajak-membajak antarmedia. Yang membuat agak berduka: tidak ada lagi semangat para wartawan melahirkan berbagai istilah, ungkapan atau sebutan-sebutan provokatif dan hiperbolis, bahkan juga bombastis. Ekspresi mereka sesungguhnya menunjukkan kreativitasnya dalam mengolah dan memperkaya bahasa Indonesia; juga dalam menciptakan idiom atau ungkapan yang cerdas dan segar.
Bagaimana para pewarta itu mengolah dan menciptakan sebuah ungkapan yang maknanya tak ada hubungannya dengan kata-kata yang membentuknya? Sekadar contoh, misalnya, ungkapan kuda hitam untuk menyebut tim olah raga (biasanya dalam sepak bola) yang dianggap lemah, tetapi dapat menjadi penghalang lawan-lawannya. Makna ungkapan itu, tidak ada hubungannya dengan kuda, tidak ada hubungannya pula dengan hitam. Dengan begitu, sebuah kata, ketika disandingkan dengan kata lain, lalu membentuk ungkapan, maknanya bisa sama sekali berbeda; sangat boleh jadi juga tidak ada hubungannya dengan makna leksikal kata yang bersangkutan.
Contoh lain, palang pintu untuk menyebut pemain sepak bola yang ditempatkan di posisi belakang dan bertugas menjaga pertahanan dari serangan pemain lawan. Dalam hal ini, pemain sepak bola dianalogikan sebagai papan pengunci pintu agar orang tidak dapat masuk. Dari permainan sepak bola saja, banyak ungkapan diciptakan, baik dalam bentuk analogi, personifikasi atau metafora. Kadang-kadang agak hiperbolis, tetapi tetap menarik dan sesuai dengan peristiwa yang terjadi dalam permainan sepak bola. Peluit panjang, hakim garis, kotak terlarang, tendangan pisang, sepak bola gajah, dan seterusnya adalah sejumlah ungkapan yang dihasilkan para jurnalis. Sebagai praktisi bahasa, mereka punya kesempatan untuk mempopulerkan berbagai ungkapan yang diciptakannya.
Sekarang arena persaingan para pewarta itu, lebih dari separohnya, direbut publik yang tidak perlu bersusah-payah belajar jurnalistik. Siapa pun, dapat menjadi pewarta lewat penayangan rekaman video di hape pintar, live streaming, youtube, instagram, Tweitter, WhatsApp, facebook, tik-tok, dan entah apa lagi yang berkelebatan di media sosial. Para jurnalistik serius dan profesional yang keras kepala dan keukeuh bertahan dengan idealismenya, tidak laku di pasaran. Mereka kalah berebut pasar oleh penggiat media sosial dan youtuber atau selegram yang di belakangnya ada puluhan atau ratusan ribu, bahkan jutaan followers, pengikut atau pembebeknya.
Para youtuber dan selegram itu, boleh jadi merasa tak perlu lagi berpikir keras mengemas informasi dan di dalamnya, sekalian memasukkan edukasi. Pokoknya, hiburan ringan, suka-suka, dan peduli hantu dengan edukasi! Yang penting, kita dapat menyihir para pengguna medsos, hingga mereka dengan riang gembira, rela meski sekadar menjadi bayang-bayang. Kesannya, ucapan (ringan) lebih disukai daripada tulisan (berat); mendengar lebih mudah dilakukan daripada membaca. Dapat dipahami jika sekarang banyak orang yang lantaran ucapannya, diadukan ke polisi dengan tuduhan melakukan ujaran kebencian, pembohongan publik atau penistaan. Ya, bagi sebagian besar mereka yang tidak terbiasa berpikir menulis, kadang kala ujaran keluar begitu saja, lepas kontrol, proses pemilihan kata tak sempat ditapis atau disaring, dan penyampaian kalimat sering kali asal jeplak, tanpa dipikirkan lebih dahulu! Akibatnya, ya itu tadi! Salah omong, salah ucap alias keseleo lidah!
Dalam konteks kehidupan kebahasaan yang berkaitan dengan kreativitas masyarakat pemakai bahasa Indonesia dalam melahirkan ungkapan-ungkapan bahasa Indonesia, kita nyaris tak lagi berjumpa berbagai ungkapan yang menggelitik dan segar yang dilahirkan para pewarta. Situasi persaingan untuk menyampaikan berita yang disajikan secara renyah, gurih, dan makjleb, seperti dilindas ingar-bingar dan kehebohan di dunia maya. Yang penting viral! Yang penting subscribe, like, share, dan seterusnya.
Apakah keadaan ini merupakan lampu kuning bagi kehidupan jurnalistik kita? Mungkin tidak! Tetapi, jika mencermati tayangan-tayangan di media sosial, rasanya: ya! Setidak-tidaknya, jika kita menggunakan perangkat aturan berbahasa, yaitu menganalisis simpang-siur—berikut hiruk-pikuknya para pengguna medsos alias netizen dalam (i) memperhatikan ketertiban berbahasa, (ii) menggunakan tanda baca yang sesuai aturan main, (iii) melakukan pilihan kata (diksi) secara cermat dan tepat, (iv) membuat analogi atau perbandingan yang sejalan dengan logika bahasa yang dipahami publik, dan (v) menyusun kalimat efektif yang tidak memberi peluang terjadinya salah tafsir, maka jawaban “Ya” tadi, rasanya benar-benar “Ya!”
Mengapa bisa terjadi begitu?
Yang paling tampak seketika adalah kecenderungan menggunakan gaya ujaran sebagai bahasa tulis. Seolah-olah bahasa tulis itu sama dengan orang omong! Oleh karena itu, selain tampak dari abainya mereka memanfaatkan tanda baca, juga kegemaran mereka memamerkan berbagai bentuk singkatan kata. Selebihnya adalah potret betapa buruknya penguasaan bahasa tulis sebagian (besar) masyarakat kita. Jadi, bagaimana mungkin mereka dapat memperkaya bahasa dan menciptakan berbagai ungkapan yang segar, cerdas, dan kreatif, jika keterampilan dasarnya saja amburadul.
***
Ungkapan-ungkapan yang dihimpun dan disusun dalam buku ini diambil dari berbagai sumber: kamus ungkapan, idiom, peribahasa, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sumber lain yang juga digunakan dalam mencatat ungkapan-ungkapan yang menjadi entri kamus ini adalah surat-surat kabar, majalah, dan segala macam ujaran lisan dan percakapan yang terjadi di ruang publik. Jika sebuah ungkapan dalam kalimat atau ujaran dengan satu makna tertentu muncul lebih dari sepuluh kali, maka ia akan dimasukkan sebagai bagian dari entri kamus ini. Sebutlah misalnya, ungkapan jembatan aborsi. Mula-mula ungkapan ini digunakan sebagai seloroh untuk menyebut jembatan penyeberangan orang yang berada di dekat Stasiun Universitas Indonesia yang dibangun di atas rel kereta api listrik.
Dari mana munculnya gagasan jembatan penyeberangan itu dihubungkan dengan aborsi? Ternyata, dari sejumlah keterangan mahasiswa yang sering pergi-pulang melewati jembatan itu, kata aborsi disematkan di sana, lantaran posisi tangga jembatan itu yang agak mendongak. Lalu, mereka membayangkan, jika ibu-ibu hamil melewati jembatan itu, sangat mungkin mereka akan keguguran mengingat bentuk undak-undakan tangganya yang mendongak tinggi. Oleh karena itu, jika seseorang hendak melakukan aborsi, tidak perlu jauh-jauh pergi ke dukun beranak. Cukup berjalan saja melewati jembatan itu, niscaya ia akan keguguran. Dari sanalah lalu muncul seloroh menyebut jembatan itu sebagai jembatan aborsi. Belakangan, setiap jembatan penyeberangan orang (JPO) di mana pun yang undak-undakan tangganya agak mendongak, disebut juga sebagai jembatan aborsi.
Berbagai ungkapan lain yang muncul di tengah masyarakat, ternyata juga tidak begitu saja dapat dilepaskan dari situasi sosial-budaya-politik yang terjadi dan yang melatarbelakanginya. Ungkapan-ungkapan yang muncul itu seolah-olah bertindak sebagai saksi bicara perihal sebab-musabab kelahirannya. Dengan begitu, berbagai ungkapan itu tidak hanya penting bagi pemerkayaan bahasa Indonesia, tetapi juga penting sebagai bagian dari potret sosial-budaya politik zamannya. Berbagai ungkapan itu tidak muncul secara serta-merta, melainkan hadir lantaran ada berbagai faktor sosial-budaya-politik yang menjadi sumber inspirasi kelahirannya. Atas pertimbangan itulah, usaha menginventarisasi dan mencatat ungkapan-ungkapan bahasa Indonesia yang muncul belakangan punya arti penting.
Sebut saja, misalnya, ungkapan polisi tidur ‘permukaan jalan yang sengaja ditinggikan sedikit menyerupai benjolan, agar para pemakai kendaraan bermotor yang melintasi jalan itu mengurangi laju kecepatan kendaraannya; tidak mengebut’. Apa hubungannya dengan polisi? Jawabannya tentu bermacam-macam. Tetapi selepas itu, muncul ungkapan polisi cepe ‘sebutan bagi para pengatur lalu lintas, di luar petugas resmi, yang biasanya beroperasi di perempatan atau pertigaan jalan’. Atas jasa mereka itu, para pemakai kendaraan bermotor, biasanya secara sukarela atau terpaksa, memberi uang logam recehan seratus atau dua ratus rupiah. Sebutan polisi cepe ini pada awalnya dinamai Pak Ogah, yaitu tokoh boneka dalam serial televisi Si Unyil. Karena tokoh ini biasanya meminta uang cepe (seratus) kepada tokoh-tokoh lainnya dalam cerita serial itu, maka ketika ada orang-orang tertentu yang seolah-olah berperilaku sama dengan tokoh Pak Ogah, masyarakat kemudian menamainya dengan sebutan Pak Ogah.
Belakangan, perilaku tokoh Pak Ogah itu, sepertinya banyak ditiru oleh mereka yang ‘bertugas sebagai pengatur lalu-lintas tidak resmi.’ Mengingat tindakan mereka kadang kala kasar, bahkan tidak jarang membentak dan memaksa, sebagaimana kebanyakan perilaku polisi di masa Orde Baru, masyarakat lalu menyebutnya dengan polisi cepe. Demikianlah, ungkapan polisi cepe secara etimologis dapat ditelusuri pembentukan dan pemaknaan katanya. Kehadiran ungkapan itu mempunyai ceritanya sendiri. Jika tidak segera dilakukan pencatatan, sangat mungkin kata itu akan hilang atau kalaupun tetap digunakan, orang akan bertanya-tanya, bagaimana mulanya hingga lahir ungkapan itu. Kini, uang cepe (seratus rupiah) tentu saja sudah tidak ada harganya. Maka kata cepe di sana, tentu juga sudah tidak relevan lagi. Tetapi persoalannya bukanlah pada relevan atau tidaknya ungkapan itu, melainkan bagaimana masyarakat pemakai bahasa dapat seenaknya membuat ungkapan yang dilahirkan berdasarkan konteks sosial yang terjadi pada zamannya.
Sebut juga, misalnya, ungkapan roman picisan. Lahirnya istilah atau ungkapan itu berdasarkan situasi yang terjadi pada zamannya, yaitu dasawarsa 1950-an. Kata picis berarti uang logam yang bernilai sepuluh sen atau disebut juga ketip (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, 2005, hlm. 870). Uang dengan nilai sen dan ketip, sekarang hilang ditelan zaman. Jadi, istilah atau ungkapan roman picisan ketika ungkapan itu lahir, bermakna sebagai roman atau novel yang harganya begitu murah, karena kualitas cetakan yang terkesan seadanya dan isi karya sastra itu tidak termasuk karya serius. Oleh karena itu, harganya sangat murah. Kini istilah roman picisan yang berkonotasi negatif, sudah tergantikan oleh roman (novel) populer yang lebih netral. Tetapi harganya tidak kalah dengan harga buku lainnya. Artinya, harga buku novel populer itu, tidak lagi murah. Bahkan, karena kualitas cetakannya bagus, harganya bisa lebih mahal dari buku novel serius. Meskipun begitu, istilah roman picisan, tokh masih digunakan ketika kita hendak menelusuri sejarah perjalanan novel populer di Indonesia.
Jika perekonomian bangsa ini sudah mencapai taraf yang stabil dan masyarakat tak perlu lagi mencari nafkah dengan cara seperti ‘polisi cepe’ itu, sangat mungkin ungkapan polisi cepe, tidak bakal digunakan lagi. Dengan demikian, sangat mungkin pula ungkapan itu akan hilang ditelan masa. Jadi, selain kata cepe itu juga hilang dari peredaran, seperti juga nilai uang sen, ketip, picis, atau talen, bahkan juga ringgit (2,5 rupiah) ungkapan polisi cepe juga akan hilang ditelan zaman. Oleh sebab itu, inventarisasi dan pencatatan ungkapan yang muncul belakangan ini, penting artinya sebagai sebuah rekaman yang boleh jadi juga dapat diperlakukan sebagai catatan masa lalu yang dapat pula berfungsi sebagai dokumen sosial.
Maraknya aksi-aksi demonstrasi, kasus-kasus peradilan yang aneh bin ajaib, juga memunculkan berbagai ungkapan baru, seperti parlemen jalanan, pengadilan rakyat, politik bunglon, politik dagang sapi, politik uang, badut politik, dagelan politik, logika politik, rumah rakyat, unjuk rasa, makelar kasus, serangan fajar, dan masih banyak lagi ungkapan lain yang tentu saja tidak dapat diabaikan begitu saja.
Dalam kehidupan kemahasiswaan di kampus, predikat yang diberikan kepada mahasiswa-mahasiswa tertentu, juga telah memunculkan sejumlah ungkapan yang mengacu pada aktivitas mahasiswa yang bersangkutan. Mahasiswa yang sering bolos kuliah, baik karena malas, maupun karena lebih banyak mengikuti berbagai kegiatan, misalnya, disebut sebagai mahasiswa aktivis. Sementara itu, ada pula mahasiswa yang dibayar dalam serangkaian demonstrasi untuk mendukung kelompok kepentingan tertentu disebutlah mereka itu sebagai mahasiswa bayaran. Berbagai ungkapan lain, masih terus bermunculan, seperti mahasiswa salon, mahasiswa anak mamih, dan semua itu, tentu saja perlu dicatat sebagai salah satu bagian dari dokumen sosial. Demikian pula, begitu banyaknya aksi tawuran antarpelajar atau antarpenduduk, telah melahirkan beberapa ungkapan baru, seperti hujan batu, perang batu, atau tawuran massal.
Bahwa ungkapan-ungkapan itu penting untuk dicatat, pertimbangannya lebih disebabkan oleh kelaziman ungkapan itu dipakai, baik dalam ujaran lisan, maupun dalam bahasa tulisan. Dalam ujaran lisan, masyarakat punya peranan penting dalam menciptakan ungkapan-ungkapan baru, baik sebagai pengembangan dari ungkapan yang sudah ada, maupun yang tiba-tiba muncul sebagai bentuk ekspresi untuk ide tertentu atau fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Dalam bahasa tulis, peranan media massa tentu saja tidak dapat diabaikan. Ungkapan-ungkapan dalam berbagai bidang muncul begitu saja, seperti yang dapat dengan mudah kita jumpai dalam pemberitaan bebagai suratkabar. Dalam hal ini, insan pers sebagai praktisi bahasa memainkan peranan penting dalam mempopulerkan ungkapan-ungkapan itu. Lebih daripada itu, adanya kebebasan pers, dalam banyak hal memberi ruang yang lebih luas bagi insan pers untuk secara kreatif melahirkan berbagai ungkapan baru. Insan pers pula yang sesungguhnya memberi kontribusi paling dominan dalam memperkaya kosa kata dan ungkapan-ungkapan bahasa Indonesia dan sekaligus juga pemakaiannya di dalam rangkaian berbagai kalimat.
Dilihat dari pola pembentukannya, ada sejumlah ungkapan baru yang terkesan menggunakan analogi, tetapi ada juga yang terkesan dibentuk dengan pertimbangan, asal enak dibaca. Ungkapan kendaraan politik atau gerbong politik, misalnya, menganalogikan partai politik atau organisasi massa tertentu dengan kendaraan yang membawa sejumlah penumpang, dan para penumpang itu, sadar atau tidak, telah digiring untuk mendukung kepentingan pihak penguasa atau partai politik tertentu.
Meskipun demikian, tentu saja tidak semua ungkapan baru yang muncul belakangan, dicatat dan dimasukkan sebagai entri kamus ini. Pencatatan dilakukan—seperti sudah disebutkan—jika ungkapan baru itu, muncul dan digunakan lebih dari 10 kali. Jadi, kriteria pencatatannya dan perlu tidaknya ungkapan itu dimasukkan dalam kamus ini dilakukan berdasarkan frekuensi kemunculannya.
Ketika terjadi gonjang-ganjing pada pemerintahan Abdurrahman Wahid, muncul ungkapan: Manuver Cari Selamat sebagai judul editorial suratkabar Media Indonesia. Dalam editorial itu dipaparkan adanya (beberapa) politikus yang –menurut penulis editorial itu—yang tindakan politiknya cenderung mengamankan atau mempertahankan posisi kekuasaannya sendiri dan tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat. Tidak tegas, plin-plan, oportunis, dan seolah-olah tidak melakukan pemihakan yang jelas –menurut editorial itu—termasuk sikap Manuver Cari Selamat. Sebagai satu ungkapan, Manuver Cari Selamat, memenuhi syarat kriteria sebuah kontruksi disebut ungkapan. Tetapi, kemunculannya di media massa dan pemakaiannya di masyarakat, kurang dari 10 kali. Oleh karena itu, ia terpaksa disisihkan.
Pada awal tahun 2010 berkaitan dengan 100 hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk periode yang kedua kalinya, berbagai suratkabar ibu kota memunculkan ungkapan curhat alias curahan hati. Pada awalnya ungkapan itu banyak digunakan kaum remaja atau mereka yang berkeluh-kesah menceritakan perasaan hatinya. Sebagai bentuk ungkapan perasaan (hati), yang disampaikan biasanya sejumlah persoalan yang dianggap begitu rumit, sehingga seseorang merasa perlu berbagi cerita kepada orang lain. Model ungkapan seperti itulah yang lalu disebut sebagai curhat sebagai akronim curahan hati. Ketika siapa pun –termasuk presiden—dipandang melakukan hal yang seperti itu, tak pelak masyarakat pun menyebutnya sebagai curhat. Maka, apa yang disampaikan SBY dalam berbagai pidatonya yang menyelipkan kisah tentang berbagai persoalan yang dihadapinya selaku seorang presiden, ungkapan curhat pun, tiba-tiba jadi populer. Lebih dari 100-an kali ungkapan itu muncul menghiasi lembaran berbagai media massa.
Berdasarkan konstruksi pembentukan sebuah ungkapan, curahan hati memenuhi syarat sebagai ungkapan. Bukankah secara logika hati tidak dapat dicurahkan? Bukankah yang dapat dicurahkan adalah benda konkret, seperti air, misalnya. Lalu, bagaimana pula hati dapat dicurahkan? Bukankah yang dicurahkan itu adalah kata-kata (hati) yang berisi gejolak perasaan? Atas dasar itu, ungkapan curahan hati, masuk pula sebagai entri kamus ini.
Belakangan, ungkapan curahan hati (curhat) kerap dikaitkan pula dengan sikap pejabat pemerintah yang sering kali menanggapi kritik atau komentar atas kebijakan politik pemerintah secara berlebihan. Maka muncullah ungkapan baper (bawa perasaan), yaitu sikap berlebihan dalam menanggapi kritikan terhadap pemerintah. Misalnya, ketika masyarakat menyampaikan kritik, komentar, meme, atau parodi kepada Presiden atau kepada Wakil Presiden atau kepada menteri di jajaran kabinetnya, dikatakan, bahwa Presiden, Wakil Presiden atau para menterinya sebagai pembantu Presiden, telah bekerja keras, siang-malam memikirkan nasib rakyatnya. Pernyataan itu disampaikan dengan nada duka lara menunjukkan kesedihannya. Pernyataan itulah yang disebut baper alias (mem)bawa perasaan. Sebab, Presiden, Wakil Presiden dan para pembantunya, hidup dan digaji dari uang rakyat. Bukan sesuatu yang istimewa jika mereka bekerja siang-malam untuk rakyat, sebab memang sudah menjadi tugas dan kewajiban mereka bekerja untuk rakyat.
Demikianlah, atas berbagai pertimbangan itu, ungkapan-ungkapan yang berhasil dicatat dan dimasukkan sebagai entri dalam kamus ini berjumlah mencapai 7.812 entri.
***
Perlu disampaikan di sini, bahwa butir masukan atau entri kamus ini bersumber dari hasil penelitian saya berjudul “Pencatatan dan Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” yang dibiayai oleh Lembaga Penelitian Universitas Indonesia (LPUI) tahun 1993. Berkat campur tangan Sdr Totok Suhardiyanto dan Sdr Nuradji yang ikut menyusun kembali dan membantunya memberi contoh pemakaian ungkapan dalam kalimat, terbitlah hasil penelitian itu menjadi sebuah buku berjudul Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia (Jakarta: Grasindo, 1997; xviii + 345 halaman). Kamus itu memuat 6.090 ungkapan dan 1.185 lema atau kata dasar. Dengan adanya penambahan entri baru, secara keseluruhan, Kitab Ungkapan Bahasa Indonesia ini memuat 7.812 ungkapan dan sekitar 1.236 lema atau kata dasar berikut penjelasannya, dengan perincian, 6.090 ungkapan yang termuat dalam Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia ditambah 1.722 ungkapan baru dan 51 lema atau kata dasar. Apabila kelak kamus ini kembali mengalami cetak ulang, niscaya entrinya akan terus bertambah sesuai dengan bermunculannya ungkapan- ungkapan baru.
Meskipun entri dalam kamus ini sebagai tambahan atau pengembangan Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia yang terbit tahun 1997 itu, sejumlah revisi menyeluruh dilakukan berkenaan dengan salah cetak, salah urutan penempatan entri atau kurang tepat dalam menyertakan contoh kalimat. Beberapa contoh kalimat yang seperti itu, misalnya, telah diganti dengan kalimat baru yang lebih baik atau yang diambil dari pemberitaan pers. Perlu diketahui, sejumlah besar ungkapan baru itu muncul dalam percakapan sehari-hari sebagai ujaran lisan. Oleh karena itu, contoh kalimat yang digunakan, terpaksa pula harus disesuaikan tidak lagi dalam konteks ujaran lisan, melainkan bahasa tulis. Contoh pemakaian ungkapan itu dalam kalimat mesti tunduk pada konvensi bahasa tulis. Itu pula sebabnya, tak terhindarkan, pamakaian ungkapan itu dalam kalimat di dalam kamus ini memakai logika bahasa tulis. Penentuan judul Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia (edisi revisi) itu pun, dilakukan berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang disampaikan tadi.
Begitulah, dalam kamus ini, berbagai perbaikan telah dilakukan menyeluruh. Diharapkan beberapa kesalahan yang tidak perlu, tak lagi terdapat dalam kamus ini.
***
Lebih dari dua dasawarsa (sejak tahun 2001) naskah kamus ini disiapkan. Berbagai perbaikan terus-menerus dilakukan sambil sekalian melakukan penambahan entri. Tetapi, karena berbagai kesibukan pula, maka naskah kamus ini belum juga dapat dirampungkan. Beruntung saya mendapat kesempatan untuk mengajar di Hankuk University of Foreign Studies (HUF), Seoul, sejak September 2009, sehingga saya dapat memusatkan perhatian kembali pada usaha menyelesaikan naskah kamus ini.
Tidak hanya itu, banyaknya pertanyaan dari mahasiswa-mahasiswa Korea yang sedang belajar bahasa Indonesia berkenaan dengan sejumlah ungkapan, makin menyadarkan betapa terasa mendesaknya penerbitan kamus ungkapan edisi revisi ini. Ungkapan dagelan politik, politik dagang sapi, politik uang (politik), makelar kasus, jaksa nakal (hukum) atau hakim garis, puasa kemenangan, kotak terlarang atau daerah terlarang (sepakbola), dan sejumlah ungkapan yang banyak bermunculan di media massa adalah contoh yang kerap menjadi bahan pertanyaan mereka. Itulah salah satu alasan yang mendorong saya bertungkus lumus merampungkan naskah kamus ini.
Begitulah riwayat panjang dan sangat melelahkan proses penerbitan Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia (edisi revisi) ini. Saya sering kali meyakini, bahwa proses penerbitan sebuah buku, mempunyai riwayatnya sendiri. Kadang kala dalam prosesnya itu, muncul peristiwa yang tak terduga dan misterius. Dalam kasus penerbitan kitab ungkapan ini pun, ada saja peristiwa tak terduga dan misterius muncul secara tiba-tiba. Ketika naskah Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia (edisi revisi) ini tidak jelas penerbitannya dan mulai muncul keengganan untuk menerbitkan edisi revisi, tiba-tiba datang berita duka. Sahabat dan rekan sejawat, Totok Suhardiyanto, dipanggil Tuhan! Sosok yang dikenal cerdas, baik, dan rendah hati itu, terlalu cepat pergi. Ya, itulah kehidupan. Maka, di antara duka mendalam dan semangat yang hampir patah arang itu, terpercik gagasan untuk mengenang kembali jasanya dan sekaligus menghidupkan makna persahabatan dengan menerbitkan edisi revisi ini. Semoga penerbitan kamus ini menjadi salah satu ladang amal jariahnya. Kita meyakini, almarhum telah nyaman berada di arasy sempurna!
Penerbitan kamus ini boleh dikatakan sebagai bukti kreativitas masyarakat dalam melahirkan ungkapan-ungkapan yang berkaitan dengan berbagai peristiwa sosial—budaya—politik yang terjadi. Oleh karena itu, kami akan sangat menghargai, jika sidang pembaca yang terhormat, berkenan menyampaikan catatan kritisnya untuk perbaikan kamus ini.
Terima kasih kami sampaikan kepada Penerbit Hyang Pustaka yang bersedia menerbitkan buku ini. Semoga Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia (edisi revisi) ini memberi kemaslahatan bagi sidang pembaca dan pengembangan kekayaan bahasa Indonesia.
Bojonggede, 3 Maret 2022
Maman S Mahayana
Nur Adji
Totok Suhardiyanto