Nusa Tenun Tangan : Panggilan dan Tugas Kebudayaan

Nusa Tenun Tangan

Maman S. Mahayana

Entah di mana saya mengenal Mezra E. Pellondou, seorang guru bahasa Indonesia dari Kupang yang tampak sangat serius menceburi dunia sastra. Semangatnya, selain memang ingin memperdalam sastra Indonesia dan sekalian sebagai tuntutan profesi, juga ada tujuan ideal yang melatardepaninya, yaitu hendak mengajak anak didiknya mencintai dan mempelajari sastra Indonesia. Dari sana, ia punya misi idealis, yaitu bertekad membangun jembatan untuk menumbuhkan kebanggaan pada kekayaan kesusastraan etnik yang sejak dahulu kala tumbuh bersemai di Nusa Tenggara (Timur). Ia ingin agar kekayaan khazanah sastra dan budaya etniknya dapat memberi sumbangan bagi pemerkayaan sastra dan budaya Indonesia. Itulah yang disebut panggilan kebudayaan.

Siapa pun dengan latar budaya etnik mana pun, sejauh tidak hendak menjadi Si Malin Kundang yang berkhianat pada ibu budayanya, selalu ia punya kesadaran kultural yang pemantiknya bersumber pada akar tradisi leluhur. Kesadaran itu tidak dimaksudkan hendak memuja dan mengibarkan keagungan masa lalu, tetapi justru coba merevitalisasi dan mengaktualisasikannya untuk tujuan masa kini dan masa depan. Itulah sebenarnya tugas kebudayaan masyarakat etnik kita yang tersebar di seluruh Nusantara.

Mezra E. Pellondou menyadari panggilan dan tugas kebudayaannya. Oleh karena itu, ia coba berbuat dan bertindak mempelajari dan memaknai kebudayaan leluhur. Sebesar atau sekecil apa pun kontribusinya, bukanlah hal yang penting. Sebab, tujuan utamanya adalah mengejawantahkan perannya dalam kehidupan sosial sambil menggemakan kekayaan tradisi budaya leluhur yang patut ditempatkan secara semestinya. Pesan itulah yang segera dapat kita tangkap dari buku antologi puisinya.

Perhatikan, misalnya, puisi Mezra E. Pellondou yang berjudul “Menjadi Indonesia”.
 
MENJADI INDONESIA
 
Di pelataran tubuhmu, tanah airku
Perjalananku dicatat, jejak-jejakku
direkam abadi
pada kerut-kerut sejarahmu
 
sejak nenek moyang mengajarkanku
merangkak
meraih kibaran merah putih, menyampirkan
di dada kanan menancapkan di hatiku
sejak saat itu aku terus berjalan, berlari
jatuh dan bangun
aku tertawa, menangis, berloncat gembira
tersandung dan jatuh lagi …
tetap engkau, tanah airku
tetap kudekap tubuhmu
Aku bersanding dengan asapmu, tanah airku
Membakar keringat dalam kerja yang panjang
Menyalakan bintang di angkasa
menghalau gelap cerita
 
Kau air yang meresap dalam tanahku, tanah  airku
Tubuhku tumbuh hutan tropis, bukit dan gunung
Membentang pulau, lembah, sungai dan laut
bunga-bunga dan taman kupu-kupu
memanen madu pada batu-batu
dan kembang-kembang liar
 
Kau air yang meresap  dalam dagingku, tanah airku
Tubuhku menjelma hamparan sawah, kebun jagung,
pisang dan singkong
selalu memahat mimpi menyala di mata
setiap keringat tidak pernah sia-sia dipanen
 
walau begitu, terkadang kau bukan sahabat karib
ada saatnya kau menjelma badai seroja
dengan ganasnya kau tumbuhkan beton-beton industri
di sekujur pori-poriku
aku jadi batu dalam semilir anginmu
hingga tumbuh daun-daunmu
jadi kebun-kebun pariwisata yang memaksaku
memecahkan bola golf yang sedang menggelinding
 
Hingga nafasku tersengal-sengal
udara kotor menjadikanku jadi keruh dalam airmu
 
Di pelataran tubuhmu, tanah airku
Aku terus merangkak menjadi yang paling Indonesia
Aku telah tertusuk pada debar jantungmu, tanah airku
Aku merasakan dengan sempurna, rasa sakit maupun bahagia
Semuanya mendebarkan cinta yang paling merah putih
 
Kupang, Juni 2021

Jika puisi dianggap sebagai suara kebenaran yang lahir dari sudut hati yang terdalam, maka ketika kita membaca puisi di atas, kita seperti menangkap pesan kesungguhan penyair dalam mencintai tanah dan budaya leluhur yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari Indonesia. Begitulah jalan kebenaran yang mesti ditempuh sebagai warga etnik dari sebuah bangsa yang multietnik. Ke belakang ada ikatan sejarah masa lalu yang berkaitan dengan tradisi-budaya leluhur; dan kini ia bertumbuh sebagai manusia Indonesia yang menyadari akan tanggung jawab sosialnya. Oleh karena itu, ia harus menghadapi kenyataan masa kini untuk menatap masa depan bangsanya. Di sinilah, pembangunan fisik yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia, mestinya tidak mengabaikan pelestarian alam dan spirit keindonesiaan, sekaligus melandasi diri dengan kesadaraan sebagai bagian dari persatuan Indonesia yang secara simbolis dikatakannya: “… yang paling merah-putih.”

Puisi “Saya Mencarimu Tanah Airku” juga mengangkat semangat keindonesiaan. Pesannya semacam romantisisme seseorang yang berada dalam tarik-menarik antara harapan Indonesia yang sejahtera, bersatu, dan hidup damai dengan kenyataan yang kadang kala tidak sesuai harapan. Meski begitu, yang menonjol di sana adalah romantisisme tentang harmoni hubungan manusia dengan alam yang memberinya kedamaian. Romantisisme seperti itu sebenarnya bukan hal baru. Setidak-tidaknya, Muhammad Yamin dalam puisinya, “Tanah Air” dan “Indonesia, Tumpah Darahku” menegaskan kecintaan pada alam Indonesia. Dalam perkembangannya sampai sekarang, hampir tidak ada penyair Indonesia yang tidak tergoda pada eksotisme alam. Artinya, alam bagi penyair Indonesia kerap digunakan sebagai sarana ekspresi kecintaan pada Tanah Air atau pengagungan pada Tuhan. Jadi, dapat dipahami jika Mezra E. Pellondou coba pula mengangkat tema itu.

Yang menarik dari puisi-puisi Mezra E. Pellondou ini adalah spiritnya menyampaikan panggilan tradisi budaya leluhur. Sejumlah puisinya, seperti “Hinggi,” “Kisah Dua Lirang,” “Rahim Lambik Nusak Lote,” “Serat-Serat Sina Mutin Malaka,” “Sajak Kwate,” dan beberapa puisinya yang lain, seperti merepresentasikan spirit tersebut. Bahkan, puisinya yang berjudul “Hinggi” mewartakan filosofi di balik desain jenis kain tradisional khas masyarakat Sumba Timur. Hinggi yang menurut keterangan penyairnya bermakna selimut, ternyata tidak sekadar produk kain tenun biasa. Ada nilai-nilai filosofi, etis, dan kearifan lokal yang tersimpan dalam komposisi warna selimut tersebut. Sebuah tafsir dan pemaknaan atas produk tenun yang lalu diterjemahkan dalam larik-larik puisi. Dengan demikian, puisi tersebut tidak sekadar mengungkapkan makna terpendam dalam kain Hinggi, tetapi juga berfungsi sebagai pewartaan kultural bagi masyarakat di luar wilayah Sumba atau Nusa Tenggara. Itulah ajang silaturahmi budaya yang dikemas dalam bentuk puisi.

Berikut saya kutip puisi Mezra E. Pellondou yang berjudul “Hinggi” berikut ini:

HINGGI
 
Di serat-serat tubuhmu
manusia cuma debu
yang kembali pada tanah
 
Cacing dan ayam terpulas
dalam butir nasib
tak sanggup mengangkang
 
pada takdir manusia
saat Tuhan meminjamkan
hidup yang cuma sebentar
 
Tali nasib bertumpuk antara
kanak-kanak dan ketuaan
kelahiran dan kematian
 
selagi tali hidup masih kokoh terikat
tetaplah  berdenyut di jalan cahaya
hingga tiba saatnya pulang
 
Kupang, MEP 2020

Sebuah puisi yang eksotik dan sarat dengan pesan ilahiah. Bagaimana manusia di hadapan Tuhan menjelma sebagai makhluk yang tiada berarti apa-apa: sekadar titik debu! Dalam ketidakberartiannya itu, ia akan kembali ke tanah, ke sumbernya. Itulah kefanaan! Tuhan ternyata cuma meminjamkan hidup dalam waktu yang terbatas, sementara, sesaat. Meski begitu, Tuhan memberi kebebasan bagi manusia untuk menjalankan tugasnya mengisi kehidupan. Maka, “tetaplah berdenyut di jalan cahaya” hingga sampai waktunya kita dipanggil pulang. Bukankah pesan puisi itu punya makna yang sangat mendalam dan memberi penyadaran tentang hubungan manusia dengan Tuhan?

Tanpa harus berkhotbah menyampaikan fatwa atau ayat-ayat suci, puisi ini memberi pesan religius, bagaimana manusia harus menjalani kehidupan sebagaimana tuntutan Tuhan. Hinggi, kain selimut yang khas dihasilkan masyarakat Sumba, ternyata menyimpan pesan religius itu. Artinya, produk apa pun yang dihasilkan manusia, seyogianya mengandung pesan-pesan filosofis itu, dan bukan sekadar menawarkan nilai-nilai komersial.

Untuk menunjukkan kecintaan penyair pada ibu budayanya, buku ini juga dihiasi sejumlah gambar kain tenun tangan masyarakatnya. Meski buku antologi puisi hampir tak pernah dihiasi gambar-gambar kain tenun seperti itu, langkan yang dilakukan Mezra E. Pellondou justru penting. Kesannya memang semacam promosi. Tetapi lebih dari itu, dapat juga ditempatkan sebagai ajang informasi dan silaturahmi budaya dengan etnik lain di wilayah Nusantara ini.

Dengan cara demikian, produk-produk budaya berbagai etnik di Nusantara itu akan membentuk lanskap: kebudayaan Indonesia. Tidak cukup kita disuguhi batik dengan berbagai macam jenisnya. Begitu juga dengan kain songket (Palembang) atau sasirangan (Banjar) atau kain tenun lainnya yang dihasilkan berbagai etnik di Nusantara ini. Kain tenun tangan lainnya yang dihasilkan etnik lain yang seolah-olah masih terpendam sebagai kisah yang tidak terucapkan, perlu diperkenalkan kepada masyarakat yang lebih luas. Dalam produk budaya tradisional itu, selalu ada nilai-nilai kearifan lokal, eksotisme, dan filosofi yang menjadi pandangan spiritual masyarakatnya.

Begitulah, Mezra E. Pellondou percaya diri menampilkan produk budaya masyarakat etnik yang hidup di sekitarnya. Ia tidak hendak menempatkan produk itu sebagai kisah yang tidak terucapkan, melainkan menampilkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari lanskap kebudayaan Indonesia. Jadi di antara puisi yang beberapa di antaranya mewartakan filosofi kain tenun itu, kita (: pembaca) disajikan pandangan lain, bahwa produk budaya di Nusa Tenggara mesti juga menjadi kebanggaan bangsa Indonesia!

Selamat buat Mezra E. Pellondou yang berhasil mengisi sebagian dari lanskap kebudayaan Indonesia melalui buku ini!

dewabuku

all author posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are makes.