Oleh: Eka Budianta
Untuk seorang pencinta sungai, mendengar Kali Mati serasa ditempeleng sampai pingsan. Saya terkejut, sedih, termangu dan tidak sadar cukup lama. Ayah pernah mengucapkan kedua kata itu ketika saya masih kecil. Itulah saat pertama kali saya mendengar tentang saluran air yang hanya berfungsi di musim penghujan. Setelah dewasa, saya sadari bahwa Kali Mati atau ditulis Kalimati, adalah nama tempat di berbagai daerah.
Ada pasar Kali Mati di Jakarta Barat, ada desa Kalimati di Cirebon, Brebes, di Jepara, di Klaten sampai di Banyuwangi. Berarti Kali Mati adalah nama yang biasa dan sesekali bisa menjadi berita. Contohnya, di Mojokerto, Jawa Timur ada Bendungan Kalimati yang memakan korban ketika seorang remaja berenang sendiri, di awal tahun 2021.
Buku ini berjudul Kali Mati (dua kata) ditulis oleh Tri Astoto Kodarie. Saya tidak menyangka penyair kelahiran Jakarta 1961 yang kini menetap di Parepare, Sulawesi Selatan, itu meminta saya menulis pengantar ini. “Sekapur Sirih untuk merayakan ulang tahun ke 61 pada tanggal 29 Maret 2022,” katanya. Jelas saya terkejut.
Tidak tahukah dia bahwa sebulan sebelumnya buku saya terbit dengan judul “Sungai Sejati”? Saya yakin dia tahu dan mungkin sudah mendengarnya. Tentu dia juga membaca saya mengadakan pelatihan menulis tentang sungai, menerbitkan dan memimpin Majalah Ciliwung (1996) serta mencintai sungai di seluruh dunia. Kenangan saya tentang sungai selalu indah. Saya bangga pernah berlayar di Sungai Thames (Inggris) di Sungai Mississippi dan Willamette (Amerika Serikat); di Sungai Sumida (Jepang) dan bersama anak lelaki saya menikmati Restoran Terapung di Chao Phraya, Bangkok, Muangthai.
Tri Astoto Kodarie minta agar saya menulis “Sebuah catatan ringan untuk menyapa pembaca,” katanya. Ringan bagaimana? Kali Mati kaubilang ringan? Saya menjerit di dalam hati. Bagi saya, bicara tentang Kali Mati sungguh berat sekali. Tidak terbayang bagaimana kalau Sungai Bengawan Solo, tempat ayah mengenalkan saya pada tukang perahu di Kota Babat pada suatu saat tidak ada lagi.
Tidak terbayang juga bagaimana kalau Sungai Kahayan yang saya layari dari Kalimantan Tengah sampai Kalimantan Selatan dinyatakan wafat, mati, kering, tak ada lagi. Tidak! Tidak boleh mati, jiwa saya berteriak. Tetapi penyair Tri Astoto Kodarie menyadarkan bahwa semua bisa mati. Sungai sebagai ciptaan Tuhan juga bisa mati. Ayah saya sendiri telah mengajarkan hal itu waktu saya masih kecil.
Puisi Tri Astoto Kodarie juga sangat jelas, “Aku mengingat kali mati di belakang rumah,” tulisnya. “Kalinya hanya menampung hujan,” lanjutnya menirukan kisah ibunya yang dikatakan,” sambil membawa ranting-ranting kayu bakar.”
Sebentar saya merasa agak tenang. Tetapi kembali berdebar-debar saat lanjut membaca puisinya, “tebing landai kali bertanah melumut dengan akar-akar menjuntai.” Mengapa tiba-tiba kita diajak masuk ke wilayah yang wingit, mistis—gelap dengan bayangan masa kecil yang menyeramkan? Ternyata Kali Mati bagi Tri Astoto Kodarie bukan kenangan indah seperti saya yang saya alami di Paris, Perancis dengan La Seine, atau dengan Sungai Hudson di New York. Kali mati bagi penyair yang dibesarkan di Purbalingga, Jawa Tengah ini menyimpan kenangan yang sesedih-sedihnya. Perhatikan larik-larik selanjutya, “jalaran akar yang mengumbi serupa pedang-pedangan yang dibuatkan bapak dari kulit pisang sebelum mati diseret penjajah ke tanah lapang di selatan desa.”
Apa yang telah terjadi? Puisi itu jelas berkisah, “sementara simbok bangga mencuci baju bapak berpercik darah membilasnya di kali mati.” Astagfirullah! Saya terbangun dari pingsan. Ternyata kali mati telah menjadi saksi bisu dalam kehidupan sebuah keluarga yang tragis dan memilukan.
Terima kasih Tri Astoto Kodarie membangkitkan saya (dan semoga setiap pembaca juga merasakannya) untuk mengikuti “para pelayat berkabung memberi penghormatan terakhir di antara batu-batu berlumut riwayat hidup bersilang rupa, harga diri tak hanyut di kali mati.”
Sampai di sini kita merasakan kebesaran jiwa manusia yang ditakdirkan untuk menjalani hidup sebagai penyair, jurubicara hati-nurani. Kita diajak merasakan “gemericik kecil air di sela-sela batu kali mati.” Sampai pada akhirnya kita dihibur oleh simbok yang mengucapkan “bapakmu itu pahlawan kebanggaan keluarga.”
Jadi jelaslah, kali mati telah membantu penyair maupun pembacanya mencatat riwayat hidup yang dahsyat. Kita memandang dengan penuh haru, “mata simbok bermata bulan, mengalir kecil di kali mati.” Sungguh berbeda dengan sungai-sungai besar dunia yang pernah saya kunjungi. Benar-benar berbeda! Selama ini saya hanya memandang sungai-sungai besar yang penuh dengan nyanyian semerdu “Bengawan Solo” dan “Di Tepinya Kali Serayu”. Kita tidak boleh abai, bahwa sungai kecil di belakang rumah, yang disebut kali mati pun bisa sangat berjasa.
Kali mati yang dilukiskan dan dibebani riwayat aku lirik penyair Tri Astoto Kodarie telah menjadi abadi. Ia tidak bisa lagi mengering seperti beberapa ruas Sungai Kapuas di musim kemarau. Kali mati selalu kering, meski terasa sakral, angker dan berlumut. Tetapi dalam kematiannya, batang kali kecil yang hanya hidup di saat hujan itu mampu menjadi saksi jaman. Dialah yang merekam peristiwa yang paling menyayat dengan hati tabah luar biasa.
Selamat ulang tahun penyair kali mati. Dalam keberanian Tri Astoto Kodarie telah menampilkan saksi hidup dari bagian alam yang teguh bertahan dalam “harga diri (yang) tak hanyut di kali mati.” Terima kasih telah berbagi kenangan ulang tahun ke 61 yang tidak mudah dilupakan. Saya mohon ijin ikut mengantarkan kali mati ini dengan rasa syukur yang amat mendalam, sebab kematiannya telah membuat kehidupan bermartabat dan insya Allah abadi.
Jakarta Selatan, 29 Maret 2022