Pertanyaan kepada Lubang di Langit

Misal Kita Hanya Puing

Oleh Nissa Rengganis[1]

Dari 71 puisi yang terhimpun dalam “Misal Kita Hanya Puing”, pada umumnya puisi-puisi yang ditulis Candrika memosisikan diri sebagai puisi reflektif. Puisi-puisinya hadir dengan suara yang pesimistis. Penyair berupaya membagikan kecemasan yang mulanya berada di wilayah personal, menjadi persoalan milik komunal. Kecemasan itu berupa pertanyaan-pertanyaan tentang makna hidup, penderitaan, kematian, nasib diri, kesunyian, hingga pencarian akan Tuhan. Alhasil, pembaca pun terusik dan merasa selalu diinterupsi. Pertanyaan yang mungkin luput kita ajukan pada diri sendiri. Entah karena kita abai, atau tak pernah punya nyali. Membaca puisi-puisinya, saya terperangkap dalam gua kedap suara, terombang-ambing ketidakpastian, hingga dihantui pertanyaan imajiner: Siapakah yang melubangi langit siang hari ini?

Beberapa puisi dalam “Misal Kita Hanya Puing” nyaris menyuarakan hal serupa dengan para penganut pesimisme. Ia bersinggungan dengan keputusasaan, keraguan, ketidakberdayaan, yang berujung pada kepungan kesia-siaan. Ini mengingatkan saya pada sajak-sajak pesimisme Trakl. Menariknya, rasa pesimisme itu lahir dari serangkaian kecurigaan dan keingintahuan pada segala hal yang ia temui. Celakanya, jika penulis tidak menahan diri dengan segala curiga itu, ia hadir seperti nabi yang menyerukan kebenaran. Terjebak pada slogan-slogan moral dan sosial.

Seperti puisi-puisi Trakl yang menyeret kita pada dunia gelap gulita, Candrika berhasil mengepung pembaca dengan pertanyaan yang membuat kita terasing. Membuat kita tak lagi percaya pada apa yang disebut harapan. Sehingga kita merasa begitu kerdil menerima kenyataan yang enggan kita hadapi. Kita merasa malu untuk mengakui keraguan-keraguan yang terus mengganggu. Perasaan macam ini terangkum dalam dua puisinya, “Surat dari Jauh” dan “Dongeng”.

aku kini pulang
menuju rumah
di perjalanan aku ragu
adakah engkau menungguku
dengan gelisah—
atau bahkan derita?

ketika sampai, tak kutemukan pintu
rumah kita yang telah lama roboh

(Surat dari Jauh)

seharusnya kita berjalan
di antara jalan kecil ini
dengan tangan yang telanjang
sehabis menadah air mata

kita tak perlu merasa asing
pada segala yang barangkali memang asing

(Dongeng)

Sebagai manusia, kadang kita ragu untuk mempertanyakan “Apa sih makna hidup?”, “mengapa kita dilahirkan?”, dan “semacam apakah kebahagiaan?” Setiap diri kita mungkin berusaha mengemban tanggung jawab kehidupan ini sebagai übermansch di setiap sejarah zaman, di mana kita terus-menerus diliputi semangat kehendak berkuasa. Tapi, apakah setiap keinginan dan kehendak pada akhirnya mencapai kebahagiaan?

Ada satu bait puisi menggugah yang pernah ditulis Dylan Thomas: “The force that through the green fuse drives the flower,” yang terinspirasi dari gagasan Schopenhauer tentang “dunia sebagai kehendak”. Schopenhauer melihat bahwa kebahagiaan justru ketika kita tidak mempunyai kehendak. Pasalnya, setiap keinginan hanya berujung pada kesia-siaan. Di sinilah saya kira Candrika memosisikan subjek-objek puisi-puisinya. Cara kerja penyair yang skeptis pada banyak hal, rupanya mendorong kita pada hal-ihwal yang sifatnya kontemplatif. Persinggungan macam itu yang kemudian menghadirkan sekian pertanyaan retoris hingga filosofis. Seperti yang ia tulis dalam puisi “Sekian Pertanyaan Retoris”:

beritahu aku
apakah arti dari sepucuk bedil
yang dipeluk erat oleh seorang anak
yang gemetar ketakutan?

bukankah itu artinya, seorang anak kecil saja
telah piawai membaca rumus penjajahan?

beritahu aku
apakah arti dari timah panas
yang bersarang di tengkorak seorang ibu
yang tengah mengandung anaknya?

bukankah itu artinya, sebentuk kehidupan
tidak lebih mahal dari sebiji logam?

beritahu aku
apakah artinya segala pertumpahan darah ini
yang membuat nyawa manusia
menjadi sekadar pion catur yang silih-lahap?

bukankah itu artinya, cinta tak lebih penting
dari hasil negosiasi politik dan liur dominasi?

beritahu aku, Saudaraku …

(Sekian Pertanyaan Retoris)

Puisi “Sekian Pertanyaan Retoris” semacam upaya simbolis penyair untuk mengajak kita “menggali” kembali apa-apa yang kita temui, yang mungkin tampak remeh-temeh. Semisal rutinitas membosankan yang tak pernah kita persoalkan. Monumen kenangan yang menyesaki ingatan tanpa pernah kita keluhkan. Juga igauan di kepala yang terus saja kita abaikan. Bagi Candrika, puisi sebagai upaya mempertanyaan kembali segala hal yang “taken for granted”. Bukan hanya memotret, tapi perlu ada kesadaran kritis dalam membaca tubuh peristiwa. Lebih dari itu, perlu pergulatan batin dalam upaya memaknai manusia dan kesemestaan pada tarafnya yang paling ontologis.

Candrika terus mengajukan opsi pertanyaan, pengandaian, perdebatan, hingga akhirnya mengobrak-abrik realitas itu sendiri. Di sinilah saya kira puisi-puisi Candrika banyak menawarkan kesadaran filosofis. Mengajak menyusuri ruang kontemplasi sehingga pembaca mengalami proses Das Ding an Sich.

Menariknya, sederet pertanyaan yang diajukan penyair bukanlah untuk mencari jawaban. Apakah penyair hanya tergerak oleh rasa ingin tahunya atau sekadar meluapkan emosi dari apa yang ia alami? Seperti pertanyaan yang kadang muncul: Siapakah manusia itu? Apakah kebahagiaan itu? Benarkan surga dan neraka itu ada? Siapakah seseorang yang menyelinap masuk dari langit berlubang itu? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidak mudah untuk dijawab, sebab jawabannya justru melahirkan pertanyaan susulan terus-menerus.

Awalnya mungkin pembaca akan tergoda untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan argumentasi yang logis dan rasional. Tapi, sekali lagi, masihkah perlu hal-hal rasional dari segala yang kadung irasional? Kekuatan puisi Candrika justru berkelindan pada wilayah itu. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak menarik untuk dijawab secara pragmatis, terlebih teoretis, melainkansebagai upaya pembacaan ulang bagi diri, juga puisi. Tidak sekadar menyesatkan kita pada kemuaraman ekspresionis. Pengalaman penyair di sini tidak lagi bicara soal “justified true belief”, tetapi sebagai “accurate representation of reality.”


dalam kepalsuan itu,
aku tertekan, seraya bertanya-tanya
bolehkah kita; menjadi bukan siapa-siapa saja
tanpa harus merasa kesepian?

(Musim Angin)

Andakah yang menetap di ruang
tempat sungai dialiri susu
atau bahan-bahan layu?

saya tak mengerti, kenapa Anda
yang telapak kakinya begitu suci
yang jejaknya meruapkan aroma melati
dapat terlempar ke lumpur bernama bumi

Andakah yang menetap di ruang
tempat bidadari tak bernama
bertelanjang dada?

(Yang digembala Para Nabi)

bisakah aku menggugat
kematianmu pada tuhan—
dengan uang,
sekeranjang bunga, atau pistol?

(Gugatan)

“bila kamu masuk surga, apa yang hendak
kamu minta?”
aku tidak tahu.
“apa kamu akan meminta belulang bersayap?”
aku dilarang bersenggama dengan makhluk indah.
“apa kamu akan meminta arak pesing?”
aku dilarang mabuk dalam keadaan bahagia.
“apa kamu ingin melihat wajah tuhan?”
tidak. tuhan itu menyeramkan.

(Misal Kita Hanya Puing)

Pertanyaan-pertanyaan simbolis dari beberapa puisi tersebut mengingatkan kita pada dongeng purba masa kanak-kanak. Seperti mitos yang diwariskan Homer selama berabad-abad, yang hingga kini masih mengusik malam-malam kita yang lelap. Saya curiga, pencapaian penyair memang bukanlah jawaban dari pertanyaan itu sendiri, melainkan pertanyaan yang melahirkan pertanyaan lagi, dan lagi.

Di titik ini, penyair senantiasa gelisah. Senantiasa mencari dan tak puas diri. Senantiasa meletakkan segala sesuatunya sebagai pertanyaan yang kunjung usai. Sehingga, disadari atau tidak, beginilah cara kerja puisi: Tidak serta-merta berhenti pada hitam-putih, benar-salah, baik-buruk, dan kepingan moralitas lainnya. Sejujurnya, puisi adalah upaya membukakan jalan tanpa memberikan petunjuk jalan. Membiarkan para pembaca itu tersesat atau selamat sampai tujuan. Dalam proses perjalanan itu ada pencarian untuk mengenali diri sendiri. Lebih dari itu, puisi menembus kesadaran ontologis untuk melihat manusia dalam definisinya yang paling substansif, paling hakiki.

bukankah kita menulis puisi
karena tak mengerti apa-yang-indah?
yang dengan demikian
berupaya menelanjanginya?

ranting mengerti bahwa kita tenggelam
dan malam menyeringai dalam umpatan

sembari menepis angin gigil
kita menulis puisi
karena tidak mengerti
diri kita sendiri, bukan?

(Antinomi yang Pemalu)

Candrika membuka tawaran lain dalam perbincangan puisi belakangan ini. Ia tidak latah untuk sekadar menjiplak realitas yang kian riuh dan gaduh. Sepenuhnya ia memercayakan kepada puisi untuk memotret persoalan secara reflektif. Ia bergulat dalam medan peristiwa dan makna. Puisi-pusinya mengusik eksistensi kita, baik sebagai personal maupun komunal, sebagai makhluk sosial maupun asosial. Ia berhasil membangun ruang kontemplasi yang khusyuk. Penuh renungan, penghayatan, sekaligus pemberontakan terhadap common sense. Di sinilah saya kira letak keberhasilan buku puisi “Misal Kita Hanya Puing”.

Selamat!

Cirebon, 9 Februari 2022

[1] Nissa Rengganis adalah seorang penyair yang berdomisili di Cirebon, Jawa Barat. Buku puisinya “Manuskrip Sepi” mendapat anugerah dalam lima buku puisi terbaik Hari Puisi Indonesia pada tahun 2015.

dewabuku

all author posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are makes.