Pengantar dan Ulasan ‘Perempuan Penabuh Subuh’

Perempuan Penabuh Subuh

Pesan Moral Religius Dalam Kerangka Oposisi Biner

Oleh:

Dr. Novi Kussuji Indrastuti, M.Hum.

Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM

 

Membaca kumpulan sajak karya Asmariah serasa seperti air mengalir tiada henti, ada dorongan keinginan untuk terus menikmati sekian banyak sajak hingga sajak yang paripurna karena ada semacam daya evokasi, daya penggugah rasa, dan daya dorong yang kuat terkandung dalam sajak-sajak yang termaktub dalam antologi Perempuan Penabuh Subuh ini.  Ada semacam style atau gaya unik yang merupakan idiosyncrasy penyairnya.  Tema besar yang diusung dalam antologi ini adalah pesan moral religius. Pesan moral religius ini disuguhkan dalam komposisi oposisi biner sehingga benar-benar dapat membentuk kekhasan dalam sajak-sajak karya Asmariah ini. Oposisi biner adalah sistem yang membagi sesuatu menjadi dua kategori yang biasanya saling berlawanan (KBBI). Subtema yang disajikan bersentuhan dengan hubungan manusia dengan Sang Pencipta dalam arti luas. Hal ini sesuai dengan keberadaannya sebagai puisi religius. Berikut beberapa subtema yang disajikan dalam kerangka oposisi biner dalam antologi puisi ini.

Dosa dan Pertobatan

Dalam Antologi Perempuan Penabuh Subuh ini ada beberapa sajak yang mengemukakan masalah dosa dan pertobatan, antara lain sajak “Malam Minggu”, “Ranjang Pertobatan”, “Bertudung Sarung”, “Seribu Malam di Kotamu”, “Tubuh Api di Pintu Subuh”,  “Perindu Subuh”, “Terlunta-Lunta”, “Dua Sisi Surga”, “Gemuruh Takbir”, “Sampah Telah Tabah”, dan “Di Jalan Kenang”. Sebagai contoh, pergulatan antara dosa dan pertobatan dapat dilihat dalam puisi “Malam Minggu” di bawah ini.

Di malam minggu
aku membakar diri
hingga debu berabu

Lalu beterbangan
perihkan pandangan
buta kehidupan

Biarlah nikmati
tanpa rembulan di pangkuan
ada untaian doa di atas sajadah
basah air mata
melarung dosa-dosa

(“Malam Minggu”)

Sajak “Malam Minggu” di atas menunjukkan kebiasaan si aku yang mengisi akhir pekan dengan kesenangan dan kenikmatan duniawi yang kotor penuh “debu dan berabu” hingga lupa diri terjerumus ke dalam lembah dosa “lalu beterbangan/perihkan pandangan/dan buta kehidupan”. Namun demikian, pada akhirnya si aku bertobat mohon ampun kepada Sang Pencipta “ada untaian doa di atas sajadah/basah air mata/melarung dosa-dosa”.

Sajak “Dua Sisi Surga” mengoposisikan siapa yang berhak menjadi penghuni surga dan neraka karena surga memiliki “keagungan cinta dua sisi”. Sajak ini juga mengontraskan relasi antara ibadah dengan amal perbuatan. Hal tersebut tampak dalam baris-baris sajak berikut ini.

Surga dipetik di tanah batin suci
keagungan cinta dua sisi

….

Surga di bawah telapak kaki ibu
surga berada di kerumunan orang rukun
surga ada di sela-sela doa orang miskin
surga terbuka saat membelai anak yatim

Neraka diberikan pada orang sembahyang
jika hati dan mata menutup pandang
pada orang lapar, pada orang ditikam
ketidakadilan

(“Dua Sisi Surga”)

Dalam kutipan di atas tampak bahwa orang yang dapat menjadi penghuni surga adalah orang-orang yang berbakti kepada ibunya, hidup rukun serta peduli dengan sesama, orang miskin yang selalu memanjatkan doa kepada Tuhan, dan orang-orang yang gemar menyantuni anak yatim. Namun demikian, orang-orang yang taat bersembahyang, tetapi ternyata tidak memiliki kepedulian dengan orang-orang miskin dan kelaparan maupun orang-orang yang menderita akibat adanya ketidakadilan maka mereka akan tetap berdosa dan menjadi penghuni neraka. Oleh karena itu, ibadah dan perbuatan sehari-hari harus seiring-sejalan.

Kehidupan dan Kematian

Dalam kumpulan puisi ini, ada cukup banyak sajak yang terkait kematian, di antaranya “Peluk Sakaratul Maut, “Nasihat Kematian”, “Pulang ke Rindang Pohon Kamboja”,  “Jamuan malam terakhir”, “Gelombang Tembang Kematian”, “Taman Bunga Kemboja”, “Nyanyian Sajak Kematian”, “Buku Terakhir”, “Tasbih Penghabisan”, “Orang-Orang Pengobatan”,  “Pukulan Rebana Kematian”, dan “Nyanyian Jelang Kepulanganmu”. Yang menarik adalah penggambaran antara kehidupan yang fana dan kematian yang baka, seperti tampak dalam sajak “Gelombang Tembang Kematian” berikut ini.

Tembang kematian bersahutan
di atas gelombang lautan
iringi kedatangan takdir Tuhan
pulangkan sekumpulan
ke alam keabadian

Dunia hanyalah singgah
permainan, pengabdian, dan entahlah

….

(“Gelombang Tembang Kematian”)

Baris-baris puisi di atas mengungkapkan bahwa manusia yang hidup di dunia ini pada dasarnya sedang mengantri untuk menunggu saat kematian yang merupakan “takdir Tuhan pulangkan sekumpulan ke alam keabadian”.  Hidup di dunia hanya sementara, “dunia hanyalah singgah, permainan, pengabdian, dan entahlah…”.

Penggambaran situasi antara hidup dan mati yang demikian dahsyat dan mengharukan terdapat dalam baris-baris sajak “Peluk Sakaratul Maut” berikut ini.

Di mulutmu belum terkatup
mengalir seolah kalimat menutup
“Laailaha illa allah. Allah,  Allah, Allah”
semoga dakholal jannah

Ia tabah dan pasrah
menanti jemput sakaratul maut

Kami anak-anaknya
tengadahkan tangan doa
untukmu tetap ada di dunia

(“Peluk Sakaratul Maut”)

Baris-baris sajak di atas melukiskan seseorang yang tengah berada dalam kondisi antara hidup dan mati (sakaratul maut). Yang bersangkutan telah berpasrah diri seandainya maut menjemput, tetapi anak-anaknya berharap agar orang tuanya tetap bisa hidup bersama mereka di dunia sehingga mereka tidak pernah berhenti berdoa, berharap Sang Pencipta memberikan mukjizat kesembuhan.

Perempuan, Laki-Laki, dan Religiositas

Dalam antologi puisi Perempuan Penabuh Subuh ini oposisi biner terjadi dalam relasi intrateks dan antarteks. Oposisi biner perempuan dan laki-laki terjadi dalam relasi antarteks.  Tokoh perempuan terdapat dalam sajak “Kerudung Maimun”, “Surga Gadis Donggala”, “Wanita Langit ketujuh”, “Kalian Jajah Ibumu”, dan “Hilangnya Barisan Subuh”, sedangkan tokoh laki-laki terdapat dalam sajak “Lelaki Tembok Surga”, “Lelaki yang Menikahi Sunyi”, dan “Lelaki Bermata Neraka”

Dalam sajak “Hilangnya Barisan Subuh” digambarkan peran ibu dalam pendidikan karakter religius untuk anaknya. Hal tersebut dikemukakan dalam baris-baris sajak berikut ini.

Ibu bangunkan aku
ketika beduk subuh bertalu-talu
lalu mengajakku ke pancuran
sejuk air wudu disiramkan

Berangkatlah aku dan ibu
di musala telah ramai menunggu
puji-pujian sebelum sembahyang
dan seusai subuh ditunaikan
alif ba ta ramai dibacakan
hingga geliat matahari
hangatkan pagi

(“Hilangkan Barisan Subuh”)

Dalam baris-baris sajak tersebut diceritakan seorang ibu yang membangunkan anaknya saat Subuh, mengajaknya berwudu di pancuran, pergi ke musala untuk bersembahyang, dan mengaji. Ada baris-baris yang menarik dalam sajak ini karena mempertentangkan ibu zaman dulu dan sekarang dengan gaya ironis yang paradoksal, seperti tampak di bawah ini.

Aku merindukan         
suara ibu membangunkan
yang jarang kudengarkan
ibu-ibu zaman sekarang

(“Hilangnya Barisan Subuh”)

Dalam baris puisi di atas dilukiskan bahwa ibu-ibu pada zaman dahulu rajin membangunkan anaknya saat azan subuh berkumandang.  Akan tetapi, ibu-ibu zaman sekarang cenderung membiarkan anaknya bangun kesiangan sehingga tidak mengerjakan solat Subuh. Hal tersebut kemungkinan ibu-ibu zaman sekarang disibukkan dengan urusan pekerjaan dan meniti karir di luar rumah sehingga pendidikan karakter religius menjadi terabaikan.

Sajak “Hilangnya Barisan Subuh” yang mengemukakan tentang peran ibu dalam memberikan fondasi pendidikan agama bagi anak-anaknya, dioposisikan dengan peran ayah sebagai pencari nafkah untuk keluarga dalam sajak “Nyanyian Jelang Kepulanganmu” berikut ini.

Kukenang pula dulu waktu beli sepatu
kelas tiga sekolah dasar kau tuntun aku
ke pasar naik bis bermoncong bising
dalam perjalanan subuh sampai petang
gabahmu melayang sepuluh kuintal
nikmat kasih sayang begitu kental

Aku bisa membaca nama-nama
aku menjadi pria gagah sarjana
perjaka pena matang di pematang
tinggalkan sejuk rimbun desa
….

(“Nyanyian Jelang Kepulanganmu”)

Dalam sajak “Nyanyian Jelang Kepulanganmu” di atas diceritakan peran ayah sebagai orang yang membiayai segala keperluan anak-anaknya mulai dari sepatu, sekolah hingga sarjana, sampai dengan memberi uang saku saat merantau meninggalkan desa.

Kebobrokan Moral/Sosial dan Religiositas

Antologi puisi ini juga menampilkan banyak sajak yang menyandingkan kebobrokan moral dan sosial dengan religiositas,  antara lain sajak “Bertudung Sarung”, “Seribu Malam di Kotamu”, “Tubuh Api di Pintu Subuh”, “Hilangnya Barisan Subuh”, “Menuju Subuh”, “Perindu Subuh”, “Orang-Orang Pengobatan”, “Jakarta Dua Puasa”, “Ke Mana Zakat Fitrah berlabuh”, dan “Anak-Anak Angin”.  Contohnya, oposisi biner antara kebobrokan moral/sosial dan religiositas yang terdapat dalam sajak “Seribu Malam di Kotamu” berikut ini.

Kotamu tetap suguhkan nikmat
hingga tak ingat lidah telah api
dan mulut selalu tungku
dadaku berserak debu

Kota terus menari-nari
aku semakin lupa diri
tersesat di seberang ujung jalan
pecahkan tangisan subuh
roboh segala tumbuh

Aku tetap merangkak pulang
walau wajahku coreng arang
ingin kokoh terakhir berdiri
pada barisan orang-orang
panjang sembahyang

(“Seribu Malam di Kotamu”)

Baris-baris sajak tersebut di atas melukiskan kehidupan di sebuah kota yang serba keras, penuh dengan godaan kehidupan malam hingga si aku lupa diri dan terjerumus ke jalan yang sesat, “kota semakin menari-nari/aku semakin lupa diri/tersesat di seberang ujung jalan”. Namun demikian, di tengah kegalauan yang menimpa, si aku tersadar dan ingin kembali ke jalan yang benar, mendekatkan diri kepada Tuhan, “aku tetap merangkak pulang/walau wajahku coreng arang/ingin kokoh terakhir berdiri/pada barisan orang-orang/panjang sembahyang”.

Tradisi, Modernisasi, dan Religi

Oposisi antara tradisi dan modernisasi yang dipadukan dengan nuansa religi juga tampak dalam sajak “Hilangnya Barisan Subuh” dan “Desaku Hilang”.  Dalam sajak “Desaku Hilang” hal tersebut dilukiskan sebagai berikut.

Di sini tidak lagi rambat ubi
mati disuntik serbuk kimiawi
saat kebun bukan sarang embun
hilang rindu pada rimbun
anak desa kepanasan

Gadget mengajarkan kesendirian
hilang riang di batang pematang
merdu azan enggan kegirangan
anak desa rasa telah hilang

Mencuci di sungai tinggal kenangan
dendang padi menguning dinisankan
kerumunan mengaji tiada riuh
anak desa sembunyi jauh

(“Desaku Hilang”)

Dalam sajak “Desaku Hilang” digambarkan bahwa sistem perkebunan dan pertanian tradisional tidak lagi banyak dipergunakan di daerah pedesaan dan diganti dengan pupuk dan obat-obatan kimiawi, “Di sini tidak lagi rambat ubi/ mati disuntik serbuk kimiawi.  Saat lahan perkebunan alih fungsi menjadi lahan perumahan dan pabrik maka suasana menjadi gersang, “hilang rindu pada embun/anak desa kepanasan”.  Anak-anak disibukkan dengan piranti gadget hingga mengakibatkan mereka menjadi antisosial, “Gadget mengajarkan kesendirian”. Suara azan pun tak membuat mereka berbondong-bondong ke musala, “merdu azan enggan kegirangan”. Mereka telah kehilangan nilai-nilai spiritualitas dan religius, “kerumunan mengaji tiada riuh”.  Hegemoni teknologi menjadikan pola hidup dan karakter manusia menjadi sangat sekular (Wachid B.S, 2022). Sajak ini hendak menyampaikan pesan bahwa memudarnya nilai-nilai spiritual dan religi yang dimiliki generasi muda saat ini merupakan dampak modernisasi sehingga hendaknya mereka tetap dididik untuk mempertahankan tradisi karena tradisilah yang mampu menjaga nilai-nilai kebersamaan dan kegotongroyongan.

Selain subtema yang dikomposisikan dalam kerangka oposisi biner, metafora yang digunakan juga diciptakan dalam kerangka oposisi biner. Sajak-sajak yang terhimpun dalam antologi ini juga banyak menggunakan metafora air dan api. Air bermakna keteduhan, kesucian, kebenaran sesejuk air surgawi, sedangkan api bermakna perbuatan dosa, kekerasan, kebobrokan, kekacauan sepanas api di neraka.

Judul antologi puisi Perempuan Penabuh Subuh dan beberapa sajak yang ada di dalamnya (“Perindu Subuh”, “Menuju Subuh”, “Hilangnya Barisan Subuh”, “Tubuh Api di Pintu Subuh”, dan “Menuju Ruh Subuh”) menggunakan diksi Subuh sebagai sinekdoki pars pro toto, sebagian untuk seluruhnya, untuk merepresentasikan kewajiban utama seorang muslim, yakni melaksanakan salat fardu 5 waktu.  Dipilihnya Subuh untuk mewakili salat fardu yang lain disebabkan waktu Subuh dipandang sebagai awal kegiatan manusia dalam keseharian dan untuk melaksanakan diupayakan upaya yang lebih besar, yakni melawan rasa kantuk dan malas yang biasa menyerang manusia saat azan Subuh berkumandang.

Sebagai antologi puisi yang mengandung tema moral religius, sajak-sajak di dalamnya sebagian besar juga menyuarakan kecintaan manusia kepada Tuhan. Hal tersebut tampak dalam puisi “Mata Cinta Berlarian”, “Hakikat Cinta”, “Kau Kekasihku”, “Bercinta di dalam Masjid”, menunjukkan rasa cinta manusia kepada Allah SWT.  Sebagai puisi religius, seluruh sajak yang terhimpun dalam antologi ini bermuara pada pesan agar dalam kondisi apapun manusia hendaknya selalu mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Menurut Indrastuti (2019), puisi merupakan sarana untuk menanamkan nilai-nilai edukasi bagi masyarakat pembacanya, termasuk di dalamnya nilai-nilai religius.  Puisi dapat berpengaruh terhadap perasaan batin dan tingkah laku (Fassari dkk, 2018). Antologi ini secara esensial merupakan motivasi religius yang disampaikan secara persuasif dalam bahasa yang estetis.  Akhirnya, selamat menikmati sajak-sajak dalam antologi puisi ini.

Yogyakarta, 29 Juni 2023

Daftar Rujukan

Fassari, dkk.  2018.  “Nilai Religiostas dalam Kumpulan Puisi Karya Gus Blero” dalam jurnal ASAS, Jurnal Sastra, Vol 7, No. 3.  Diunduh dari https://jurnal.unimed.ac.id pada 19 Juni 2023 pukul 15.00 WIB.

Indrastuti, Novi Siti Kussuji. 2019.  “Nasionalisme dalam Bingkai Kritik Sosial” dalam Jurnal Poetika Vol. VII, No.1, Juli 2019.  Diunduh dari https://jurnal.ugm.ac.id pada 20 Juni 2022 pukul 15.00 WIB.

Wachid B.S., Abdul.  2022.  “Perkembangan Realitas Manusia Modern dan Respons Sastra Keagamaan.  Diunduh dari https://badanbahasa.kemdikbud.go.id pada 27 Juni 2023 pukul 10.00 WIB.

Novi Indrastuti, lahir di Yogyakarta pada 5 November 1968. Novi meraih gelar sarjana dan master di UGM serta menyelesaikan studi S-3 di Kyungnam University, Korea Selatan. Saat ini Novi mengabdikan diri sebagai dosen Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, UGM.  Namanya tertera dalam buku Apa & Siapa Penyair Indonesia yang diterbitkan Yayasan Puisi Indonesia (2017).  Novi telah mempublikasikan 5 antologi puisi, yakni Bingkai Kehidupan (2017), Di Balik Lensa Kata (2018), Kepundan Kasih (2018), Tapak Jejak Peradaban (2019), dan Kristal Memori (2021). Beberapa puisinya juga terdapat dalam sejumlah antologi yang ditulis bersama dengan para penyair lainnya, antara lain Perempuan di Ujung Senja (2017), Wajah Ibu (2017), Kitab Puisi Perempuan Indonesia I (2018), Ibuku Syurgaku (2020), Rendezvous di Layar Maya (2021), dan Citra Perempuan Serumpun (2021).  Selain menulis puisi, Novi juga hobi membaca puisi. Pada awal 2020, Novi mempresentasikan kajian “Poetry and Photography” dalam acara yang diselenggarakan KBRI di Wina dan Austrian Indonesian Society (AIS). Saat ini Novi menjadi ketua Komunitas “Kagama Poetry Reading”dan menjadi pembina BSO Sanggar Puisi Lincak FIB UGM.

dewabuku

all author posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are makes.