Oleh Royyan Julian
Buku ini adalah sebuah kemarahan. Sebagaimana puisi-puisi Thukul. Seperti sajak-sajak Rendra. Namun, puisi-puisi pamflet M. Tauhed Supratman dalam buku ini merupakan ekspresi satu situasi gelap kiwari yang agaknya sulit diselamatkan: sakarat al-maut akademi.
Dalam sastra Indonesia, kritik pedas atas perguruan tinggi sebenarnya bukan perkara baru. Agus R. Sarjono, misalnya, dalam “Sajak Palsu” menghujat hipokrisis dunia pendidikan Indonesia. Satire serupa juga dinarasikan Arthur S. Nalan via monolog Prodo Imitatio. Akan tetapi, barangkali satu-satunya antologi yang secara spesifik menghimpun puisi-puisi kecaman atas disfungsi perguruan tinggi hanya karya Supratman. Buku ini melengkapi puisi-puisi penyair Lombok Julia Gerha Arungan yang mencermati kecacatan dunia sekolah dasar.
Hujatan Supratman dalam buku ini sudah menghunjam pada puisi pertamanya, “Malu Aku Dipanggil Dosen”—dengan judul interteks sajak Taufiq Ismail “Malu Aku Jadi Orang Indonesia”. Puisi tersebut memang tepat diletakkan sebagai pembuka bunga rampai ini. Ia menjadi semacam Al-Fatiha yang merangkum isu-isu pendidikan yang mendominasi sajak-sajak buku ini. “Malu Aku Dipanggil Dosen” adalah puisi yang memotret realisme paradoks dosen yang aliterat, inkompeten, korupsi jam kuliah, berorientasi karier, dan terobsesi gaji.
Tentu, realita dalam karya Supratman sepenuhnya faktual. Kenyataan puisi-puisi tersebut memperoleh legitimasi ilmiahnya dari intelektual Alexander Fleming dalam buku Dark Academia: How Universities Die. Lumpuhnya perguruan tinggi karena merkantilisasi pendidikan ternyata tidak hanya terjadi di kampus-kampus Indonesia, tetapi nyaris di seluruh dunia.
Hantaman Covid-19 kian memperparah keadaan. Bukan karena wabah tersebut melumpuhkan operasi perguruan tinggi, tetapi parasit serakah kapitalisme yang menggerogoti tubuh perguruan tinggi telah mempertinggi kesempatan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dari industrialisasi pendidikan. Efek samping kemacetan kontrol belajar-mengajar tersebut juga membabat etika mahasiswa yang semakin leluasa menjalankan praktik salin-rekat tugas-tugas perkuliahan sebagaimana yang dituturkan puisi-puisi dalam buku ini.
Buku ini memang terbit di saat yang tepat ketika perguruan tinggi beserta seluruh sivitas akademinya bersinergi dengan ekonomi kapital menuju kehancuran masa depan, paling tidak, umat manusia. Sajak-sajak dalam antologi ini menjadi refleksi puitis bagaimana kerusakan sumber daya manusia secara sistematis serta masif berlangsung dari lapisan paling dasar dan urgen: pendidikan. Puisi-puisi M. Tauhed Supratman mestinya mendorong kita untuk sangsi bahwa pada 2045, Indonesia akan disinari generasi emas.
Indonesia, 13 November 2023
Royyan Julian adalah Dosen di Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP, Universitas Madura, Pamekasan dan Sastrawan