Ahmad anak seorang jawara sekaligus preman yang disegani di kampungnya. Hidup ayahnya hanya berantem, berjudi, ngadu ayam, dan mabuk-mabukan. Sejak kecil Ahmad terbiasa hidup susah dan jarang menemukan yang namanya makanan. Si Bapak hanya senang-senang sendiri tidak pernah berpikir tanggung jawabnya sebagai orang tua. Sampai umur dua belas tahun Ahmad tidak pernah memakai baju karena tidak bisa membelinya, dan hanya mengenakan celana yang kebesaran dan penuh dengan tambalan.
Di usia dua belas tahun itu Ahmad bertemu kang Salam yang mengajaknya ngaji di pesantren Cahya Hirup. Ayahnya mengizinkan dengan syarat setiap malam Ahmad mengirimkan kerak nasi, sia-sia makanan para santri sebab orang tua Ahmad memang mengandalkannya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dari ikan hasil pancingan yang ditukar dengan beras.
Setelah sepuluh tahun Ahmad nyantri di pesantren Cahya Hirup, ia diperintah oleh Ajengan Mu’allim untuk pindah ke pesantren Suci Manah. Betapa senang dan bahagia dia ketika Ajengan Mu’allim memberikan hadiah kopeah beureum atau peci merah, hanya saja peci itu kekecilan karena peci itu adalah kepunyaan anak Ajengan Mu’allim ketika menjadi pengantin sunat, waktu kecil. Namun, bagi Ahmad pemberian itu adalah sebuah amanat. Lalu, bagaimana kisahnya? Apalagi Ahmad diminta setelah lulus di pesantren mesti berdakwah di kampungnya yang terkenal jawara. Silakan dibaca hingga tuntas, kisah ini ditulis dengan gaya humor, namun memiliki filosofi kehidupan yang dalam.
Reviews
There are no reviews yet.