Religi, termasuk dalam hal ini puisi religi, acapkali dipersepsikan puisi yang hanya berasyik-mahsyuk dengan dunia langit yakni yang bertalian antara manusia dengan Tuhan. Namun demikian, citraan ini kurang memenuhi makna religi atau keagamaan; di mana agama memiliki spektrum luas yang tidak melulu hubungan manusia dengan Tuhan. Agama sebagai wujud keimanan dan pengamalan meliputi semua aspek kehidupan manusia. Dengan demikian, maka puisi religi, adalah puisi yang berisi keimanan dan praktik keimanan dalam kehidupan sehari-hari manusia.
Berdasarkan perspektif itulah maka sekali pun penulis menyebut puisi religi, bisa jadi ada di antaranya yang tidak menggunakan diksi, metafora, dan unsur-unsur kesastraan yang secara tekstual biasa kita kenali sebagai bahasa “agama” dalam buku ini. Namun, stansial dapat dipahami bahwa puisi dalam buku ini dapat disebut religi karena memiliki pesan-pesan penyadaran dan perenungan khususnya bagi penulis sendiri ke arah hidup yang memungkinkan lebih taat menjalankan perintah-perintah agama yang dijalankan oleh manusia seluruh waktu. Simbolitas waktu, atau gerak waktu, dalam agama yang penulis anut seringkali dinisbatkan pada waktu melaksanakan sholat. Dan subuh, merupakan titik nol waktu yang bergerak ke zuhur, asar, magrib, isya, dan kembali ke subuh.
Perputaran waktu tersebut adalah kegiatan ibadah dalam wujudnya yang dapat dirasakan, bahkan diperlihatkan. Putaran inilah yang disebut oleh penulis sebagai tabuh-tabuh atau bunyi-bunyi amalan kehidupan yang dipertanggungjawabkan manusia kepada Tuhannya. Tabuh-tabuh itu bisa jadi adalah syahdu dan merdu yang dapat memberikan kebahagiaan bagi manusia, atau justru tabu-tabuh yang menimbulkan kegaduhan bahkan kekacauan dalam kehidupan.
Ulasan
Belum ada ulasan.