Puisi-puisi dalam naskah “Rendaman Arwah” ini lahir dari pertemuan antara trauma kolektif dan mitologi lokal, antara kekerasan sejarah dan liturgi tubuh yang mencoba tetap hidup. Husni Hamisi menulis bukan untuk menjelaskan mitos, bukan pula untuk mendekorasi kesedihan. Ia menulis untuk menyelamatkan bisikan-bisikan yang tak lagi dipercaya oleh dunia modern, namun masih menggigil di lorong dada kita.
Nama-nama seperti Kandole, Laborombonga, atau Nenek Pa’kande, bukan sekadar karakter cerita rakyat. Mereka adalah ‘archetype’—luka purba yang belum selesai. Mereka menggeliat dalam keganjilan zaman sekarang: di antara feed Instagram, reel Facebook, kota-kota yang terbakar, atau mimpi-mimpi kolektif yang bicara dalam tidur kita.
Apa yang kutulis barangkali tidak mudah diklasifikasikan. Ia bukan puisi dokumenter. Ia bukan pula puisi liris personal. Maka Husni Hamisi menyebutnya sebagai ‘puisi mimpi-folklorik’: sebuah bentuk puisi yang bergerak di antara logika mimpi, spiritualitas arkais, absurditas modern, dan mitos lokal yang masih berdenyut di tubuh rakyat.
Puisi-puisi ini tak mencoba menjadi kitab horor yang diketik dengan air mata sepi terakhir, atau doa absurd dalam mimpi kolektif kita. Ia ditulis dalam struktur yang cair: kadang berupa nyanyian arwah, kadang fragmen kutukan, kadang serpihan ingatan kolektif yang mencoba bertahan dari pelupaan sistematis.
Selamat Membaca.



Ulasan
Belum ada ulasan.