Kepada penyairlah sabda itu diserahkan untuk dipelihara. Itulah pernyataan Dick Hartoko, Penyair sebagai bendahara sabda memberikan ruang bagi penyair dalam menghidupkan puisinya dengan kata. Dari setiap kata yang dituliskan menjadi suatu tanda atau isyarat sehingga dapat mewujud ekspresi, gerak, suasana, gagasan. Tentu saja, ada orang yang menggunakan bahasa yang berbeda. Namun dapat dipahami maksudnya, begitu juga bahasa dalam puisi. Kata dalam puisi hendak menyampaikan keterangan yang mencerahkan tidak hanya sekadar meluapkan kegundahan hati. Maka puisi menjadi komunikasi yang metaforis dan simbolik.
Penyair sejati tidak mungkin berhenti pada satu karya. Ia selalu gelisah terhadap problem sosial atau masalah di sekitarnya. Itulah yang menggiringnya melakukan perenungan-perenungan. Dari situ lahir gagasan berdasarkan ketajaman indera. Ia menjadi jembatan kegundahannya sendiri menjadi kegundahan orang lain. Hal-hal demikian tergambar pada puisi-puisi Lindung Ratwiawan pada buku ini. Puisinya menyatu pada kehidupan; yang dirasakan oleh dirinya atau pun orang lain. Ia pun membidik benda mati, menjadi hidup dan berkelana menjadi pikiran-pikiran melalui kata-kata.
Lindung Ratwiawan telah menjalani kehidupan sebagai penulis puisi, barangkali itu bisa disimpulkan ketika telah menyelesaikan puisi-puisinya di buku ini. Ia begitu jeli memilah dan memilih kata untuk ditempatkan pada satu puisi. Sebab, terasa berbeda karakter dari setiap puisi yang diciptakan meskipun tema yang diusung masih senapas.
Sebaiknya memang buku ini segera dibaca untuk menemukan pengembaraannya!
Ulasan
Belum ada ulasan.