Buku ini adalah sebuah kemarahan. Sebagaimana puisi-puisi Thukul. Seperti sajak-sajak Rendra. Namun, puisi-puisi pamflet M. Tauhed Supratman dalam buku ini merupakan ekspresi satu situasi gelap kiwari yang agaknya sulit diselamatkan: sakarat al-maut akademi.
Dalam sastra Indonesia, kritik pedas atas perguruan tinggi sebenarnya bukan perkara baru. Agus R. Sarjono, misalnya, dalam “Sajak Palsu” menghujat hipokrisis dunia pendidikan Indonesia. Satire serupa juga dinarasikan Arthur S. Nalan via monolog Prodo Imitatio. Akan tetapi, barangkali satu-satunya antologi yang secara spesifik menghimpun puisi-puisi kecaman atas disfungsi perguruan tinggi hanya karya Supratman. Buku ini melengkapi puisi-puisi penyair Lombok Julia Gerha Arungan yang mencermati kecacatan dunia sekolah dasar.
… Sajak-sajak dalam antologi ini menjadi refleksi puitis bagaimana kerusakan sumber daya manusia secara sistematis serta masif berlangsung dari lapisan paling dasar dan urgen: pendidikan. Puisi-puisi M. Tauhed Supratman mestinya mendorong kita untuk sangsi bahwa pada 2045, Indonesia akan disinari generasi emas.
Royyan Julian adalah Dosen di Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP, Universitas Madura, Pamekasan dan Sastrawan
Ulasan
Belum ada ulasan.