Puisi dan penyair tidak dapat dipisahkan. Puisi akan hadir, kemudian hidup pada kegelisahan penyairnya. Begitu pun penyair akan lahir dari puisi-puisi yang dapat menghidupkan jiwanya. Sebab puisi, menjadi ilustrasi pikiran, gerak dan laku dari penyair itu sendiri. Tentu saja, perjalanan mencapai titik penciptaan puisi yang seperti itu bukan ‘flat’ melainkan memerlukan perjalanan yang terjal, mendaki, berkelok-kelok dan sebagainya. Maka, penyair tidak seharusnya menyerah pada kenyataan hidup. Penyair dapat melampaui ‘batas’ pada pikirannya.
Puisi-puisi karya Enthieh Mudakir dalam buku ini tidak menunjukkan kelemahan sikap pada kehidupan, melainkan setiap puisi-puisinya terbaca semacam dialog antara pikirannya, kenyataannya, dan sikap religiusitasnya. Ia menyatu pada setiap puisi yang diciptakan; pengalaman lahir dan batin yang pada akhirnya bermuara pada sikap ketegaran meskipun dihantam badai kebudayaan modern dan topan filsafat. Beberapa puisinya pun menunjukkan hubungan penyair dan lingkungan kesenian yang heterogen.
Yang menarik bagi saya; puisi-puisinya sebagian besar memberikan tanda pencapaian ‘religius’ dalam dirinya. Jalan kesufian yang bisa jadi terbentuk dari perjalanan panjangnya menempuh kehidupan ini. Kesadaran diri; raga dan jiwa pada puisi-puisinya ini membuka pintu kemanusiaannya. Menyadarkan pada setiap mahkluk bahwa segalanya akan masuk ke ruang yang paling dalam dan gelap tanpa ada siapapun menemani. Disinilah kejujuran puisinya termaknai.
Semakin saya baca puisi-puisinya, semakin saya memahami bahwa puisi bagi Enthieh Mudakir adalah sebuah zat yang abadi, bisa jadi itu adalah Tuhan.
Nana Sastrawan – Penulis
Ulasan
Belum ada ulasan.